Terima Kasih
Presiden SBY
Denny Indrayana ; Wakil
Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar
Hukum Tata Negara UGM
|
SINDO,
09 Oktober 2012
Ke
mana Presiden kita? SBY di mana? Akhir-akhir ini banyak pesan dengan isi senada
menghiasi ruang publik, mulai dari media cetak dan elektronik, media sosial,
hingga SMS dan BBM. Semuanya terkait dengan meruncingnya relasi KPK dan Polri.
Saya
akan menjelaskan Presiden tidak ke mana-mana. Presiden terus memantau dan
berupaya mencari solusi terbaik agar persoalan KPK dan Polri tidak makin
meruncing dan kontraproduktif. Memang tidak semua upaya Presiden tersebut
dipublikasikan dan terbuka untuk pemberitaan. Tidak jarang strategi komunikasi
untuk mendamaikan suasana justru kontraproduktif jika dipublikasikan.
Saya dapat saja diam dan tidak mengungkapkan fakta tersebut karena pasti akan dituduh bersikap ABS. Namun, saya memilih untuk menjelaskan apa adanya. Saya tidak boleh diam dan hanya cari selamat misalnya demi citra di mata publik yang terus mengkritisi Presiden. Padahal Presiden yang telah bekerja terus mendapatkan cibiran dan perlakuan tidak fair di ruang publik.
Persoalan yang dihadapi KPK dengan beberapa lembaga negara berulangkali terjadi. Ikhtiar pemberantasan korupsi yang dilakukannya menyebabkan KPK tentu akan bergesekan dengan oknum koruptif di beberapa institusi. Salah satu gesekan yang terjadi beberapa kali adalah dengan Polri karena beberapa oknumnya terindikasi melakukan korupsi. Ketika muncul persoalan terbuka antara KPK dan Polri, dikenal dengan insiden “Cicak vs Buaya”, Presiden langsung mengambil langkah-langkah penyelamatan. Pada 2009, karena persoalan hukum, tiga pimpinan KPK (Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto) tidak aktif.
Hanya ada dua pimpinan KPK yang masih bertugas yakni M Jasin dan Haryono Umar. Maka itu, KPK nyaris tumbang. Dalam situasi demikian, Presiden menyelamatkan nyawa KPK. Presiden menerbitkan Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU KPK yang memungkinkan diangkatnya pimpinan KPK sementara. Maka itu, kehadiran Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Achmad Santosa kembali menyambung napas KPK yang kembang kempis.
Sangat jelas Presiden mengklasifikasikan KPK yang hanya dipimpin dua orang adalah “kegentingan yang memaksa” sehingga perpu wajib diterbitkan. Selanjutnya, untuk menyelesaikan persoalan hukum Chabit (Chandra dan Bibit), Presiden membentuk Tim Independen Verifikasi Kasus (Tim 8)—di mana saya menjadi sekretaris timnya. Rekomendasi kami agar kasus Chabit tidak dibawa ke pengadilan diterima Presiden. Akhirnya kasus Chabit ditutup dengan pengesampingan perkaranya oleh Jaksa Agung (deponeering).
Saya ingat persis ketika pamit akan naik haji pada 2010, sambil membawa usulan agar kasus Chabit dihentikan dengan deponeering. Tanpa berpikir lama, Presiden menyetujui usulan saya tersebut dan akhirnya disetujui dan dilaksanakan pula oleh Jaksa Agung. Penyelamatan KPK tidak hanya dengan menyelamatkan para pimpinannya dari persoalan hukum, tapi juga dari pelemahan regulasinya. Sudah pernah saya sampaikan, ketika pada 2009 di DPR membahas RUU Pengadilan Tipikor, berkembang pula wacana untuk mengurangi dan membatasi kewenangan strategis KPK, utamanya dengan menghilangkan penuntutan dan mewajibkan izin sebelum penyadapan.
Menghadapi rencana demikian, Presiden dalam sidang kabinet terbatas menyampaikan arahan yang jelas kepada Menkumham kala itu, selaku wakil pemerintah, bahwa pemerintah menolak proposal rumusan demikian. Presiden menegaskan ingin KPK tetap efektif bekerja dan karena itu menolak jika kewenangan strategis KPK dilucuti. Dengan beberapa contoh di atas, menjadi tidak fair mengatakan Presiden tidak hadir ketika KPK dilemahkan. Dalam contoh di atas, Presiden justru berperan aktif menyelamatkan KPK.
Kalaupun Presiden tidak langsung muncul, itu karena memang beberapa tindakan diperintahkan dilakukan oleh Menkopolhukam, menteri kabinet, atau saya sendiri. Ada pula yang mengkritisi dengan membandingkan cepatnya Presiden merespons video Ariel. Suatu perbandingan yang keliru. Berita tanggapan Presiden atas video Ariel disampaikan Presiden karena menjawab pertanyaan wartawan di Istana Cipanas. Saya tahu persis karena saat itu saya juga ikut hadir dalam forum tanya jawab tersebut. Saat itu Presiden memang membuka ruang tanya jawab dan mempersilakan wartawan menanyakan beberapa isu-isu aktual, yang langsung beliau jawab.
Karena itu, ketika Presiden malam tadi menegaskan lima kebijakannya yang pada dasarnya menyelamatkan lagi agenda pemberantasan korupsi, termasuk pula menguatkan KPK, bagi saya itu konsisten dengan sikap Presiden selama ini. Saya tahu persis pilihan sikap Presiden karena dalam beberapa waktu terakhir berdiskusi intens dengan Presiden untuk perumusan pidato beliau tadi malam. Dimulai ketika saya hadir di KPK sejak Kamis malam hingga Jumat dini hari kemarin, ketika Novel Baswedan dikabarkan akan ditangkap Polri.
Saya, yang diminta hadir ke KPK oleh Menkopolhukam dan Busyro Muqoddas, malam itu mengirimkan laporan kepada Presiden melalui SMS. Jumat pagi Presiden menelepon saya dan menyampaikan beberapa pandangan beliau, yang kemudian ditegaskan lagi pada pertemuan langsung sore harinya. Dengan bermodal arahan Presiden, riset dan masukan dari beberapa teman, sejak Sabtu hingga Senin dini hari saya menyiapkan masukan kepada Presiden. Alhamdulillah, tentu setelah menerima pandangan dari beberapa pihak, Presiden memutuskan lima hal yang sejalan dengan masukan yang saya tuliskan dalam legal memorandum.
Beberapa kalangan mengirim pesan, mengapresiasi pidato Presiden tadi malam. Terima kasih, ingin saya sampaikan, saya hanya kurir yang menyampaikan pesan publik anti korupsi kepada Presiden, yang juga sudah memahaminya dan mengetahuinya. Presiden SBY menegaskan bahwa: Pertama, penanganan kasus simulator menjadi kewenangan tunggal KPK.
Dalam pertemuan siang hari sebelumnya, Presiden telah bertemu Kapolri dan pimpinan KPK, serta menegaskan kepada Kapolri bekerja sama dan hasil penyidikan simulator diserahkan kepada KPK. Kedua, Presiden menyampaikan akan mengatur soal penyidik KPK dari instansi lain agar dapat bekerja empat tahun, tanpa ditarik di tengah masa kerjanya. Ketiga, Presiden mengkritik penanganan kasus Novel Baswedan yang tidak tepat timing dan caranya. Keempat, Presiden menolak rencana perubahan UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK.
Kelima, yang terakhir, Presiden menyarankan agar nota kesepahaman disempurnakan untuk meningkatkan sinergi dan kerja sama pemberantasan korupsi antara KPK, Polri, dan kejaksaan. Kelima arahan dan solusi yang disampaikan Presiden tersebut sudah jelas kembali memberikan “angin segar” bagi pemberantasan korupsi, termasuk menguatkan peran dan fungsi KPK. Tentu dengan tetap menjaga agar institusi Polri (dan kejaksaan) tetap dihormati serta juga diselamatkan.
Dalam pemberantasan korupsi tentu kita butuh KPK yang semakin kuat dan Polri yang semakin bersih. Terima kasih Presiden SBY. Mari, terus berjuang untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Saya dapat saja diam dan tidak mengungkapkan fakta tersebut karena pasti akan dituduh bersikap ABS. Namun, saya memilih untuk menjelaskan apa adanya. Saya tidak boleh diam dan hanya cari selamat misalnya demi citra di mata publik yang terus mengkritisi Presiden. Padahal Presiden yang telah bekerja terus mendapatkan cibiran dan perlakuan tidak fair di ruang publik.
Persoalan yang dihadapi KPK dengan beberapa lembaga negara berulangkali terjadi. Ikhtiar pemberantasan korupsi yang dilakukannya menyebabkan KPK tentu akan bergesekan dengan oknum koruptif di beberapa institusi. Salah satu gesekan yang terjadi beberapa kali adalah dengan Polri karena beberapa oknumnya terindikasi melakukan korupsi. Ketika muncul persoalan terbuka antara KPK dan Polri, dikenal dengan insiden “Cicak vs Buaya”, Presiden langsung mengambil langkah-langkah penyelamatan. Pada 2009, karena persoalan hukum, tiga pimpinan KPK (Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto) tidak aktif.
Hanya ada dua pimpinan KPK yang masih bertugas yakni M Jasin dan Haryono Umar. Maka itu, KPK nyaris tumbang. Dalam situasi demikian, Presiden menyelamatkan nyawa KPK. Presiden menerbitkan Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan UU KPK yang memungkinkan diangkatnya pimpinan KPK sementara. Maka itu, kehadiran Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Achmad Santosa kembali menyambung napas KPK yang kembang kempis.
Sangat jelas Presiden mengklasifikasikan KPK yang hanya dipimpin dua orang adalah “kegentingan yang memaksa” sehingga perpu wajib diterbitkan. Selanjutnya, untuk menyelesaikan persoalan hukum Chabit (Chandra dan Bibit), Presiden membentuk Tim Independen Verifikasi Kasus (Tim 8)—di mana saya menjadi sekretaris timnya. Rekomendasi kami agar kasus Chabit tidak dibawa ke pengadilan diterima Presiden. Akhirnya kasus Chabit ditutup dengan pengesampingan perkaranya oleh Jaksa Agung (deponeering).
Saya ingat persis ketika pamit akan naik haji pada 2010, sambil membawa usulan agar kasus Chabit dihentikan dengan deponeering. Tanpa berpikir lama, Presiden menyetujui usulan saya tersebut dan akhirnya disetujui dan dilaksanakan pula oleh Jaksa Agung. Penyelamatan KPK tidak hanya dengan menyelamatkan para pimpinannya dari persoalan hukum, tapi juga dari pelemahan regulasinya. Sudah pernah saya sampaikan, ketika pada 2009 di DPR membahas RUU Pengadilan Tipikor, berkembang pula wacana untuk mengurangi dan membatasi kewenangan strategis KPK, utamanya dengan menghilangkan penuntutan dan mewajibkan izin sebelum penyadapan.
Menghadapi rencana demikian, Presiden dalam sidang kabinet terbatas menyampaikan arahan yang jelas kepada Menkumham kala itu, selaku wakil pemerintah, bahwa pemerintah menolak proposal rumusan demikian. Presiden menegaskan ingin KPK tetap efektif bekerja dan karena itu menolak jika kewenangan strategis KPK dilucuti. Dengan beberapa contoh di atas, menjadi tidak fair mengatakan Presiden tidak hadir ketika KPK dilemahkan. Dalam contoh di atas, Presiden justru berperan aktif menyelamatkan KPK.
Kalaupun Presiden tidak langsung muncul, itu karena memang beberapa tindakan diperintahkan dilakukan oleh Menkopolhukam, menteri kabinet, atau saya sendiri. Ada pula yang mengkritisi dengan membandingkan cepatnya Presiden merespons video Ariel. Suatu perbandingan yang keliru. Berita tanggapan Presiden atas video Ariel disampaikan Presiden karena menjawab pertanyaan wartawan di Istana Cipanas. Saya tahu persis karena saat itu saya juga ikut hadir dalam forum tanya jawab tersebut. Saat itu Presiden memang membuka ruang tanya jawab dan mempersilakan wartawan menanyakan beberapa isu-isu aktual, yang langsung beliau jawab.
Karena itu, ketika Presiden malam tadi menegaskan lima kebijakannya yang pada dasarnya menyelamatkan lagi agenda pemberantasan korupsi, termasuk pula menguatkan KPK, bagi saya itu konsisten dengan sikap Presiden selama ini. Saya tahu persis pilihan sikap Presiden karena dalam beberapa waktu terakhir berdiskusi intens dengan Presiden untuk perumusan pidato beliau tadi malam. Dimulai ketika saya hadir di KPK sejak Kamis malam hingga Jumat dini hari kemarin, ketika Novel Baswedan dikabarkan akan ditangkap Polri.
Saya, yang diminta hadir ke KPK oleh Menkopolhukam dan Busyro Muqoddas, malam itu mengirimkan laporan kepada Presiden melalui SMS. Jumat pagi Presiden menelepon saya dan menyampaikan beberapa pandangan beliau, yang kemudian ditegaskan lagi pada pertemuan langsung sore harinya. Dengan bermodal arahan Presiden, riset dan masukan dari beberapa teman, sejak Sabtu hingga Senin dini hari saya menyiapkan masukan kepada Presiden. Alhamdulillah, tentu setelah menerima pandangan dari beberapa pihak, Presiden memutuskan lima hal yang sejalan dengan masukan yang saya tuliskan dalam legal memorandum.
Beberapa kalangan mengirim pesan, mengapresiasi pidato Presiden tadi malam. Terima kasih, ingin saya sampaikan, saya hanya kurir yang menyampaikan pesan publik anti korupsi kepada Presiden, yang juga sudah memahaminya dan mengetahuinya. Presiden SBY menegaskan bahwa: Pertama, penanganan kasus simulator menjadi kewenangan tunggal KPK.
Dalam pertemuan siang hari sebelumnya, Presiden telah bertemu Kapolri dan pimpinan KPK, serta menegaskan kepada Kapolri bekerja sama dan hasil penyidikan simulator diserahkan kepada KPK. Kedua, Presiden menyampaikan akan mengatur soal penyidik KPK dari instansi lain agar dapat bekerja empat tahun, tanpa ditarik di tengah masa kerjanya. Ketiga, Presiden mengkritik penanganan kasus Novel Baswedan yang tidak tepat timing dan caranya. Keempat, Presiden menolak rencana perubahan UU KPK yang berpotensi melemahkan KPK.
Kelima, yang terakhir, Presiden menyarankan agar nota kesepahaman disempurnakan untuk meningkatkan sinergi dan kerja sama pemberantasan korupsi antara KPK, Polri, dan kejaksaan. Kelima arahan dan solusi yang disampaikan Presiden tersebut sudah jelas kembali memberikan “angin segar” bagi pemberantasan korupsi, termasuk menguatkan peran dan fungsi KPK. Tentu dengan tetap menjaga agar institusi Polri (dan kejaksaan) tetap dihormati serta juga diselamatkan.
Dalam pemberantasan korupsi tentu kita butuh KPK yang semakin kuat dan Polri yang semakin bersih. Terima kasih Presiden SBY. Mari, terus berjuang untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar