Politik
Indonesia pasca Peristiwa Reformasi (1998), yang diprediksi dan
diharapkan akan lebih kontributif terhadap perjalanan demokrasi kita,
terbukti berlangsung tanpa greget.
Paling jauh, isu utama—dan mungkin satu-satunya—yang bisa kita nikmati
dengan berakhirnya rezim Orde Baru di bawah komando Jenderal Soeharto
adalah terciptanya desakralisasi kekuasaan. Zaman Abdurrahmad Wahid
desakralisasi kekuasaan dipraktikkannya melalui protokoler kenegaraan
yang lebih longgar.
Pasca-Reformasi, setelah Gus Dur lengser, implikasi desakralisasi menjadi
fenomena umum sangat terasa dalam kehidupan politik yang euforia: penuh
gairah. Kondisi seperti itu tentu saja maknanya positif belaka, apabila,
sumber daya politik yang diserap oleh institusi penyelenggara kekuasaan
negara terutama pada wilayah eksekutif dan legislatif—yang rekrutmennya
melalui proses atau mekanisme politik—merupakan individu-individu yang
berkualitas: memiliki visi, moralitas publik, dan punya komitmen.
Tetapi seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama, fakta yang
terungkap dari pemilu ke pemilu dari pilkada ke pilkada, tampaknya
representasi sumber daya politik yang memiliki visi, moralitas publik,
dan punya komitmen masih saja jauh panggang dari api.
Fenomena Model Kepemimpinan Jokowi
Karena itulah, ketika masyarakat DKI Jakarta memutuskan pilihan
politiknya kepada Joko Widodo untuk menjadi gubernur, ada beberapa hal
menarik yang tidak dapat terbantahkan. Jokowi yang fenomenal memenuhi
kriteria profil pemimpin yang dibutuhkan: bersih (antikorupsi dan bebas
dari KKN) dan berada pada rel moralitas publik; memiliki kinerja dengan
standar seorang profesional, dan prokesejahteraan.
Bukankah cita-cita kesejahteraan untuk semua (warga, masyarakat, rakyat)
merupakan alasan penting (paradigma) mengapa partai politik didirikan
sebagai penyangga utama institusi negara? Lagi pula, secara personal,
Jokowi memenuhi kriteria tipe pemimpin yang memiliki sekaligus kemampuan
sebagai komunikator (lugas dalam menyampaikan dan menginstruksi
kebijakannya sebagai gubernur) dan komunikan (cakap menyerap aspirasi
rakyat). Kemampuan Jokowi tersebut pastilah dibutuhkan seorang figur
publik dan mendapatkan dalam rangka mengelola kekuasaan yang dimandatkan
kepadanya.
Apalagi, tanggung jawab itu adalah memimpin Jakarta yang memiliki
permasalahan yang kompleks dan dalam pengawasan ekstra oleh publik. Fakta
Jokowi memenangkan pertarungan politik di Jakarta adalah indikator yang
perlu kita dalami dan cermati lebih lanjut bahwa yang sedang berlangsung
adalah bekerjanya kekuatan kelas menengah. Kelas yang notabene memiliki
preferensi politik yang tinggi. Jokowi sebelum memimpin Jakarta, telah
membuktikan diri berhasil mengisi model kepemimpinan di daerah (sebagai Wali
Kota Surakarta).
Kita pastilah sepakat, siapa pun orangnya, bila merupakan sosok yang
bersih-profesionalprokesejahteraan keberadaannya dibutuhkan di mana pun
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Jatuh hatinya kelas
menengah terhadap Jokowi tidak bisa kita simpulkan dalam definisi yang
simplistis, yaitu yang sedang terjadi adalah sebuah kecenderungan kelas
menengah untuk lebih peduli terhadap figur (penguasa) daripada bagaimana
kekuasaan itu harus dijalankan (sistem).
Pikiran kontradiktif yang membenturkan figur dan sistem seperti itu,
bersifat reduksionis, karena sebetulnya tidak ada persoalan sama sekali
dengan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang berpedoman pada
empat pilar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dari
praktik penerapan kekuasaan yang dijalankan oleh Jokowi ada beberapa hal
menarik yang dapat disimpulkan mengenai kepemimpinan seperti apa yang
dibutuhkan masyarakat kita.
Formula Jokowi adalah empati, solusi, kebijakan. Pertama, empati, yaitu
hal elementer yang harus dilakukan oleh pemimpin adalah bagaimana ia
mampu mengomunikasikan bahwa masalah-masalah yang dihadapi bersama
menjadi perhatian utamanya. Kedua, solusi, yaitu dari kepeduliannya
terhadap apa-apa yang dihadapi oleh masyarakat (rakyat) ia menyerap
aspirasi (bahkan dengan detil-detil kerumitannya) sebagai peta persoalan
yang harus dibereskannya.
Sehingga, kemudian menemukan jawaban yang komprehensif sambil menyediakan
kemungkinan-kemungkinan alternatif jawaban. Ketiga, yaitu dari deskripsi
yang didapat dilakukan pendefinisian menyangkut kebijakan yang akan
diterapkan. Jadi sebuah kebijakan dibuat tidak sekadar bertumpu pada
kemampuan bagaimana memetakan persoalan berbasiskan data-data (tertulis)
semata, melainkan bahwa peta persoalan yang dideskripsikan itu basisnya
utamanya adalah kondisi riil di lapangan. Seorang pemimpin yang cakap
pastilah punya kemampuan berimajinasi untuk menjawab persoalan, tetapi ia
pun paham betul bahwa kebijakan bukanlah sesuatu yang sifatnya imajiner.
Lembaga Audit Daftar Pemilih
Setelah hal-ihwal pembicaraan kriteria pemimpin dan cara kerja pemimpin
dalam peristiwa suksesi kepemimpinan (pemilihan legislatif, pemilihan
presiden, dan pilkada-pilkada) isu paling krusial (sumber ketidakadilan)
yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah soal audit daftar
pemilih (voter registration audit).
Ketidakpuasan publik atas sejumlah kasus-kasus pilkada (juga hasil pileg
dan pilpres 2009) adalah soal tidak ada lembaga yang menjalankan fungsi
yang melakukan audit daftar pemilih. Pada titik itulah sebetulnya
pembenahan yang paling urgen dan signifikan dalam proses penyelenggaraan
pemilu (pileg, pilpres, pilkada). Sehingga arah politik kita persis tidak
melenceng dari demokrasi yang dijalankan secara bermartabat.
Untuk itu, hal-ihwal menyangkut audit daftar pemilih diselenggarakan oleh
lembaga yang independen (agar memenuhi asas kepercayaan publik).
Praktiknya, badan itu ditangani atau berkoordinasi dengan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Pengawas Pemilu (DKPP). Disamping tentu
saja melibatkan lembaga-lembaga terkait, misalnya: Komisi Informasi
Publik (KIP), Ombudsman, dan Komnas HAM. Ringkasnya, begitulah seharusnya
arah baru politik Indonesia.
Pertama, kita harus senantiasa bersungguh-sungguh peduli terhadap
kriteria profil pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Kedua, selain soal
gaya masing-masing pemimpin yang tentu pastilah tidak mungkin seragam
(duplikasi) yang tidak mungkin kita dikte tetapi kita perlu mencermati
bagaimana mata rantai sebuah kebijakan ia ambil (empati, solusi,
kebijakan). Ketiga, semuanya itu menempuh satusatunya jalan demokrasi
yang tersedia, yaitu pemilihan.
Ekspektasi kita terhadap rekrutmen sumber daya politik dalam rangka
menuju arah baru (ber)politik terbilang tinggi. Hal itu diperlihatkan
oleh kelas menengah (Lihat hasil survei Publica Research & Consulting, KORAN SINDO, 25 Maret
2003), misalnya, kepedulian mereka terhadap pemimpin yang berkualitas
(visioner, bermoral, dan punya komitmen) menjadi sesuatu yang nonsens
bila pemilu (pileg, pilpres, dan pilkda) berlangsung amburadul: daftar
pemilih yang rawan manipulasi dalam berbagai tingkatan.
Karenanya, jawaban atas ketidakpercayaan publik dan jaminan terhadap
pemilu yang bersih, audit daftar pemilih merupakan hal yang mendesak dan
niscaya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar