Rabu, 10 Oktober 2012

Menyinergikan KPK dan Polri


Menyinergikan KPK dan Polri
Ferry Ferdiansyah ;  Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi
Magister Komunikasi, Universitas Mercubuana Jakarta
SUARA KARYA, 09 Oktober 2012


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipastikan akan mengambil alih kisruh antara dua lembaga hukum, KPK dan Polri. Dalam pernyataan yang disampaikan Menteri Sekertaris Negara (Mensesneg) Sudi Silallahi, Presiden segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat setelah melakukan pertemuan KPK-Polri.

Melihat aksi saling tikam antar lembaga penegak hukum itu, SBY yang awalnya tak mau terlalu jauh masuk ke dalam wilayah ranah hukum, kali ini tak bisa lepas tangan. Benar, bahwa intervensi pemerintah ke dalam penegakan hukum, hukumnya haram, mengingat kedua lembaga berdiri sejajar dan saling menguatkan.

Namun, hal ini perlu dipertegas bahwa Presiden bukan hanya sebatas kepala pemerintahan, melainkan juga kepala negara yang bertanggung jawab kepada rakyat. Menyelamatkan institusi KPK dan Polri adalah wajib hukumnya, karena keduanya merupakan bagian dari institusi dalam penegakan hukum di Indonesia.

Dikhawatirkan, jika dibiarkan polemik antara KPK dan Polri akan menciptakan situasi saling menjatuhkan antar kedua lembaga tersebut, pada akhirnya berdampak pada kehidupan bernegara akan semakin tidak sehat. Untuk itu konflik yang terjadi harus segera diselesaikan, karena pembiaran akan menempatkan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi di titik nadir.

Konflik antar KPK dan Polri ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, pasca ditetapkannya Chanda M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua komisioner KPK sebagai tersangka oleh Mabes Polri, dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Saat itu keduanya terkena Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang. Mereka disinyalir memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berimplikasi pada penyimpangan.

Tuduhan Polri ini tak begitu saja diamini oleh publik. Sejumlah pihak memberikan reaksi keras atas langkah Polri tersebut. Keputusan itu dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK.

Konflik kali ini terkait Irjen Pol Djoko Susilo yang menolak diperiksa oleh KPK, Jumat (28/9/2012). Mantan Gubernur Akademi Kepolisian ini, merupakan tersangka yang telah ditetapkan KPK dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM di Korlantas.
Polemik sengketa kewenangan, muncul saat KPK memutuskan untuk menangani kasus Korlantas, Polri turut mengusut kasus yang sama dengan tersangka yang sama. 

Perbedaannya, kepolisian tidak menjadikan mantan kepala Korlantas ini sebagai tersangka seperti yang dilakukan KPK. Sebaliknya, KPK memiliki cukup bukti bahwa Djoko Susilo diduga menerima suap senilai Rp 2 miliar ketika menjabat kepala Korps Lalu Lintas Polri pada 2011. Keanehan sangat jelas terlihat ketika Polri tidak menjadikan Djoko sebagai tersangka, tetapi menjerat Bendahara Korlantas Komisaris Legimo.

Upaya Polri melindungi salah satu perwira tinggi ini, terlihat jelas bahwa Polri tetap pada pendiriannya untuk mengambil alih kasus ini dengan tujuan mantan kepala Satlantas bebas dari jeratan KPK.

Semakin meruncingnya hubungan kedua lembaga penegakan hukum ini, mulai mencuat kepermukaan ketika kepolisian tiba-tiba menarik 20 penyidiknya yang tengah bertugas di KPK. Bukan sebatas itu saja, pada Jumat (5/10/2012) malam anggota Polda Bengkulu mendatangi Gedung KPK untuk menangkap penyidik KPK, Novel Baswedan.

Dalil yang disampaikan kepolisian saat itu, Novel diduga melakukan penganiayaan berat saat bertugas di Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004. Aksi ini mendapatkan reaksi dari Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang menganggap sebagai bentuk kriminalisasi anggota KPK.

Perlu dikemukakan, menjadikan hukum sebagai panglima, di dalam sistem kenegaraan di Indonesia merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Itu, sesuai dengan harapan sejak era reformasi bergulir yang menyangkut kepentingan rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah menegakan penegakan hukum. Sudah sepatutnya demokrasi reformasi diimbangi dengan meletakan hukum sebagai panglima. Penegakan anti korupsi dan berbagai persoalan di Indonesia akan berhasil jika hukum benar-benar menjadi panglima. Hukum, haruslah menjadi sumber kekuasaan. Tujuannya, agar pemerintahan terarah demi terciptanya kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum.

Dalam hal ini, Aristoteles menyatakan, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aturan yang konstitusional dalam negara inilah yang berkaitan erat di dalam kehidupan bernegara antara manusia dan hukum. Bagi muridnya Plato, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaan yang pada akhirnya menentukan baik buruknya suatu hukum. Sudah sepatutnya Polri selaku lembaga penegakan hukum bekerja sama dengan KPK dalam menegakan penegakan hukum.

Keterlibatan SBY dalam penegakan hukum kali ini memang sangat diperlukan untuk menyudahi perseteruan antara Polri dan KPK dalam penanganan kasus korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri. Dengan masuknya SBY dalam penyelesaian masalah ini membuktikan komitmen dirinya dalam penegakan hukum dinegeri ini sekaligus mematahkan ungkapan langkah presiden yang dianggap lamban dalam merespon konflik.

Artinya, langkah yang ditempuh pemimpin negeri ini sudah tepat. Presiden harus menerima laporan lengkap terlebih dahulu dari Kapolri yang berkoordinasi dengan ketua KPK. Sebelumnya, Presiden mencari jalan tengah dan solusi terbaik terkait KPK-Polri. Kasus Bibit-Chandra menjadi contoh dari hal itu.

Jika Presiden sejak (?) sudah memasuki permasalah ini di khawatirkan menjadi bumerang yang dianggap mengintervensi permasalahan kasus korupsi. Masuknya presiden dalam penyelesaian permasalahan ini, sekaligus menciptakan kembali sinergi di antara kedua lembaga penegakan hukum di negeri ini. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar