Masa Depan
Partai Islam
Arfanda Siregar ; Direktur Lembaga Penelitian Agama dan
Sosial (Lepas),
Dosen
Politeknik Negeri Medan
|
KORAN
TEMPO, 18 Oktober 2012
Rendahnya elektabilitas
partai Islam di mata lembaga survei bukan berarti kiamat bagi eksistensi
partai Islam. Kesempatan memperbaiki citra di mata publik masih terbuka lebar
di negara yang mayoritas penduduknya muslim.
Hasil survei Syaiful
Mujani Research and Consulting (SMRC) pada September 2012 membawa awan pekat
bagi partai berbasis Islam, seperti PKS, PKB, PPP, dan PAN. Perolehan suara
keempat partai tersebut rata-rata hanya 3 persen jika pemilihan umum diadakan
sekarang. Beberapa hasil penelitian lembaga survei lain pun setali tiga uang.
Tak satu pun partai Islam punya elektabilitas di atas partai nasionalis. Jika
sampai tren perolehan suara partai Islam terus menurun, bukan mustahil
nasibnya seperti dinosaurus.
Terlepas dari validitas
hasil survei di atas, fakta membuktikan bahwa konstituen partai Islam kian
tergerus sepanjang pelaksanaan pemilihan umum. Dari pemilu ke pemilu,
perolehan suara partai Islam cenderung anjlok. PAN, misalnya, pada Pemilu 2004
mampu meraih suara 6,5 persen, namun pada Pemilu 2009 hanya 6,0 persen.
Perolehan PPP dari 8,2 persen turun menjadi 5,3 persen, dan PKB dari 10,6
persen menjadi 4,9 persen. Hanya PKS yang mengalami kenaikan dari 7,3 persen
menjadi 7,9 persen.
Kecenderungan penurunan
pendukung partai Islam malah terjadi sejak pertama kali pemilu demokratis
digelar. Pada 1955, total partai Islam mendapat dukungan 43 persen. Pada 1999
turun 36 persen, pada 2004 naik tipis 38 persen, dan pada 2009 dukungan yang
datang kurang dari 30 persen. Ini mengindikasikan partai yang berbasis agama
kurang diterima oleh publik pemilih.
Tergerusnya pemilih partai
Islam dari pemilu ke pemilu tidak berbanding linear dengan jumlah umat Islam
yang mayoritas di Indonesia. Apalagi menyaksikan perkembangan umat Islam
beberapa tahun belakangan, yang menunjukkan kaum muslim Indonesia kian
religius. Religiositas umat Islam ditandai dengan kian maraknya dakwah-dakwah
di masyarakat, kian memasyarakatnya penggunaan jilbab, dan kecenderungan umat
ingin kembali ke Islam.
Sayang, pasar potensial
tersebut gagal diraih partai Islam. Di mata masyarakat, partai Islam belum
memiliki daya tarik sehingga masih dipandang sebelah mata oleh konstituen.
Partai nasionalis masih menjadi trend setter di jagat perpolitikan nasional.
Mengapa hal ini terjadi?
Seperti adagium "hari
ini kedelai, besok tempe", demikian ungkapan bijak menilai keberadaan
partai Islam di pentas perpolitikan nasional. Inkonsistensi terhadap doktrin
politik-keagamaan dengan tindakan politik yang dilakukan oleh para
politikusnya sering kali menurunkan citra partai di mata rakyat.
Ambillah contoh
inkonsistensi PKS dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Beberapa momentum
politik menunjukkan PKS plinplan menentukan sikap politiknya. Di satu sisi
PKS menjadi bagian kabinet, sedangkan di sisi lain berseberangan dengan
kebijakan pimpinan kabinet, Presiden SBY. Penolakan itu sebagai bukti
inkonsistensi politik.
Inkonsistensi partai Islam
juga terlihat dari polah kader partai Islam, baik di legislatif maupun
eksekutif. Kader partai Islam tak berbeda dengan kader partai lain,
distinktif. Sekarang, apa lagi yang bisa dilagakkan partai Islam: bersih dan
peduli? Nonsense! Toh, kader partai Islam juga korupsi. Selain itu, sebagian
besar politikus Islam yang menjabat tak menunjukkan perilaku asketisme:
sederhana dan merakyat. Selama menjadi pejabat, bukannya menghabiskan waktu,
tenaga, dan dana untuk mengurus rakyat, malah sibuk menumpuk harta demi
kepentingan pribadi dan golongan.
Parahnya lagi, demi menggaet
simpati rakyat, partai Islam beranggapan ideologi Islam tidak lagi bernilai
jual. Lalu, beberapa partai Islam mendeklarasikan diri menjadi partai
terbuka. Kalau sudah demikian, menjadi susah membedakan partai Islam dengan
partai nasionalis. Baik program, tingkah laku, maupun sepak terjang setali
tiga uang dengan partai nasionalis, sehingga membuat label Islam yang melekat
pada partai tidak menjadi magnet lagi di mata loyalis Islam. Dengan realitas
itu, rakyat pun lebih percaya pada partai nasionalis, yang sama sekali tidak
menjual ayat suci demi mencari simpati publik .
Rendahnya elektabilitas
partai Islam di mata lembaga survei bukan berarti kiamat bagi eksistensi
partai Islam. Kesempatan memperbaiki citra di mata publik masih terbuka lebar
di negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Pertama, reorientasi
partai Islam. Sebagai partai yang mengusung Islam sebagai ideologi, identitas
keislaman bukan hanya harus melekat pada kebijakan partai, namun juga
terefleksi pada kehidupan kader. Mau tidak mau, untuk menginternalisasi
identitas keislaman, partai harus melakukan proses kaderisasi yang panjang
dan berkesinambungan, seperti yang dilakukan PKS.
Kedua, reposisi partai
Islam. Isu religius-simbolis harus dialihkan menjadi isu-isu kesejahteraan, keadilan,
dan kepastian hukum yang sesuai dengan nilai Islam. Ini sangat penting karena
partai sosialis di Argentina, Bolivia, dan Brasil dipilih rakyat lantaran
menjual ide ekonomi kerakyatan. Mengapa partai Islam tak menjual ekonomi
syariah dan hukum sesuai syariah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan
bangsa?
Ketiga, regenerasi
kepemimpinan. Praktis, saat ini partai Islam maupun ormas Islam tak punya
figur pemimpin yang dapat mempersatukan umat Islam. Baik NU, Muhammadiyah,
maupun PKS belum memiliki figur yang dapat menandingi figur nasionalis,
seperti SBY. Jika dua tahun ini partai Islam tak mampu memunculkan figur
pemimpin dari internalnya, diprediksi kubu nasionalis masih punya stok figur
untuk menggantikan SBY, yaitu Prabowo Subianto.
Keempat, rekonsolidasi
kekuatan Islam demi kemenangan umat Islam di tengah situasi politik yang
semakin menjepit. Tak ada salahnya, mulai sekarang partai-partai Islam mulai
mencari jalan tengah yang dapat menyatukan mereka. Jika kelak hal ini
tercapai, bukan tak mungkin partai-partai Islam dapat melebur menjadi satu
partai saja.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya
muslim, keberadaan partai Islam dalam kontestasi politik nasional menjadi
keniscayaan. Selama penduduk muslim di negeri ini masih mayoritas, partai
Islam masih memiliki peluang menjadi partai besar yang bersaing dengan partai
nasionalis. Jika teroris yang mengatasnamakan Islam saja bisa tetap eksis di
negeri ini, apalagi partai Islam yang orientasinya jelas untuk kemajuan
bangsa dan negara, pasti tak mungkin bernasib seperti dinosaurus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar