Selasa, 09 April 2013

4 Hari, 5 Provinsi, 9 Bandara


4 Hari, 5 Provinsi, 9 Bandara
Denny Indrayana  ;  Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
KORAN SINDO, 09 April 2013

  
Dalam 4 hari, sejak Jumat hingga Senin lalu, saya keliling di 5 provinsi, dan mendarat di 9 bandara. Perjalanan dimulai dari Provinsi Jakarta, Banten, Sumatera Utara, Bali, hingga Nusa Tenggara Timur. 

Yang meliputi Bandara Soekarno-Hatta, Polonia, Ngurah Rai, Labuhan Bajo, H Hasan Aroeboesman (Ende), El Tari (Kupang), dan kembali ke Soekarno-Hatta. Berikut saya bagikan kisah dari perjalanan panjang dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia tersebut. Kecuali di Jakarta dan Banten yang sudah bertemu pada hari Senin dan Selasa minggu lalu, di tiga provinsi yang lain, saya selalu menyampaikan materi orientasi kepada calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kementerian Hukum dan HAM, hasil seleksi tahun 2012Kepada semuanya, kami putarkan Selamat Siang Risa, salah satu cerita dalam film Kita Vs Korupsi. 

Kami katakan bahwa, lebih kurang 2.500 CPNS Kumham sudah diterima dalam proses seleksi yang bersih, maka kami tekankan untuk terus menjaga integritas. Banyak kisah inspiratif dan mengharukan yang disampaikan para CPNS, kebanyakan bersumber dari keluarga sederhana yang tidak menyangka sama sekali bisa lolos seleksi. Mereka sebenarnya terkejut juga ketika pada akhirnya diumumkan lulus seleksi CPNS, dan resmi diterima menjadi keluarga besar Kemenkumham. 

Kepada mereka semua kami titipkan pesan untuk terus tumbuh menjadi pohon integritas yang kokoh, yang tidak lekang di terjang berbagai tantangan, berbagai godaan. Mereka adalah bukti bahwa seleksi CPNS bisa tanpa setoran, tanpa titipan. Di Medan, saya menghadiri 3 event dari pagi sampai sore. Pagi hari saya bertemu dengan CPNS Kumham di Medan. Menjelang Jumatan, saya mengunjungi Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) di Belawan, Medan. 

Di sana, Jumat dini hari terjadi tragedi yang menyebabkan 8 orang meninggal. Di samping persoalan konflik yang berasal dari daerah asal mereka di Myanmar, Rudenim kami memang rata-rata kelebihan penghuni. Dari 13 Rudenim, terisi lebih dari 3.111 pengungsi. Tidak hanya Rudenim, lapas dan rutan kami juga tantangannya semakin meningkat. Dengan 550 lapas dan rutan di seluruh Indonesia, tingkat hunian sekarang mencapai lebih dari 155 ribu napi dan tahanan. 

Jumlah demikian jauh dari layak, sehingga ikhtiar untuk menjaga keamanan dan ketertiban semakin menantang. Apa yang terjadi di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, adalah salah satu contoh saja bagaimana tugas di lingkungan pemasyarakatan semakin tidak ringan. Yang pasti, untuk persoalan serangan di Cebongan, kita harus sepakat, tidak ada alasan pembenar apa pun bagi tindakan keji demikian. 

Karena itu, siapa pun pelakunya itu adalah tindakan kejahatan, yang harus diberikan hukuman yang setimpal. Termasuk jika dari fakta—dan utamanya bukti— yang ada, terungkap bahwa pembunuhan itu direncanakan, maka pelakunya dapat diancam hukuman mati, sebagaimana hukuman bagi pembunuhan berencana yang diatur dalam KUHP kita. 

Siang dan sore harinya di Medan, saya menjadi salah satu narasumber dalam diskusi agen muda perubahan yang menghadirkan juga Anies Baswedan dan Agus HarimurtiYudhoyono. Najwa Shihab yang memandu acara memberikan banyak pertanyaan kritis, salah satunya adalah pandangan kami tentang kriteria pemimpin masa depan. Saya mengatakan, siapa pun pemimpin Indonesia, harus tetap mewarisi kesabaran untuk terus melanjutkan demokratisasi di Tanah Air. 

Pascareformasi, Indonesia jelas telah tumbuh menjadi negara yang lebih demokratis. Namun, demokrasi kita masih belia, dan perlu terus dirawat agar tumbuh makin dewasa. Dalam masa pertumbuhan demikian, pemimpin yang sabar adalah suatu keniscayaan. Sabar dalam merawat demokrasi, sabar dalam menghadapi berbagai sikap kritis dari berbagai penjuru mata angin. 

Kritik adalah keniscayaan kepada setiap pengemban amanah di negara yang demokratis. Tetapi kritik berbeda dengan penghinaan. Karena itu, saya mendukung perumusan delik penghinaan kepada presiden di dalam RUU KUHP. Perlu dipahami, kami bukan yang merumuskan pasal penghinaan tersebut, tetapi kami mendukung idenya. Saya sendiri menginginkan perumusan ulang delik penghinaan presiden tersebut agar tidak menjadi pasal karet yang menghambat sikap kritis. 

Rumusan karet itulah yang saya pahami dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena menghambat kebebasan berpendapat. Dengan demikian, jika rumusannya lebih jelas, serta tidak menghambat kebebasan berpendapat serta sikap kritis, maka kriminalisasi atas penghinaan, penistaan, fitnah kepada kehormatan presiden, seharusnya memang dapat dipidana. Sebelum era reformasi, jangankan dihina, dikritik saja presiden sangat sulit. 

Sebaliknya, di era pasca reformasi, jangankan dikritik, menghina presiden saja sangat bebas. Bagi saya, keduanya adalah situasi yang keliru. Karena itu, sekali lagi harus ada perumusan delik yang melarang presiden bebas dihina, dinistai ataupun difitnah, tetapi pada saat yang sama, pasal tersebut tidak terlampau longgar, sehingga menghambat sikap kritis, serta menghambat proses demokrasi di Tanah Air. 

Perlu juga saya tegaskan, bahwa perumusan pasal ini justru akan berlaku bagi presiden pasca SBY. Bagaimanapun, tidak mudah menyelesaikan lebih dari 700 pasal RUU KUHP sebelum Oktober 2014. Karena itu, kecurigaan bahwa pasal itu permintaan presiden SBY melalui saya, sama sekali tidak tepat. Presiden SBY tidak pernah meminta, saya tidak juga mengusulkan. 

Rumusan demikian sudah lama ada, dan saya menyetujuinya demi menjaga siapa pun tidak bebas dihina, dinistai dan difitnah— tidak juga presiden. Di Ende, Pulau Flores, saya berkesempatan memberikan pidato ilmiah pada upacara wisuda Universitas Flores. Di hari Minggu, setelah melihat keindahan danau tiga warna Kelimutu, kami mengunjungi situs Bung Karno, yang pernah diasingkan di Ende pada 1934–1938. 

Di rumah tempat Bung Karno sempat diasingkan masih tersimpan rapi beberapa barang peninggalan pribadi beliau. Di antaranya adalah naskah-naskah drama yang diciptakan Bung Karno selama masa pengasingan, serta satu lukisan berjudul “Pura Bali” yang dibuat tahun 1935. Darah seni jelas terlihat mengalir kuat dalam karya Presiden Pertama Republik Indonesia tersebut. Di buku tamu situs rumah Bung Karno, saya tuliskan pesan yang berbunyi, “Terima kasih Bung Karno.” 

Setiap presiden adalah manusia. Sejarah telah membuktikan pada saatnya, ia akan menjadi hero atau zero. Bung Karno pastinya adalah hero untuk kita, untuk Indonesia. Dari Ende, meski diasingkan seorang hero tetap berkarya, seorang hero tak akan menjadi zero. Sang hero Soekarno, dari Ende untuk Indonesia! Di pinggir pantai Kota Ende, ada taman yang pada Juni nanti akan diresmikan oleh Wakil Presiden Boediono sebagai Taman Perenungan Bung Karno. Konon, pada taman itulah Bung Karno sering berkontemplasi, dan akhirnya melahirkan Pancasila.
Itulah “4 Hari, 5 Provinsi, 9 Bandara” yang saya jalani. Ada cerita hero Bung Karno di masa 1930-an yang melahirkan Pancasila; ada cerita Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono, dua pemimpin muda, calon pemimpin masa depan; serta ada kisah para CPNS 2012, yang kami harapkan menjadi tulang punggung pejuang keadilan kumham di masa depan. Semuanya, terangkum dalam satu langkah, satu cita demi Indonesia yang lebih baik, lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar