Pernah Anda mencoba berjalan dengan satu kaki? Bagaimana rasanya?
Berapa menit dan berapa meter yang bisa ditempuh tanpa alat bantu sebelum
terjatuh? Bayangkanlah, itu adalah Indonesia kita....
Sebagai negeri dengan kekayaan alam melimpah, seharusnya kemiskinan
bukanlah problem kita. Hampir semua ada. Akan tetapi, mengapa kemiskinan
terlihat begitu terbuka?
Kemiskinan terjadi karena ketimpangan penguasaan sumber daya.
Rata-rata penguasaan lahan petani di pedesaan kini di bawah 0,25 hektar.
Bandingkan dengan industri sawit yang dikuasai asing, antara lain Guthrie
Malaysia 167.908 hektar, Wilmar International Group Singapura 85.000
hektar, Hindoli Cargill Amerika 63.455 hektar, Kuala Lumpur Kepong Bhd
Malaysia 45.714 hektar, SIPEF Group Belgia 30.952 hektar, serta Golden
Hope Group Malaysia 12.810 hektar (Hadi,
Syamsul, dkk, 2012: 47-48).
Pembagian Timpang
Hanya 0,2 persen penduduk yang menguasai 56 persen aset nasional
dengan konsentrasi aset 87 persen dalam bentuk tanah. Bahkan, koefesien
gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan mencapai 0,536
(Winoto, Joyo, 2010: 14). Ia sudah melampaui ”titik ledak” 0,5 dari
gejolak sosial di wilayah pedesaan.
Ketimpangan makin menjadi dengan adanya tanah telantar. Hingga
2010, luas tanah telantar mencapai 7,3 juta hektar atau 133 kali luas
negara Singapura. Dari 7,3 juta tanah telantar itu, 15,32 persen dikuasai
negara (BUMN) dan sisanya swasta. Tanah yang telantar itu 1,935 juta
hektar merupakan tanah hak guna usaha (Winoto, Joyo, 2010: 18-19).
Tampaklah persoalan mendasar di negeri ini sesungguhnya bukan ilmu
perkalian (x) sumber daya atau kapitalisasi sumber daya. Persoalannya
adalah ilmu bagi (:) sumber daya alias soal keadilan sosial.
Ilmu bagi (:) adalah soal yang sangat berat. Ilmu bagi (:) yang
salah sering menimbulkan konflik. Pastilah Ibu Pertiwi tidak mudah
memotong kue dengan adil kepada 240 juta rakyat. Jika anak pertama
mendapat lebih besar dari adiknya, pertengkaran tak terhindarkan.
Kesulitan itu bahkan telah terlihat kini. Protes rakyat dalam bentuk
konflik agraria adalah representasi dari ilmu bagi yang tidak tepat itu.
Beban BPN
Jika masalahnya adalah ketimpangan, apakah lembaga setingkat badan
seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat mengatasinya? Keberadaan
BPN hanya dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan setingkat PP,
yaitu PP No 10 Tahun 2006. Bandingkan dengan badan-badan lain yang diatur
dengan peraturan perundang-undangan setingkat UU.
Dalam PP tersebut ada 21 fungsi BPN, di antaranya tiga fungsi
terberat, yaitu pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah, pelaksanaan
penatagunaan tanah, reforma agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus,
serta pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara, dan konflik
di bidang pertanahan.
Coba kita menggunakan perhitungan kasar. Jika luas daratan di
Indonesia 190 juta hektar, 140 juta berupa hutan di bawah otoritas
kementerian sektoral, yaitu Kementerian Kehutanan. BPN mengatur tata guna
50 juta hektar untuk pertanian pangan, permukiman, perkebunan, dan
infrastruktur lainnya.
Lahan sawit saja berkisar 8,1 juta hektar (Kementerian Pertanian,
Ditjen Perkebunan, 2012) dan akan terus ditingkatkan. Jika lahan sawit
terus ditingkatkan, pasti akan mengalih fungsi peruntukan lain dan
menimbulkan masalah baru.
Dalam Rencana Strategis BPN 2010-2014 terdapat 7.491 kasus konflik
agraria. Yang masuk dalam kategori konflik 858, sengketa 4.581, dan
perkara tanah 2.052 kasus. Menurut laporan Konsorsium Pembaharuan
Agraria, sejak 2004-2012 terjadi 618 konflik agraria di Indonesia dengan
areal 2.399.314,49 hektar, dan lebih dari 731.342 keluarga menjadi korban
ketidakpastian agraria. Dari seluruh perkebunan sawit, 59 persen
berkonflik dengan rakyat, yaitu 591 kasus konflik di 22 provinsi dan 143
kabupaten (Fauzi, 2013).
Bagaimana suatu lembaga hanya setingkat badan menyelenggarakan
urusan-urusan genting semacam ini?
Sejak awal, para pendiri bangsa telah menengarai persoalan
ketimpangan penguasaan lahan. Soepomo dalam sidang BPUPKI menyatakan
pandangan terhadap persoalan ekonomi dan tanah dengan menengarai ada yang
menguasai tanah besar, tetapi yang jelata belum memiliki tanah. Maka, ia
juga menegaskan, ”Tanah pertanian
itu lapangan hidup kaum tani dan harus tetap di tangan kaum tani.”
Karena itu, presiden pertama, Soekarno, menjadikan penataan tanah
sebagai bagian tak terpisahkan dari revolusi Indonesia (1960). Agenda
pokoknya adalah menata struktur penguasaan agraria kolonial ke dalam
struktur agraria baru yang memberikan hak kepada rakyat untuk menguasai
tanah melalui program redistribusi tanah.
Bung Karno menempatkan land reform sebagai program politik.
Presiden pun mengawal betul program land reform termasuk melalui
Kementerian Pertanian dan Agraria yang berkoordinasi di bawah kendali
Presiden langsung. Tampaknya semua pendiri bangsa sepakat bahwa tanah
tidak boleh menjadi alat untuk menindas dan memeras hidup orang lain (AB Kusuma, 2004: 434-435).
Semua berubah pada masa Orde Baru. Agraria dikerdilkan maknanya
hanya menjadi pertanahan. Urusan pokok semata-mata administrasi yang
diurus Dirjen Agraria di Depdagri pada tahun 1968. Baru pada tahun 1990,
BPN menjadi Kementerian Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional. Namun,
itu pun tak lama karena kementerian dikembalikan menjadi lembaga
setingkat badan.
Ibarat membangun rumah, bangunan besar tidak mungkin bertopang pada
fondasi yang rapuh. Begitu pula dengan republik ini. Problem ketimpangan
agraria yang mahadahsyat tak mungkin dibebankan pada suatu badan.
Harus dibentuk kembali suatu Kementerian Agraria dengan tugas
menata ulang politik agraria. Ini untuk menunjukkan, Presiden selaku
kepala negara memandang penting persoalan ini. Presiden harus mau
mengakui kenyataan, kita berada pada situasi darurat agraria.
Bagi saya, menata keadilan agraria adalah memastikan agar republik
ini tidak berjalan dengan satu kaki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar