Substansi
Pendidikan
Mohammad Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for
Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
06 Oktober 2012
Tulisan Boediono di harian ini, 29 Agustus
2012, sangat menarik disimak.
Pertama, karena posisi penulisnya Wakil
Presiden RI yang (konon) juga pemimpin Komite Pendidikan sehingga besar
kemungkinan gagasan yang disampaikan tak berhenti semata dalam wacana. Kedua,
tulisan itu menyoal substansi pendidikan yang—menurut penulisnya, dan saya
sependapat—hingga kini belum jelas konsepsinya.
Namun, tulisan itu—biarpun mengakui
pendidikan sebagai kunci pembangunan — secara keseluruhan mengesankan bahwa
pembangunan ekonomi dan politik lebih utama. Usulan mengenai pendidikan umum
dan pendidikan khusus guna membekali murid soft skill dan hard skill terasa
simplistis. Kurang mendasar dibandingkan ide Boediono ketika jadi Menteri
Keuangan. Saat itu ia menekankan ”revolusi pendidikan” dalam strategi
pembangunan baru (Kompas, 23 Oktober 2003).
Perubahan fundamental, total, dan gradual ke
arah pemenuhan janji kemerdekaan sangat perlu. Hal itu akan terjadi jika
pendidikan diutamakan dalam pembangunan. Selama ini, dalam pembangunan yang
pro-pertumbuhan ekonomi dan kemapanan politik, pendidikan hanyalah perifer.
Akibatnya, aspirasi dan substansi pendidikan terbengkalai.
Secara filosofis, pendidikan adalah upaya
memenuhi aspirasi masyarakat pendukungnya. Pertama, aspirasi pragmatis.
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka mempertahankan dan mempermudah
kehidupan. Aspek terpentingnya, membekali generasi muda seperangkat kemampuan
untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Di sini, institusi pendidikan jadi wahana
pemberdayaan dan mobilitas sosial untuk keselamatan dan kesejahteraan.
Kedua, aspirasi nasionalistik. Melalui
pendidikan, sebuah bangsa/negara menggalang ketahanan nasionalnya. Identitas
dan spirit kebangsaan ditanamkan lewat berbagai kegiatan dengan harapan murid
jadi warga negara yang baik. Di sini, proses pendidikan merupakan upaya
membangun watak bangsa.
Ketiga, aspirasi kulturalistik. Pendidikan
dijadikan jalan transmisi dan transformasi budaya yang bertujuan tak sebatas
bertahan hidup atau jadi warga negara yang baik—karena humanitas kita bukan sekadar
eksis—tetapi juga berkebudayaan. Ide kebudayaan, menurut Daoed Joesoef,
menetapkan supremasi manusia di atas kewargaan atau citizenship (Kompas, 17 April 2012). Maka, pendidikan sering
disebut upaya memanusiakan manusia: menjadikan manusia seutuhnya, insan kamil:
manusia yang baik.
Upaya menyelaraskan sistem
pendidikan/persekolahan dengan aspirasi bangsa semestinya telah dilakukan sejak
awal kemerdekaan. Sayangnya, menurut Beeby (1975), hal itu tak terjadi.
Pendidikan kita jadi penuh anomali. Daoed Joesoef sewaktu jadi Mendikbud hendak
menormalkannya lewat konsep normalisasi kehidupan kampus (NKK), tetapi gagal.
Lima Masalah Pendidikan
Kaburnya substansi pendidikan merupakan
bagian dari akumulasi problem berlarut-larut yang kini perlu penyelesaian secara
tepat. Pertama, masalah fundamental yang mencakup alasan dasar dan arah
pendidikan. Kita memiliki tujuan negara, dasar negara, dan tujuan pendidikan
nasional sebagai landasan normatif pendidikan. Persoalannya bagaimana
perangkat-perangkat normatif itu diobyektivikasi jadi panduan operasional
pendidikan dalam konteks ruang-waktu.
Misalnya, soal kesejahteraan. Bukankah negeri
ini mengaku sebagai negara agraris. Lebih 60 persen rakyatnya hidup dari
pertanian, dan 80 persen di antaranya miskin. Kita memiliki sekolah menengah,
fakultas/jurusan/program studi hingga institut pertanian. Namun, pertanian tak
mengalami kemajuan berarti dan tak jadi basis perekonomian bangsa. Lebih ironis
lagi, mayoritas petani menyekolahkan anaknya ke level tinggi agar tak jadi
petani seperti orangtuanya.
Juga soal kebudayaan. Takdir pluralitas
kita—melalui pendidikan—seharusnya dijadikan kekuatan konstruktif, bukan
sebaliknya. Maraknya konflik belakangan adalah pertanda kendurnya ikatan
operasional pendidikan dengan realitas kebangsaan kita. Oleh karena itu,
konkretisasi korelasi antara strategi pembangunan ekonomi dan kebudayaan dengan
arah pendidikan nasional penting dilakukan.
Kedua, masalah struktural atau politik
pendidikan. Kekacauan pendidikan kita kebanyakan bersumber dari cara pemerintah
menjalankan politik pendidikan. Kebijakan pendidikan sering tak berbasis
pengetahuan: coba-coba tanpa studi, teori, dan pengalaman. Respons pemerintah
terhadap perkembangan acap kali reaktif dan program-program disusun sebagai
proyek koruptif. Alhasil, pendidikan secara operasional tak punya efektivitas,
relevansi, dan signifikansi terhadap kemajuan.
Ketiga, masalah operasional. Apa yang
seyogianya diajarkan agar manusia Indonesia berkontribusi maksimal bagi
kemajuan berada pada wilayah ini. Masalahnya, praktik pendidikan kita sering
kali dimasuki bermacam kepentingan non-pencerdasan. Banyak kompetensi dan
materi masuk kurikulum tanpa dikaji relevansi dan signifikansinya dengan
filosofi dan situasi kita sendiri. Raibnya Pendidikan
Moral Pancasila, masuknya Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa, dan saratnya kurikulum adalah akibat politik
menggampangkan pendidikan. Sikap itu pula yang melahirkan sertifikasi
portofolio guru dan ujian nasional (UN).
Kualitas pendidikan sangat bergantung pada pengoperasian
sistem, dan ditentukan politik pendidikan. Komite Pendidikan yang dipimpin
Wapres sebaiknya jadi brain-trust
untuk atasi masalah ini.
Keempat, masalah finansial. Sejak 2009
anggaran pendidikan melampaui 20 persen dari APBN. Akan tetapi, dana sangat
besar itu meliputi gaji pendidik, tunjangan profesi, biaya birokrasi, dan
anggaran pendidikan di 18 kementerian/lembaga lain. Kemdikbud mengelola kurang
dari 30 persen dari total anggaran pendidikan. Itu pun kerepotan menyediakan
program-program berkualitas.
Pendidikan kita menghadapi hambatan yang
sifatnya nonmaterial semata. Tahun fiskal 1974/1975 anggaran pendidikan naik 12
kali; sebelumnya Rp 36,6 miliar jadi Rp 436 miliar. Namun, kelimpahan uang itu
sepertinya tak menyentuh substansi pendidikan sehingga kini bermasalah.
Kearifan membelanjakan uang dengan program yang berkualitas adalah tantangan
berat yang harus dijawab pemerintah.
Kelima, masalah kultural. Ivan Illich dalam Deschooling Society-nya menggugat budaya
sekolah yang melegitimasi seseorang lewat ijazah. Di Indonesia, tradisi
bersekolah untuk ijazah telah berkembang jadi ”penyakit” diploma, yang
melahirkan perilaku pseudo ilmiah seperti plagiarisme. Membangun budaya
akademik merupakan tugas pokok yang perlu ditekuni agar persekolahan menjadi
institusi pendidikan yang benar-benar mencerdaskan.
Substansi pendidikan dapat ditemukan dari
tanggapan atas masalah di atas, lalu dijabarkan jadi pelajaran yang bermakna
secara ekonomis, politis, juga humanis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar