Bintara dan
Ancaman Aktual
Kiki Syahnakri ; Ketua Dewan Pengkajian Persatuan
Purnawirawan TNI AD
|
KOMPAS,
06 Oktober 2012
Subuh pagi, 26 Desember 2011, Markas Polsek
Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, dikejutkan kehadiran massa (500-an orang)
beringas. Mereka bersenjata parang dan tombak, mengepung dan melempari Mapolsek
sambil berteriak histeris: bakar...!
Amuk massa dipicu oleh meninggalnya seorang
tahanan Polsek Lembor, Arnold Hapong, warga Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor.
Mendengar adanya amuk massa itu, Sersan Mayor Melkior Nandi, Bintara Pembina
Desa (Babinsa) Wae Bangka, bergegas menuju Mapolsek Lembor untuk membantu menenangkan
massa. Melihat Mapolsek sudah kosong, ia berinisiatif berteriak meminta massa
jangan anarkistis.
Lewat pendekatan pada tokoh masyarakat, ia
berhasil menenangkan massa. Massa pun bubar, kembali ke kampung untuk mengurus
pemakaman. Atas keberhasilannya, KSAD menganugerahkan kenaikan pangkat luar
biasa kepada Serma Melkior Nandi, bersamaan dengan Sersan Dua Nikolas Sandi
Harewan, anggota Kopassus yang berhasil menggagalkan pemerkosaan.
Ketika Timor Timur masih jadi wilayah
Indonesia, Serma Julio Fraga, Babinsa Laisorolai, Kabupaten Baucau, berhasil
membina rakyatnya sehingga memiliki kesadaran keamanan lingkungan yang amat
tinggi. Julio bersama rakyat di sana tak hanya berhasil mengamankan desanya,
tetapi juga berhasil mengikis kekuatan Kompi Fretilin pimpinan David Alex yang
dikenal kuat. Julio pun pernah mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa.
Pengalaman dua babinsa di atas contoh dari
pelaksanaan pembinaan teritorial yang berhasil. Keberhasilan itu tentu ditopang
sikap kedua bintara itu yang mengayomi rakyatnya. Mereka menghayati tugas dan
kewajibannya, mahir berkomunikasi, piawai melakukan pendekatan kepada
masyarakat.
”Soft power”
Sesungguhnya keberhasilan kedua babinsa itu
hanyalah keberhasilan kecil dalam konteks Sistem
Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta. Namun, di tengah rendahnya kepedulian
pemerintah dan masyarakat terhadap masalah hankam, ketika amuk dan bentrokan
massa marak terjadi, keberhasilan itu pantas diberi apresiasi.
Kini ancaman aktual yang dihadapi telah
berkembang dengan canggihnya. Ancaman militer tidaklah nihil. Ancaman
nonmiliter justru mendominasi masalah hankam pada skala global. Bentuk
peperangan pun telah berubah signifikan. Berperang dengan menggunakan kekuatan
senjata atau hard power tidak lagi
efisien, kuno, dan berisiko tinggi. Penggunaan soft power melalui ”perang ekonomi, perang informasi, perang
budaya” jauh lebih efektif dan efisien.
Kekuatan senjata digantikan ”informasi” untuk
membangun persepsi sehingga berkembang model perang persepsi untuk membangun
pancangan kaki di negara sasaran. Medan perangnya adalah cara berpikir manusia
atau bangsa yang jadi sasaran. Elite bangsa yang berhasil dipengaruhi biasanya
dijadikan kepanjangan tangan (proxy),
selanjutnya berkembang pula war by proxy,
sampai cara berpikir bangsa itu bisa dipengaruhi.
Sasaran berikutnya bidang politik-hukum untuk
mengubah peraturan/perundang-undangan, bahkan konstitusi, agar memberikan
kemudahan proses eksploitasi berikutnya. Lalu terjadi serbuan ”modal/finansial”
untuk penguasaan ekonomi. Perusahaan multinasional dan NGO adalah ”tentara
baru” bagi negara kuat menaklukkan negara sasaran.
Kini tujuan perang telah bergeser dari
penguasaan ”teritori” ke penguasaan ”sumber daya”, atau dengan kata lain
bertujuan ”ekonomi”. Lewat perang model baru atau biasa juga disebut sebagai
perang generasi ke-4 inilah negara-negara Barat, yang sejatinya tidak pernah
menanggalkan syahwat kolonialismenya, secara konsisten tetap berusaha menguasai
sumber daya negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Kekuatan militer
hanya digunakan sebagai alternatif terakhir manakala penggunaan soft power
mengalami jalan buntu, seperti terjadi di Irak dan Afganistan.
Rakyat serta para elite bangsa Indonesia tak
menyadari telah jadi korban perang generasi baru ini. Tanpa disadari, perekonomian
nasional telah dikuasai asing, kedaulatan ekonomi pun tergadaikan. Akibat
destruktif yang lebih besar: lunturnya nilai luhur warisan budaya bangsa.
Kekeluargaan, gotong royong, toleransi telah terkikis. Sebaliknya, mencuat
sikap individual, egoistik, intoleran, primordial yang bermuara pada distorsi
sosial, tumbuh suburnya masyarakat rentan konflik dan anarkis.
Tentu bukan kapasitas TNI, apalagi babinsa,
untuk membangun kesadaran bela negara di kalangan penyelenggara pemerintahan
negara. Pembangunan kesadaran bela negara dalam skala besar, strategis, jangka
panjang merupakan tugas multisektor dan kewajiban pemerintah untuk
mewujudkannya.
Para penyelenggara pemerintahan adalah
manusia pilihan yang seharusnya telah lebih dulu memiliki kesadaran bela negara
tinggi. Kenyataannya jauh panggang dari api. Akibat
minimnya kesadaran para elite pemerintahan negara, terjadi dominasi permodalan
asing yang nyaris sempurna di bidang perbankan, pertambangan, perkebunan,
komunikasi, perusahaan air minum sampai pada ritel di Indonesia. Sesungguhnya
hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap Pasal 33 UUD 1945.
Semoga, contoh peran dan keberhasilan babinsa
tersebut menggugah kesadaran bela negara para elite bangsa kita, serta
meningkatkan kewaspadaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar