Sabtu, 06 Oktober 2012

Bintara dan Ancaman Aktual


Bintara dan Ancaman Aktual
Kiki Syahnakri ;  Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD
KOMPAS, 06 Oktober 2012


Subuh pagi, 26 Desember 2011, Markas Polsek Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, dikejutkan kehadiran massa (500-an orang) beringas. Mereka bersenjata parang dan tombak, mengepung dan melempari Mapolsek sambil berteriak histeris: bakar...!

Amuk massa dipicu oleh meninggalnya seorang tahanan Polsek Lembor, Arnold Hapong, warga Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor. Mendengar adanya amuk massa itu, Sersan Mayor Melkior Nandi, Bintara Pembina Desa (Babinsa) Wae Bangka, bergegas menuju Mapolsek Lembor untuk membantu menenangkan massa. Melihat Mapolsek sudah kosong, ia berinisiatif berteriak meminta massa jangan anarkistis.

Lewat pendekatan pada tokoh masyarakat, ia berhasil menenangkan massa. Massa pun bubar, kembali ke kampung untuk mengurus pemakaman. Atas keberhasilannya, KSAD menganugerahkan kenaikan pangkat luar biasa kepada Serma Melkior Nandi, bersamaan dengan Sersan Dua Nikolas Sandi Harewan, anggota Kopassus yang berhasil menggagalkan pemerkosaan.

Ketika Timor Timur masih jadi wilayah Indonesia, Serma Julio Fraga, Babinsa Laisorolai, Kabupaten Baucau, berhasil membina rakyatnya sehingga memiliki kesadaran keamanan lingkungan yang amat tinggi. Julio bersama rakyat di sana tak hanya berhasil mengamankan desanya, tetapi juga berhasil mengikis kekuatan Kompi Fretilin pimpinan David Alex yang dikenal kuat. Julio pun pernah mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa.

Pengalaman dua babinsa di atas contoh dari pelaksanaan pembinaan teritorial yang berhasil. Keberhasilan itu tentu ditopang sikap kedua bintara itu yang mengayomi rakyatnya. Mereka menghayati tugas dan kewajibannya, mahir berkomunikasi, piawai melakukan pendekatan kepada masyarakat.

”Soft power”

Sesungguhnya keberhasilan kedua babinsa itu hanyalah keberhasilan kecil dalam konteks Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Namun, di tengah rendahnya kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap masalah hankam, ketika amuk dan bentrokan massa marak terjadi, keberhasilan itu pantas diberi apresiasi.

Kini ancaman aktual yang dihadapi telah berkembang dengan canggihnya. Ancaman militer tidaklah nihil. Ancaman nonmiliter justru mendominasi masalah hankam pada skala global. Bentuk peperangan pun telah berubah signifikan. Berperang dengan menggunakan kekuatan senjata atau hard power tidak lagi efisien, kuno, dan berisiko tinggi. Penggunaan soft power melalui ”perang ekonomi, perang informasi, perang budaya” jauh lebih efektif dan efisien.

Kekuatan senjata digantikan ”informasi” untuk membangun persepsi sehingga berkembang model perang persepsi untuk membangun pancangan kaki di negara sasaran. Medan perangnya adalah cara berpikir manusia atau bangsa yang jadi sasaran. Elite bangsa yang berhasil dipengaruhi biasanya dijadikan kepanjangan tangan (proxy), selanjutnya berkembang pula war by proxy, sampai cara berpikir bangsa itu bisa dipengaruhi.

Sasaran berikutnya bidang politik-hukum untuk mengubah peraturan/perundang-undangan, bahkan konstitusi, agar memberikan kemudahan proses eksploitasi berikutnya. Lalu terjadi serbuan ”modal/finansial” untuk penguasaan ekonomi. Perusahaan multinasional dan NGO adalah ”tentara baru” bagi negara kuat menaklukkan negara sasaran.

Kini tujuan perang telah bergeser dari penguasaan ”teritori” ke penguasaan ”sumber daya”, atau dengan kata lain bertujuan ”ekonomi”. Lewat perang model baru atau biasa juga disebut sebagai perang generasi ke-4 inilah negara-negara Barat, yang sejatinya tidak pernah menanggalkan syahwat kolonialismenya, secara konsisten tetap berusaha menguasai sumber daya negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kekuatan militer hanya digunakan sebagai alternatif terakhir manakala penggunaan soft power mengalami jalan buntu, seperti terjadi di Irak dan Afganistan.

Rakyat serta para elite bangsa Indonesia tak menyadari telah jadi korban perang generasi baru ini. Tanpa disadari, perekonomian nasional telah dikuasai asing, kedaulatan ekonomi pun tergadaikan. Akibat destruktif yang lebih besar: lunturnya nilai luhur warisan budaya bangsa. Kekeluargaan, gotong royong, toleransi telah terkikis. Sebaliknya, mencuat sikap individual, egoistik, intoleran, primordial yang bermuara pada distorsi sosial, tumbuh suburnya masyarakat rentan konflik dan anarkis.

Tentu bukan kapasitas TNI, apalagi babinsa, untuk membangun kesadaran bela negara di kalangan penyelenggara pemerintahan negara. Pembangunan kesadaran bela negara dalam skala besar, strategis, jangka panjang merupakan tugas multisektor dan kewajiban pemerintah untuk mewujudkannya.

Para penyelenggara pemerintahan adalah manusia pilihan yang seharusnya telah lebih dulu memiliki kesadaran bela negara tinggi. Kenyataannya jauh panggang dari api. Akibat minimnya kesadaran para elite pemerintahan negara, terjadi dominasi permodalan asing yang nyaris sempurna di bidang perbankan, pertambangan, perkebunan, komunikasi, perusahaan air minum sampai pada ritel di Indonesia. Sesungguhnya hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 33 UUD 1945.

Semoga, contoh peran dan keberhasilan babinsa tersebut menggugah kesadaran bela negara para elite bangsa kita, serta meningkatkan kewaspadaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar