Solusi
Kemenangan untuk Rakyat
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
45, Makassar
|
SUARA
KARYA, 18 Oktober 2012
Pidato Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada Senin (8/10/2012) memang terlambat, tetapi
dipuji banyak kalangan. Bukan hanya karena sukses menuntaskan konflik
Polri-KPK, tetapi merupakan kemenangan bagi rakyat. Lima solusi presiden,
setidaknya menjadi senjata baru bagi KPK untuk membersihkan institusi Polri
dari perilaku korup. Rupanya Presiden SBY mengikuti ketentuan Pasal 50 ayat
(3) UU Nomor 30/2003 tentang KPK (UU-KPK). Penanganan dugaan korupsi simulator
surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Polri, diserahkan kepada KPK.
Dipastikan publik
respek pada sikap Kapolri yang berbesar hati menerima solusi yang ditunjukkan
Presiden. Bagi KPK, ketegasan presiden - meski terlambat - merupakan cambuk
untuk segera menuntaskan kasus simulator SIM, termasuk kasus korupsi yang
menjadi perhatian publik seperti Wisma Atlet yang baru menyentuh aspek
penyuapan, Hambalang, dan Bank Century.
KPK tidak selayaknya
merasa di atas angin karena akan semakin besar tuntutan rakyat. Jika tidak,
rakyat yang selama ini mendukung dan melindungi KPK dari upaya pelemahan akan
mencibir dan meninggalkan KPK.
Tetapi ada yang masih
meragukan, solusi Presiden tidak akan berjalan lancar dalam implementasinya.
Ada bukti soal itu, misalnya, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5/2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang tidak berjalan dengan
sebagaimana mestinya. Malah Presiden memperbarui instruksinya melalui Inpres
Nomor 9/2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Terbitnya Inpres baru itu yang lebih banyak unsur pencegahannya, tetapi tidak
menunjukkan adanya perbaikan di jajaran kementerian lantaran tidak disertai
pengawasan yang ketat.
Kita berharap agar
segala upaya penegakan hukum oleh Polri, Kejaksaan, dan KPK tidak menimbulkan
persoalan baru, harus didasarkan atas niat baik. Tidak boleh ada maksud
terselubung untuk melindungi korps atau kroni dari kasus hukum. Juga, tidak
mencari-cari kesalahan bagi penyidik yang sedang mengungkap kasus korupsi.
Mengungkap kasus simulator SIM merupakan bagian dari upaya untuk menempatkan
semua orang sama di depan hukum. Siapa pun pelakunya, termasuk petinggi di
institusi Polri, jika cukup bukti, harus dibawa ke sidang pengadilan untuk
membuktikan kebenaran dakwaan penuntut umum.
Rakyat berharap
kiranya solusi yang diawarkan Presiden segera diimplmentasikan. Sebab, begitu
tegas perintah presiden. Tidak ada lagi penafsiran dengan memelintir
substansinya. Misalnya, mempersoalkan penyerahan tiga tersangka dan barang
bukti dari polisi kepada KPK. Apalagi, Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK
bersepakat untuk segera menyerahkannya kepada KPK. Tetapi, penyerahan kasus
ke KPK bukan berarti Polri menghentikan penyidikan seperti dimaksud Pasal 109
ayat (2) KUHAP dengan alasan 'karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana'.
Merekrut Penyidik
Mengenai rencana
Presiden merevisi PP Nomor 63/2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya
Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi, sebaiknya dipertajam. Bukan hanya
mengatur masa penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK, tetapi juga
memberi peluang bagi KPK merekrut penyidik sendiri (independen). Penarikan 20
penyidik menyebabkan krisis penyidik di KPK. Itu yang mendorong KPK
mengangkat 28 penyidik asal kepolisian menjadi pegawai tetap. Tetapi,
tindakan ini menyalahi PP Nomor 8/2010 tentang Pengalihan Status Anggota
Polri Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Anggota Polri yang ingin beralih
status kepegawaian, harus terlebih dahulu mengajukan surat pengunduran diri
kepada pimpinan Polri.
Jumlah penyidik KPK
yang masih terbatas, dipastikan tidak akan mampu menangani kasus yang saat
ini sedang disidik. Bahkan, tidak memungkinkan menangani ribuan kasus korupsi
yang dilaporkan masyarakat dari berbagai daerah. Dhus, sangat kurang kasus
korupsi di daerah disentuh KPK, selain yang tertangkap tangan karena hasil
penyadapan.
Dasar pengaturan
rekruitmen penyidik sendiri adalah Pasal 45 ayat (1) UU-KPK bahwa 'penyidik
adalah penyidik pada KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK'. Artinya,
KPK boleh mengangkat penyidik selain dari kepolisian dan kejaksaan. Tidak
perlu lagi memperdebatkan ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU KPK bahwa penyelidik
dan penyidik yang menjadi pegawai KPK, diberhentikan dari instansi kepolisian
selama menjadi pegawai pada KPK. Filosofi pasal ini karena tidak mungkin KPK
yang baru terbentuk mampu merekrut sendiri penyidik.
Gagasan merekrut
penyidik sendiri merupakan keniscayaan di tengah mengguritanya perilaku
koruptif. Bukan hanya pada pemerintah pusat, korupsi begitu masif menjamur di
daerah, kalangan eksekutif dan legislatif, bahkan di lingkungan penegak hukum
yang mestinya menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi, KPK sudah punya
pengalaman, saat ini 'penyelidik' KPK tidak lagi berasal dari kepolisian
seperti saat pertama terbentuk.
Akhirnya, kerelaan
petinggi kepolisian terhadap penyidiknya yang ingin berkarier di KPK asal
sesuai ketentuan yang berlaku, juga patut diapresiasi. Semuanya untuk
kepentingan yang lebih luas: perang terhadap perilaku korup, siapa pun dan
dari institusi mana pun dia berasal. Hilangkan sikap arogan dalam menangani
kasus, atau mengumbar janji tetapi tidak direalisasi. KPK juga boleh saja
mengadu ke publik dengan maksud untuk membangkitkan motivasi publik mendukung
pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan KPK. Hal itu merupakan wujud dari
'peran serta masyarakat' dalam pemberantasan korupsi, seperti ditegaskan
dalam Pasal 41 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar