Menyinergikan
KPK dan Polri
Ferry Ferdiansyah ; Mahasiswa Pasca
Sarjana, Program Studi
Magister Komunikasi, Universitas Mercubuana Jakarta
|
SUARA
KARYA, 09 Oktober 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dipastikan akan mengambil
alih kisruh antara dua lembaga hukum, KPK dan Polri. Dalam pernyataan yang
disampaikan Menteri Sekertaris Negara (Mensesneg) Sudi Silallahi, Presiden
segera mengambil alih dan menyampaikan penjelasan kepada rakyat setelah
melakukan pertemuan KPK-Polri.
Melihat aksi saling tikam antar lembaga penegak hukum itu, SBY
yang awalnya tak mau terlalu jauh masuk ke dalam wilayah ranah hukum, kali ini
tak bisa lepas tangan. Benar, bahwa intervensi pemerintah ke dalam penegakan
hukum, hukumnya haram, mengingat kedua lembaga berdiri sejajar dan saling
menguatkan.
Namun, hal ini perlu dipertegas bahwa Presiden bukan hanya sebatas
kepala pemerintahan, melainkan juga kepala negara yang bertanggung jawab kepada
rakyat. Menyelamatkan institusi KPK dan Polri adalah wajib hukumnya, karena
keduanya merupakan bagian dari institusi dalam penegakan hukum di Indonesia.
Dikhawatirkan, jika dibiarkan polemik antara KPK dan Polri akan
menciptakan situasi saling menjatuhkan antar kedua lembaga tersebut, pada
akhirnya berdampak pada kehidupan bernegara akan semakin tidak sehat. Untuk itu
konflik yang terjadi harus segera diselesaikan, karena pembiaran akan
menempatkan komitmen negara dalam pemberantasan korupsi di titik nadir.
Konflik antar KPK dan Polri ini bukan kali pertama terjadi.
Sebelumnya, pasca ditetapkannya Chanda M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua
komisioner KPK sebagai tersangka oleh Mabes Polri, dengan tuduhan penyalahgunaan
wewenang. Saat itu keduanya terkena Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi junto Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang. Mereka disinyalir
memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berimplikasi
pada penyimpangan.
Tuduhan Polri ini tak begitu saja diamini oleh publik. Sejumlah
pihak memberikan reaksi keras atas langkah Polri tersebut. Keputusan itu
dianggap sebagai upaya kriminalisasi terhadap KPK.
Konflik kali ini terkait Irjen Pol Djoko Susilo yang menolak
diperiksa oleh KPK, Jumat (28/9/2012). Mantan Gubernur Akademi Kepolisian ini,
merupakan tersangka yang telah ditetapkan KPK dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan alat simulator SIM di Korlantas.
Polemik sengketa kewenangan, muncul saat KPK memutuskan untuk
menangani kasus Korlantas, Polri turut mengusut kasus yang sama dengan
tersangka yang sama.
Perbedaannya, kepolisian tidak menjadikan mantan kepala
Korlantas ini sebagai tersangka seperti yang dilakukan KPK. Sebaliknya, KPK
memiliki cukup bukti bahwa Djoko Susilo diduga menerima suap senilai Rp 2
miliar ketika menjabat kepala Korps Lalu Lintas Polri pada 2011. Keanehan
sangat jelas terlihat ketika Polri tidak menjadikan Djoko sebagai tersangka,
tetapi menjerat Bendahara Korlantas Komisaris Legimo.
Upaya Polri melindungi salah satu perwira tinggi ini, terlihat
jelas bahwa Polri tetap pada pendiriannya untuk mengambil alih kasus ini dengan
tujuan mantan kepala Satlantas bebas dari jeratan KPK.
Semakin meruncingnya hubungan kedua lembaga penegakan hukum ini,
mulai mencuat kepermukaan ketika kepolisian tiba-tiba menarik 20 penyidiknya
yang tengah bertugas di KPK. Bukan sebatas itu saja, pada Jumat (5/10/2012)
malam anggota Polda Bengkulu mendatangi Gedung KPK untuk menangkap penyidik
KPK, Novel Baswedan.
Dalil yang disampaikan kepolisian saat itu, Novel diduga melakukan
penganiayaan berat saat bertugas di Kepolisian Resor Bengkulu pada 2004. Aksi
ini mendapatkan reaksi dari Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang menganggap
sebagai bentuk kriminalisasi anggota KPK.
Perlu dikemukakan, menjadikan hukum sebagai panglima, di dalam
sistem kenegaraan di Indonesia merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Itu,
sesuai dengan harapan sejak era reformasi bergulir yang menyangkut kepentingan
rakyat. Salah satu pilar demokrasi adalah menegakan penegakan hukum. Sudah
sepatutnya demokrasi reformasi diimbangi dengan meletakan hukum sebagai
panglima. Penegakan anti korupsi dan berbagai persoalan di Indonesia akan
berhasil jika hukum benar-benar menjadi panglima. Hukum, haruslah menjadi sumber
kekuasaan. Tujuannya, agar pemerintahan terarah demi terciptanya kepentingan,
kebaikan, dan kesejahteraan umum.
Dalam hal ini, Aristoteles menyatakan, suatu negara yang baik
ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aturan yang
konstitusional dalam negara inilah yang berkaitan erat di dalam kehidupan
bernegara antara manusia dan hukum. Bagi muridnya Plato, yang memerintah dalam
negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaan yang pada
akhirnya menentukan baik buruknya suatu hukum. Sudah sepatutnya Polri selaku
lembaga penegakan hukum bekerja sama dengan KPK dalam menegakan penegakan
hukum.
Keterlibatan SBY dalam penegakan hukum kali ini memang sangat
diperlukan untuk menyudahi perseteruan antara Polri dan KPK dalam penanganan
kasus korupsi pengadaan simulator SIM Korlantas Polri. Dengan masuknya SBY
dalam penyelesaian masalah ini membuktikan komitmen dirinya dalam penegakan
hukum dinegeri ini sekaligus mematahkan ungkapan langkah presiden yang dianggap
lamban dalam merespon konflik.
Artinya, langkah yang ditempuh pemimpin negeri ini sudah tepat.
Presiden harus menerima laporan lengkap terlebih dahulu dari Kapolri yang
berkoordinasi dengan ketua KPK. Sebelumnya, Presiden mencari jalan tengah dan
solusi terbaik terkait KPK-Polri. Kasus Bibit-Chandra menjadi contoh dari hal
itu.
Jika Presiden sejak (?) sudah memasuki permasalah ini di
khawatirkan menjadi bumerang yang dianggap mengintervensi permasalahan kasus
korupsi. Masuknya presiden dalam penyelesaian permasalahan ini, sekaligus
menciptakan kembali sinergi di antara kedua lembaga penegakan hukum di negeri
ini.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar