Dalam
4 hari, sejak Jumat hingga Senin lalu, saya keliling di 5 provinsi, dan
mendarat di 9 bandara. Perjalanan dimulai dari Provinsi Jakarta, Banten,
Sumatera Utara, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur.
Yang meliputi
Bandara Soekarno-Hatta, Polonia, Ngurah Rai, Labuhan Bajo, H Hasan
Aroeboesman (Ende), El Tari (Kupang), dan kembali ke Soekarno-Hatta.
Berikut saya bagikan kisah dari perjalanan panjang dari ujung barat
hingga ujung timur Indonesia tersebut. Kecuali di Jakarta dan Banten yang
sudah bertemu pada hari Senin dan Selasa minggu lalu, di tiga provinsi
yang lain, saya selalu menyampaikan materi orientasi kepada calon pegawai
negeri sipil (CPNS) di Kementerian Hukum dan HAM, hasil seleksi tahun
2012Kepada semuanya, kami putarkan Selamat Siang Risa, salah satu cerita
dalam film Kita Vs Korupsi.
Kami katakan
bahwa, lebih kurang 2.500 CPNS Kumham sudah diterima dalam proses seleksi
yang bersih, maka kami tekankan untuk terus menjaga integritas. Banyak
kisah inspiratif dan mengharukan yang disampaikan para CPNS, kebanyakan
bersumber dari keluarga sederhana yang tidak menyangka sama sekali bisa
lolos seleksi. Mereka sebenarnya terkejut juga ketika pada akhirnya
diumumkan lulus seleksi CPNS, dan resmi diterima menjadi keluarga besar
Kemenkumham.
Kepada mereka
semua kami titipkan pesan untuk terus tumbuh menjadi pohon integritas
yang kokoh, yang tidak lekang di terjang berbagai tantangan, berbagai
godaan. Mereka adalah bukti bahwa seleksi CPNS bisa tanpa setoran, tanpa
titipan. Di Medan, saya menghadiri 3 event dari pagi sampai sore. Pagi
hari saya bertemu dengan CPNS Kumham di Medan. Menjelang Jumatan, saya
mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Belawan, Medan.
Di sana,
Jumat dini hari terjadi tragedi yang menyebabkan 8 orang meninggal. Di
samping persoalan konflik yang berasal dari daerah asal mereka di
Myanmar, Rudenim kami memang rata-rata kelebihan penghuni. Dari 13
Rudenim, terisi lebih dari 3.111 pengungsi. Tidak hanya Rudenim, lapas
dan rutan kami juga tantangannya semakin meningkat. Dengan 550 lapas dan
rutan di seluruh Indonesia, tingkat hunian sekarang mencapai lebih dari
155 ribu napi dan tahanan.
Jumlah
demikian jauh dari layak, sehingga ikhtiar untuk menjaga keamanan dan
ketertiban semakin menantang. Apa yang terjadi di Lapas Cebongan, Sleman,
Yogyakarta, adalah salah satu contoh saja bagaimana tugas di lingkungan
pemasyarakatan semakin tidak ringan. Yang pasti, untuk persoalan serangan
di Cebongan, kita harus sepakat, tidak ada alasan pembenar apa pun bagi
tindakan keji demikian.
Karena itu,
siapa pun pelakunya itu adalah tindakan kejahatan, yang harus diberikan
hukuman yang setimpal. Termasuk jika dari fakta—dan utamanya bukti— yang
ada, terungkap bahwa pembunuhan itu direncanakan, maka pelakunya dapat
diancam hukuman mati, sebagaimana hukuman bagi pembunuhan berencana yang
diatur dalam KUHP kita.
Siang dan
sore harinya di Medan, saya menjadi salah satu narasumber dalam diskusi
agen muda perubahan yang menghadirkan juga Anies Baswedan dan Agus
HarimurtiYudhoyono. Najwa Shihab yang memandu acara memberikan banyak
pertanyaan kritis, salah satunya adalah pandangan kami tentang kriteria
pemimpin masa depan. Saya mengatakan, siapa pun pemimpin Indonesia, harus
tetap mewarisi kesabaran untuk terus melanjutkan demokratisasi di Tanah
Air.
Pascareformasi,
Indonesia jelas telah tumbuh menjadi negara yang lebih demokratis. Namun,
demokrasi kita masih belia, dan perlu terus dirawat agar tumbuh makin
dewasa. Dalam masa pertumbuhan demikian, pemimpin yang sabar adalah suatu
keniscayaan. Sabar dalam merawat demokrasi, sabar dalam menghadapi
berbagai sikap kritis dari berbagai penjuru mata angin.
Kritik adalah
keniscayaan kepada setiap pengemban amanah di negara yang demokratis.
Tetapi kritik berbeda dengan penghinaan. Karena itu, saya mendukung perumusan
delik penghinaan kepada presiden di dalam RUU KUHP. Perlu dipahami, kami
bukan yang merumuskan pasal penghinaan tersebut, tetapi kami mendukung
idenya. Saya sendiri menginginkan perumusan ulang delik penghinaan
presiden tersebut agar tidak menjadi pasal karet yang menghambat sikap
kritis.
Rumusan karet
itulah yang saya pahami dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena
menghambat kebebasan berpendapat. Dengan demikian, jika rumusannya lebih
jelas, serta tidak menghambat kebebasan berpendapat serta sikap kritis,
maka kriminalisasi atas penghinaan, penistaan, fitnah kepada kehormatan
presiden, seharusnya memang dapat dipidana. Sebelum era reformasi,
jangankan dihina, dikritik saja presiden sangat sulit.
Sebaliknya,
di era pasca reformasi, jangankan dikritik, menghina presiden saja sangat
bebas. Bagi saya, keduanya adalah situasi yang keliru. Karena itu, sekali
lagi harus ada perumusan delik yang melarang presiden bebas dihina,
dinistai ataupun difitnah, tetapi pada saat yang sama, pasal tersebut tidak
terlampau longgar, sehingga menghambat sikap kritis, serta menghambat
proses demokrasi di Tanah Air.
Perlu juga
saya tegaskan, bahwa perumusan pasal ini justru akan berlaku bagi
presiden pasca SBY. Bagaimanapun, tidak mudah menyelesaikan lebih dari 700
pasal RUU KUHP sebelum Oktober 2014. Karena itu, kecurigaan bahwa pasal
itu permintaan presiden SBY melalui saya, sama sekali tidak tepat.
Presiden SBY tidak pernah meminta, saya tidak juga mengusulkan.
Rumusan
demikian sudah lama ada, dan saya menyetujuinya demi menjaga siapa pun
tidak bebas dihina, dinistai dan difitnah— tidak juga presiden. Di Ende,
Pulau Flores, saya berkesempatan memberikan pidato ilmiah pada upacara
wisuda Universitas Flores. Di hari Minggu, setelah melihat keindahan
danau tiga warna Kelimutu, kami mengunjungi situs Bung Karno, yang pernah
diasingkan di Ende pada 1934–1938.
Di rumah
tempat Bung Karno sempat diasingkan masih tersimpan rapi beberapa barang
peninggalan pribadi beliau. Di antaranya adalah naskah-naskah drama yang
diciptakan Bung Karno selama masa pengasingan, serta satu lukisan
berjudul “Pura Bali” yang dibuat tahun 1935. Darah seni jelas terlihat
mengalir kuat dalam karya Presiden Pertama Republik Indonesia tersebut.
Di buku tamu situs rumah Bung Karno, saya tuliskan pesan yang berbunyi, “Terima kasih Bung Karno.”
Setiap
presiden adalah manusia. Sejarah telah membuktikan pada saatnya, ia akan
menjadi hero atau zero. Bung Karno pastinya adalah hero untuk kita, untuk Indonesia.
Dari Ende, meski diasingkan seorang hero
tetap berkarya, seorang hero tak
akan menjadi zero. Sang hero
Soekarno, dari Ende untuk Indonesia! Di pinggir pantai Kota Ende, ada
taman yang pada Juni nanti akan diresmikan oleh Wakil Presiden Boediono
sebagai Taman Perenungan Bung Karno. Konon, pada taman itulah
Bung Karno sering berkontemplasi, dan akhirnya melahirkan Pancasila.
Itulah
“4 Hari, 5 Provinsi, 9 Bandara”
yang saya jalani. Ada cerita hero Bung Karno di masa 1930-an yang
melahirkan Pancasila; ada cerita Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono,
dua pemimpin muda, calon pemimpin masa depan; serta ada kisah para CPNS
2012, yang kami harapkan menjadi tulang punggung pejuang keadilan kumham
di masa depan. Semuanya, terangkum dalam satu langkah, satu cita demi
Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar