Ada China,
Amerika Tak Berani Serang Korea Utara
Ardi Winangun ; Pengamat
Hubungan Internasional
|
|
OKEZONENEWS, 15 April 2013
Untuk kesekiankalinya, hubungan Korea Selatan dan
Korea Utara memanas. Panasnya hubungan kedua negara yang terjadi
pekan-pekan ini disebut pada suhu yang paling tinggi. Pemerintah Korea
Utara selain sudah melakukan pergerakan-pergerakan militer juga
memberikan ultimatum kepada seluruh kedutaan besar negara sahabatnya
untuk mengevakuasi para diplomatnya. Daerah industri Kaesong, sebagai
daerah irisan Korea Utara dan Korea Selatan, juga sudah mulai
dikosongkan.
Menghadapi berbagai ancaman yang demikian, tak hanya Korea Selatan dan
Amerika Serikat yang disibukkan. Jepang pun juga direpotkan. Angkatan
perang Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang pun sudah menggelar
kekuatan tempurnya bila sewaktu-waktu Korea Utara melakukan serangan
mendadak. Angkatan perang Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang saat-saat
ini bisa jadi menetapkan Siaga I. Siaga dalam posisi yang paling tinggi.
Meski angkatan perang Korea Utara disebut akan menggunakan berbagai cara
bahkan meluncurkan hulu ledak nuklir pada sasaran-sasaran yang dianggap
musuhnya bahkan bila perlu mengirim rudalnya itu hingga daratan Amerika
Serikat namun semua ancaman itu disebut hanya gertak sambal.
Ancaman-ancaman serupa pernah dikumandangkan oleh Korea Utara namun
ancaman itu redup dengan sendirinya.
Korea Utara sebagai sebuah kekuatan militer dan disebut-sebut memproduksi
senjata nuklir, keberadaannya sebenarnya tak hanya membuat cemas Korea
Selatan dan Jepang namun juga memancing amarah Amerika Serikat yang
mengomandoi program perlucutan senjata nuklir di dunia.
Namun menjadi pertanyaan mengapa Amerika Serikat dalam menyikapi ulah
Korea Utara ini cenderung pasif dan tak seagresif seperti yang dilakukan
kepada Iran, Iraq, dan Afghanistan? Iraq, Iran, dan Korea Utara meski
sama-sama dituduh bahkan difitnah memproduksi senjata nuklir namun karena
secara geopolitik berbeda maka penyelesaiannya juga berbeda.
Secara geopolitik, Korea Utara secara geografis berbatasan dengan China,
secara politik China dan Korea Utara segaris dalam ideologi bangsa yakni
sosialisasi-komunis, dan hubungan kedua negara dalam timbal balik saling
menggantungkan dalam perdagangan dan kebutuhan sehari-hari. Geopolitik
inilah yang menjadikan Korea Utara dan China terjalin hubungan yang
stratagis.
Dalam Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-1953, China membantu
Korea Utara untuk melibas Korea Selatan yang disokong oleh Amerika
Serikat. Hubungan kesejarahan itu serta ada faktor geopolitik membuat
Korea Utara dan China menjadi sekutu ‘abadi’ bahkan China menjadi ‘bapak
atau ibu’ bagi Korea Utara.
Posisi yang demikian, membuat China sebagai pelindung Korea Utara. Hal
demikian membuat Amerika Serikat tak gegabah menghadapi negara yang
dipimpin oleh seorang remaja, Kim Jong Un. Sehingga Amerika Serikat dalam
menghadapi Korea Utara tak seagresif menghadapi negara-negara Timur
Tengah, seperti Iraq, Iran, dan Afghanistan. Satu butir peluru yang
dilepaskan oleh tentara Amerika Serikat pastinya akan mengundang China
untuk terlibat dalam perang. ‘Perang Korea II’ dijadikan ajang bukti bagi
China untuk menunjukkan diri bahwa negaranya adalah penguasa di Asia
Timur dan Asia Tenggara sehingga Amerika Serikat berpikir seribu kali
bila menyerang Korea Utara.
Amerika Serikat mempunyai pandangan bahwa berperang dengan Korea Utara
sama saja berperang dengan China sehingga perang ini tentu bisa membuat
bangkrut Amerika Serikat bila benar-benar terjadi. Mengapa Amerika
Serikat takut bangkrut ketika berperang dengan Korea Utara (baca China)?
Sebab angkatan perang China bukan angkatan perang kelas teri namun kakap.
Anggaran belanja militer yang lebih dari satu triliun rupiah menunjukkan
bahwa secara alutsista dan jumlah personil tentara, kekuatan China
melebihi kekuatan-kekuatan militer yang ada di banyak negara. Show force
angkatan perang China inilah yang membuat negara-negara di Asia Timur dan
Asia Tenggara menjadi miris.
Untuk menghadapi hal yang demikian maka Amerika Serikat sifatnya hanya
menunggu. Amerika Serikat hanya menggerakkan pasukan dan alutsista bila
Korea Utara benar-benar menyerang dan menyerbu Korea Selatan. Ini berbeda
dengan posisi Amerika Serikat saat berada di Timur Tengah. Di kawasan itu
biasanya Amerika Serikat-lah yang selalu memulai.
Hubungan kedua Korea yang selalu panas namun tak pernah terjadi
peperangan, setelah Perang Korea 1950-1953, meski ada namun
skalanya kecil dan bisa terkendali, karena di sini ada keseimbangan
kekuatan. Kekuatan China mampu meredam agresifitas Amerika Serikat. Bila
tidak ada China bisa jadi Korea Utara sudah seperti Iraq atau
Afghanistan. Pun demikian bila Amerika Serikat tak hadir di Asia Timur,
Korea Selatan bisa dilibas Korea Utara, dan Jepang bisa digerogoti China.
Jadi Korea Utara (dan China) tidak jadi-jadi menyerbu tetangganya itu
karena mereka juga berpikir tentang kekuatan angkatan perang Amerika
Serikat.
Kalau kita cermati rivalitas dan keseimbangan kekuatan China dan Amerika
Serikat juga hadir di Asia Tenggara dan Timur Tengah namun secara
geopolitik rivalitas itu tidak sepanas dan sekuat di Semenanjung Korea.
Sehingga kita tidak perlu khawatir akan terjadi perang di semenanjung itu
bila keseimbangan masih terjadi. Jadi bisa disimpulkan bahwa Korea
Utara hanya main gertak saja. Dan gertak ini akan dilakukan lagi bila Kim
Jong Un ada maunya. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar