Selasa, 09 Oktober 2012

Save KPK, Save Polri, Save Indonesia!


Save KPK, Save Polri, Save Indonesia!
Hery Firmansyah ;  Dosen Pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
SINDO, 09 Oktober 2012



Badai kencang masih menghantam KPK. Setelah hampir surut dengan pemberitaan akan ada wacana revisi undang-undang KPK, kali ini markas besar KPK didatangi sejumlah anggota kepolisian yang katanya akan melakukan penangkapan terhadap Kompol Novel Baswedan, seorang penyidik di KPK.

Ia disebut terlibat dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan seorang tahanan pada 2004 semasa bertugas di wilayah hukum Polda Bengkulu. Reaksi masyarakat tak tertahan lagi. Tanpa dikomandoi, berbagai elemen memberikan pernyataan sikap di depan Gedung KPK dan tegas menolak sikap kepolisian yang sepertinya memiliki agenda lain terkait kasus simulator SIM yang tengah ditangani KPK.

Sikap masyarakat tidaklah untuk mencoreng wajah Polri atau berlaku berat sebelah untuk menyudutkan Polri,namun gerakan spontanitas itu sebuah bentuk kegerahan atas maraknya upaya “kriminalisasi” terhadap KPK. Sikap Polri dibaca oleh masyarakat sebagai bentuk arogansi lembaga penegak hukum yang masih belum mampu secara ksatria menerima proses hukum yang harus dijalani seorang jenderal di jajaran institusinya.

Dipastikan tidak ada keuntungan apa pun bagi Polri untuk tetap bersikukuh menjalankan sikap ”pasang badan” semacam ini. Kita akan selalu berdiri di garda terdepan bersama Polri jika saja sikap tegas semacam ini juga diberlakukan terhadap sejumlah kasus yang diindikasikan melibatkan sejumlah anggota perwira kepolisian. Terobosan dengan melakukan bersih-bersih audit harta kekayaan yang dimulai dari pucuk pimpinan Polri pasti akan memberikan efek yang luar biasa terhadap keyakinan masyarakat bahwa Polri telah ”memantaskan diri” sebagai penegak hukum yang bersih dari praktik korup. Bagaimana mungkin menjadi bersih sebuah lantai jika sapu yang digunakan adalah sapu yang kotor?

Dilemahkan Secara Sistemik

Kasus ini terjadi di tengah polemik mengenai rencana revisi terhadap keberadaan Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 semakin kencang dihembuskan oleh wakil rakyat. Entah disadari apa tidak oleh mereka bahwa tindakan tersebut sangat berpotensi besar melemahkan kedudukan KPK. Beberapa kewenangan utama KPK menjadi fokus revisi terutama terkait masalah penuntutan dan penyadapan.

Jika saja jeli membaca sepak terjang KPK, dua hal ini sesungguhnya senjata pamungkas yang KPK miliki saat kinerja aparat penegak hukum lain sedang mengalami stagnasi luar biasa. Kasus yang akhirnya menyeret Angelina Sondakh adalah satu bukti kerja penyadapan yang dilakukan KPK berhasil. Jauh sebelumnya konspirasi tingkat tinggi yang dilakukan Anggodo bahkan berhasil membuktikan kepada publik bahwa beking penguasa hitam masih dianut dalam praktik.

Mirisnya, hal itu dilakukan aparat penegak hukum. Pelan tapi pasti KPK selalu dibuat repot sehingga akhirnya kita melihat bersama hal tersebut sungguh membuat terganggunya kinerja KPK. Penarikan 20 penyidik kepolisian saat ramainya kasus simulator SIM coba diredam dengan sebuah alasan masa tugas para penyidik tersebut telah habis. Sesungguhnya hal ini dipahami cukup membuat jalannya pemberantasan korupsi tersendat khususnya terhadap kasus yang ditangani para penyidik tersebut.

Akhirnya lontaran wacana dari Abraham Samad agar KPK segera memiliki penyidik independen memang terbukti patut diperhitungkan. Selama independensi itu hanya sebuah ilusi, selama itu pula KPK akan selalu terjerat di dalam jebakan yang dibuat pihak-pihak yang sudah tentu berseberangan dengan posisi KPK saat ini.

Dalam hukum pidana dikenal ada asas lex certa dan lex scripta di mana kedua hal tersebut mengajarkan kepada ahli hukum untuk dapat melihat penyelesaian hukum melalui pendekatan hukum pidana dengan jelas dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Urgensi pembaharuan terhadap undang-undang KPK sekiranya belumlah diperlukan untuk saat ini karena masih banyak kerja besar lain yang masih belum tuntas. Sejumlah megaskandal korupsi masih belum tersentuh, mengapa harus meributkan hal yang sebenarnya tidak pernah dipersoalkan sebagian besar rakyat negeri ini.

Janganlah mengatasnamakan rakyat jika saja yang sebenarnya diusung adalah nafsu pribadi dan tujuan tertentu yang memberi keuntungan sepihak bagi pengerat uang rakyat. Rasanya perlu menyuarakan serta mempertegas argumen bahwa KPK bukanlah lembaga tandingan aparat penegak hukum lain. Jadi tidak perlu ada sentimen yang mengarah kepada nuansa antagonis yang kontraproduktif tentu terhadap kerja pemberantasan korupsi.

Jika KPK salah, alangkah baiknya dikoreksi dengan bangunan yang konstruktif, tanpa perlu dibuat seakan-akan lembaga tersebut telah kehilangan spirit ”santo” terhadap korupsi serta embelembel menabrak peraturan ataupun overlapping kewenangan. Coba segarkan kembali pikiran mereka orangorang yang begitu getol menghantam KPK baik dengan cap ”hanya” sebuah lembaga ad hoc , yang dengan demikian dianggap sebagai lembaga penegak hukum ”kelas dua”, mungkin saja mereka yang mengatakan hal tersebut dahulunya adalah orang-orang yang aktif menyuarakan dan memperjuangkan pembentukan KPK.

Aksi diam dan lambat respons dari Presiden sangat memprihatinkan kita semua. Karena selayaknya pemimpin, Presiden sangat patut membuat sebuah garis demarkasi yang jelas tentang sikapnya terhadap polemik ini agar tidak semakin berlarut-larut. Apalagi atas nama UUD 1945 dan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN,Presiden diberikan kekuasaan penuh menjalankan amanat tersebut. Jika tidak, pengingkaran terhadap amanat tersebut telah terjadi dalam hal ini.

Penolakan terhadap segala bentuk usaha ”pembonsaian” KPK oleh siapa pun harus terus dilawan. Jangan takut untuk mengatakan bahwa kita semua adalah ”Cicak” (Cinta Indonesia Cinta Antikorupsi). Jelas bahwa KPK tidak boleh mati karena KPK masih dibutuhkan setidaknya untuk melawan pengerdilan semangat pemberantasan korupsi baik jika ditemukan di semua level penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Ke depan tentu KPK sebagai institusi harus lebih berhati-hati dan memahami bahwa kerja pemberantasan korupsi akan terus menuai ujian dari berbagai pihak. Namun, kerja ini harus terus ditunaikan. Masyarakat tidak boleh tinggal diam melihat hal yang perlu diluruskan. Kita tentu terus mendorong harmonisasi dalam supervisi yang dijalankan masing-masing institusi penegak hukum karena akan sangat sulit untuk dapat membuat negeri ini terbebas dari korupsi jika KPK tidak pernah dicintai sepenuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar