Jumat, 19 April 2013

Ada China, Amerika Tak Berani Serang Korea Utara


Ada China, Amerika Tak Berani Serang Korea Utara
Ardi Winangun  Pengamat Hubungan Internasional
OKEZONENEWS, 15 April 2013

  
Untuk kesekiankalinya, hubungan Korea Selatan dan Korea Utara memanas. Panasnya hubungan kedua negara yang terjadi pekan-pekan ini disebut pada suhu yang paling tinggi. Pemerintah Korea Utara selain sudah melakukan pergerakan-pergerakan militer juga memberikan ultimatum kepada seluruh kedutaan besar negara sahabatnya untuk mengevakuasi para diplomatnya. Daerah industri Kaesong, sebagai daerah irisan Korea Utara dan Korea Selatan, juga sudah mulai dikosongkan.

Menghadapi berbagai ancaman yang demikian, tak hanya Korea Selatan dan Amerika Serikat yang disibukkan. Jepang pun juga direpotkan. Angkatan perang Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang pun sudah menggelar kekuatan tempurnya bila sewaktu-waktu Korea Utara melakukan serangan mendadak. Angkatan perang Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang saat-saat ini bisa jadi menetapkan Siaga I. Siaga dalam posisi yang paling tinggi.

Meski angkatan perang Korea Utara disebut akan menggunakan berbagai cara bahkan meluncurkan hulu ledak nuklir pada sasaran-sasaran yang dianggap musuhnya bahkan bila perlu mengirim rudalnya itu hingga daratan Amerika Serikat namun semua ancaman itu disebut hanya gertak sambal. Ancaman-ancaman serupa pernah dikumandangkan oleh Korea Utara namun ancaman itu redup dengan sendirinya. 

Korea Utara sebagai sebuah kekuatan militer dan disebut-sebut memproduksi senjata nuklir, keberadaannya sebenarnya tak hanya membuat cemas Korea Selatan dan Jepang namun juga memancing amarah Amerika Serikat yang mengomandoi program perlucutan senjata nuklir di dunia.

Namun menjadi pertanyaan mengapa Amerika Serikat dalam menyikapi ulah Korea Utara ini cenderung pasif dan tak seagresif seperti yang dilakukan kepada Iran, Iraq, dan Afghanistan? Iraq, Iran, dan Korea Utara meski sama-sama dituduh bahkan difitnah memproduksi senjata nuklir namun karena secara geopolitik berbeda maka penyelesaiannya juga berbeda.

Secara geopolitik, Korea Utara secara geografis berbatasan dengan China, secara politik China dan Korea Utara segaris dalam ideologi bangsa yakni sosialisasi-komunis, dan hubungan kedua negara dalam timbal balik saling menggantungkan dalam perdagangan dan kebutuhan sehari-hari. Geopolitik inilah yang menjadikan Korea Utara dan China terjalin hubungan yang stratagis. 

Dalam Perang Korea yang terjadi pada tahun 1950-1953, China membantu Korea Utara untuk melibas Korea Selatan yang disokong oleh Amerika Serikat. Hubungan kesejarahan itu serta ada faktor geopolitik membuat Korea Utara dan China menjadi sekutu ‘abadi’ bahkan China menjadi ‘bapak atau ibu’ bagi Korea Utara. 

Posisi yang demikian, membuat China sebagai pelindung Korea Utara. Hal demikian membuat Amerika Serikat tak gegabah menghadapi negara yang dipimpin oleh seorang remaja, Kim Jong Un. Sehingga Amerika Serikat dalam menghadapi Korea Utara tak seagresif menghadapi negara-negara Timur Tengah, seperti Iraq, Iran, dan Afghanistan. Satu butir peluru yang dilepaskan oleh tentara Amerika Serikat pastinya akan mengundang China untuk terlibat dalam perang. ‘Perang Korea II’ dijadikan ajang bukti bagi China untuk menunjukkan diri bahwa negaranya adalah penguasa di Asia Timur dan Asia Tenggara sehingga Amerika Serikat berpikir seribu kali bila menyerang Korea Utara.

Amerika Serikat mempunyai pandangan bahwa berperang dengan Korea Utara sama saja berperang dengan China sehingga perang ini tentu bisa membuat bangkrut Amerika Serikat bila benar-benar terjadi. Mengapa Amerika Serikat takut bangkrut ketika berperang dengan Korea Utara (baca China)? Sebab angkatan perang China bukan angkatan perang kelas teri namun kakap. Anggaran belanja militer yang lebih dari satu triliun rupiah menunjukkan bahwa secara alutsista dan jumlah personil tentara, kekuatan China melebihi kekuatan-kekuatan militer yang ada di banyak negara. Show force angkatan perang China inilah yang membuat negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara menjadi miris.

Untuk menghadapi hal yang demikian maka Amerika Serikat sifatnya hanya menunggu. Amerika Serikat hanya menggerakkan pasukan dan alutsista bila Korea Utara benar-benar menyerang dan menyerbu Korea Selatan. Ini berbeda dengan posisi Amerika Serikat saat berada di Timur Tengah. Di kawasan itu biasanya Amerika Serikat-lah yang selalu memulai. 

Hubungan kedua Korea yang selalu panas namun tak pernah terjadi peperangan,  setelah Perang Korea 1950-1953, meski ada namun skalanya kecil dan bisa terkendali, karena di sini ada keseimbangan kekuatan. Kekuatan China mampu meredam agresifitas Amerika Serikat. Bila tidak ada China bisa jadi Korea Utara sudah seperti Iraq atau Afghanistan. Pun demikian bila Amerika Serikat tak hadir di Asia Timur, Korea Selatan bisa dilibas Korea Utara, dan Jepang bisa digerogoti China. Jadi Korea Utara (dan China) tidak jadi-jadi menyerbu tetangganya itu karena mereka juga berpikir tentang kekuatan angkatan perang Amerika Serikat. 

Kalau kita cermati rivalitas dan keseimbangan kekuatan China dan Amerika Serikat juga hadir di Asia Tenggara dan Timur Tengah namun secara geopolitik rivalitas itu tidak sepanas dan sekuat di Semenanjung Korea. Sehingga kita tidak perlu khawatir akan terjadi perang di semenanjung itu bila keseimbangan masih terjadi. Jadi  bisa disimpulkan bahwa Korea Utara hanya main gertak saja. Dan gertak ini akan dilakukan lagi bila Kim Jong Un ada maunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar