“Mengalahkan
Diri Sendiri”
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
06 Oktober 2012
Presiden Amerika Serikat Barack Obama ”mengalahkan diri sendiri” dalam debat
Rabu (3/10). Sayang calon presiden Republik, Mitt Romney, kurang agresif
menyerang Obama sehingga—ibarat tinju—ia cuma menang angka alias gagal memukul
jatuh (knock out) Obama di atas
kanvas.
Berbagai jajak pendapat membuktikan, Obama
kalah cukup telak dalam debat yang dimoderatori wartawan Jim Lehrer dari PBS di
Denver, Colorado, itu. Meski begitu, berbagai jajak pendapat masih
memperlihatkan Obama sedikit lebih unggul untuk memenangi pemilihan umum
presiden awal November nanti.
Dalam debat pertama dari tiga debat itu,
Obama kehilangan karisma sebagai orator yang bergaya professorial. Bahasa tubuh
Obama selama debat yang berlangsung satu setengah jam itu datar.
Jika Romney menatap wajah lawannya kalau
terjadi debat seru, Obama sering menunduk. Jika Romney pandai memainkan
intonasi dan memilih kata-kata yang agresif, Obama sering tampak malas berdebat
dan bersikap pasif.
Memang betul Obama terakhir kali terlibat
debat empat tahun lalu, sebaliknya Romney sudah 20 kali menjalaninya dalam
kampanye melawan capres-capres Republik selama beberapa bulan terakhir. Lawan
debat Obama dalam latihan, mantan capres John Kerry, sempat mengutarakan
kekhawatirannya Obama bakal kalah.
Memang betul masih ada debat kedua dan
ketiga. Namun, debat di Denver justru amat menentukan karena sebagian besar isu
yang dibahas adalah masalah-masalah ekonomi. Itu sebabnya kubu Republik menilai
debat itu sebagai game changer yang
bisa membuat Romney menang di pilpres.
Debat di Denver disaksikan sekitar 67,2 juta
pemirsa, naik 28 persen dibandingkan debat Obama vs John McCain tahun 2008. Ini
bukti rakyat ingin sekali mendengar apa yang akan dilakukan kedua capres di
sektor ekonomi.
Tingkat pengangguran ada di kisaran 8,1
persen— atau sekitar 23 juta penganggur—merupakan yang tertinggi sejak era
pasca-Perang Dunia Kedua. Defisit terus bertambah sekitar 1 triliun dollar AS
per tahun, sementara utang nasional (public
debt) sudah melebihi 16 triliun dollar AS.
Rakyat AS resah karena tiap bulan rata-rata
lebih dari 100.000 orang kehilangan pekerjaan, sementara lowongan yang tersedia
hanya dalam hitungan puluhan ribu. Mereka tentu kecewa dengan kondisi ekonomi,
tetapi sebagian sadar ini bukan sepenuhnya kesalahan Obama.
Sebagian besar dari mereka juga paham Romney
bukan capres yang bakal bisa mengubah nasib mereka. Elektabilitas Romney kurang
memadai, antara lain, karena daya pikat pribadinya pas-pasan dan profesinya
sebagai pengusaha miliarder.
Tak mengherankan jika sebelum masuk ke debat,
Romney capres underdog. Beberapa dosa masa lalu Romney juga disorot warga, antara
lain praktik bisnisnya di Bain Capital dan pernyataannya tentang 47 persen
rakyat yang jadi ”korban” karena bergantung pada pemerintah dan tidak akan
memilih dia.
Apa lacur, Obama gagal memanfaatkan peluang
emas itu. Ia menyadari kegagalan itu dan Kamis (4/10) lalu mulai menyerang
Romney dalam kampanye di Colorado dan Wisconsin.
Jajak pendapat-jajak pendapat belum berubah
banyak, Obama masih unggul tipis—persentasenya relatif serupa dengan margin of error. Ia masih punya dua
debat untuk membuktikan layak terpilih lagi.
Masalahnya, game changer ini memperkuat posisi Romney. Betapapun debat capres
di AS cukup menentukan untuk memengaruhi mereka yang belum menetapkan pilihan (undecided voters).
Jumlah mereka sekitar 9 persen, angka yang
amat vital. Apalagi dalam pilpres kali ini banyak analis sepakat, suara sudah
terbagi antara 46 persen untuk Obama dan 45 persen untuk Romney.
Jika didasarkan pada identifikasi partai,
mereka yang belum menetapkan pilihan ini terbagi atas 35 persen ke Demokrat
berbanding 33 persen ke Republik. Hampir separuh dari undecided voters ini ibu rumah tangga yang menghadapi langsung
kesulitan ekonomi sehari-hari.
Debat capres seperti etalase toko yang
memajang produk-produk andalan yang layak dijual. Para peminat memang baru memandang
produk-produk dari balik kaca, tetapi sebagian sudah tahu kualitas
produk-produk tersebut.
Kampanye yang akan terus berlangsung selama
sekitar sebulan waktu yang tersisa ibarat tahap pemasaran langsung kepada para
calon pembeli. ”Ilmu pemasaran” yang dipraktikkan amat bergantung pada
karakteristik 51 negara bagian.
Iklan televisi juga vital untuk mendongkrak
citra pemilih. Namun, belakangan ini mayoritas rakyat kurang tertarik menonton
iklan kedua capres yang cenderung amat negatif.
Oleh sebab itu, dua debat berikutnya yang
langsung disiarkan televisi dan dinikmati lebih dari 60 juta pemirsa tetap jadi
ajang yang jauh lebih menentukan kans Obama dan Romney. Debat kedua 16 Oktober
berlangsung dalam format town hall
meeting yang informal dan memberikan kesempatan kepada warga untuk
bertanya.
Topik debat separuh tentang berbagai masalah
domestik, separuh politik luar negeri. Debat ketiga pada 22 Oktober membahas
politik luar negeri, topik yang kurang mendapat perhatian rakyat saat ini.
Itu sebabnya Obama tak lagi jadi unggulan
karena gagal menjelaskan apa yang akan dilakukan di sektor ekonomi kalau
terpilih lagi. Lebih buruk lagi, ia kurang mampu menjawab apa yang telah
dikerjakan sejak 2008.
Apa yang akan terjadi andai ia tampil kembali
seperti biasa pada debat kedua dan ketiga? Sayang, tak ada jaminan pemilih,
terutama undecided voters, tertarik
memilih dia karena debat-debat itu tak lagi terfokus pada ekonomi—kecuali jika
Romney ”mengalahkan diri sendiri”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar