Kamis, 18 Oktober 2012

Jokowi dan Kompleksitas Masalah Jakarta


Jokowi dan Kompleksitas Masalah Jakarta
Pudja Rukmana ;  Wartawan Suara Karya
SUARA KARYA, 18 Oktober 2012


'Pekerjaan rumah' (PR) dan tantangan besar menghadang Gubernur - Wakil Gubernur DKI Jakarta baru, Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) yang telah dilantik Mendagri, Senin (15/10) lalu. Warga masyarakat Jakarta tentu memiliki harapan besar terhadap pasangan ini untuk bisa menuntaskan kompleksitas permasalahan Ibu Kota yang dari tahun ke tahun semakin kusut. Secara garis besar, tiga permasalahan utama Jakarta adalah kemacetan lalulintas, banjir tahunan di sejumlah lokasi dan kekumuhan akibat kesenjangan sosial yang cukup mencolok.
Masyarakat tentu berharap, lewat sentuhan Jokowi diharapkan Kota Jakarta ke depan akan berubah total dan kualitas hidup warga masyarakatnya meningkat seiring dengan perubahan dan kemajuan kota. Hiruk-pikuk kebisingan dan kesemrawutan kota akibat macet-polusi, banjir (sewaktu hujan) dan kekumuhan di sana-sini bisa diminimalkan atau dihapuskan. Warga masyarakat yang bermukim di Jakarta pun merasa nyaman melakukan aktivitas keseharian.
Apalagi, Jokowi sendiri dalam kampanyenya telah menjanjikan akan menjadikan Jakarta sebagai 'etalase' NKRI. Itu berarti, Jokowi menyadari betul bahwa sebagai Ibu Kota Negara, pusat pemerintahan, dan sekaligus bussinness center dengan status kota metropolitan, polesan keindahan dan penataan Kota Jakarta amat penting dan mutlak.
Bagaimanapun, wajah Ibu Kota Jakarta bisa menjadi barometer kemajuan bangsa secara nasional. Riasan 'cantik' Jakarta diyakini bisa menjadi motor penggerak dan dorongan bagi kemajuan kota-kota dan daerah-daerah lain di Indonesia. Kalau Ibu Kota Negara RI tertib, indah dan nyaman, daerah-daerah lain tentu akan berlomba untuk bisa menggapai kondisi keramahan dan keindahan yang sama dengan Jakarta.
Berbagai upaya untuk mengatasi masalah Jakarta sebenarnya telah dilakukan gubernur-gubernur sebelumnya, namun seiring dengan pertumbuhan kependudukan, kepadatan lalulintas dan fenomena perubahan pola gaya hidup, permasalahan Ibu Kota tak kunjung dapat teratasi. Kondisi kota metropolitan justru terkesan semakin semrawut dan kurang ramah.
Disadari, untuk mengatasi tiga masalah krusial DKI (macet, banjir, kekumuhan), tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu sekejap seperti membalikkan telapak tangan. Namun, pengalaman sukses Jokowi menata Kota Solo - meski berlingkup kecil - diharapkan bisa menjadi bekal untuk membenahi Jakarta ke arah yang lebih baik. Apalagi, Jokowi tampaknya punya tekad dan komitmen kuat untuk merealisasikan harapan masyarakat Jakarta.
Sehari setelah dilantik, Gubernur Joko Widodo pun sudah langsung bergerak, menyisir Jakarta untuk melihat permasalahan-permasalahan yang ada, termasuk untuk mencarikan solusinya. Ini tentu positif dan bagus. Karena, dengan langsung turun ke lapangan, Gubernur bisa mengetahui permasalahan di sudut-sudut kota yang paling kecil sekalipun. Namun, yang perlu diingat, menyelesaikan permasalahan Jakarta memang tidak bisa dilakukan secara parsial per parsial. Untuk menyelesaikan masalah Jakarta yang cukup kompleks, maka perlu dicarikan akar persoalan yang sesungguhnya.
Berbagai program telah ditawarkan Jokowi dalam kampanye-kampanyenya sejak menjelang Pilkada DKI. Selain akan mengurai kemacetan lalu lintas jalan raya, mengatasi masalah banjir, memperbaiki pelayanan publik terkait kesehatan dan pendidikan, juga akan melakukan reformasi birokrasi. Kemudian, telah dijanjikan pula akan dibangun mal khusus untuk menampung pedagang kakilima, pembangunan kampung susun dan memperbanyak fasum fasos berupa ruang-ruang publik sebagai media pergaulan antarwarga dan tempat mengekspresikan diri.
Program yang ditawarkan Gubernur Jokowi memang bagus. Namun, yang lebih penting, sejatinya adalah mengubah mental warga masyarakat Jakarta. Bagaimana pun karut-marut permasalahan Jakarta tak terlepas karena mindset warga Jakarta yang cenderung bersikap 'semau gue' sulit diatur dan kurang mendapat perhatian serius gubernur-gubernur sebelumnya. Sebaik apa pun infrastruktur jalan dan pengaturan lalu lintas, sebagus apa pun penataan tata ruang kota dan penyusunan peraturan atau perundang-undangan, kalau mental masyarakat Jakarta tidak diperbaiki maka hiruk-pikuk kesemrawutan kota tak akan pernah bisa diselesaikan.
Terlepas dari meningkatnya jumlah mobil pribadi dan kendaraan bermotor, kemacetan lalu lintas di berbagai sudut Jakarta, misalnya, antara lain karena banyak awak angkutan tidak disiplin, menaikkan dan menurunkan penumpang seenaknya, bukan di halte yang disediakan. Masih banyak pengendara sepeda motor menerabas rambu-rambu lalu lintas. Demikian pula fenomena banjir, karena masyarakat kurang menjaga kebersihan lingkungan, membuang sampah sembarangan termasuk di kali-kali dan sebagainya. Kekumuhan kota terjadi akibat orang tidak malu-malu lagi memanfaatkan atau mendirikan bangunan di jalur hijau atau bantaran sungai yang seharusnya dijaga dengan baik demi keindahan.
Dalam hal ini, maka yang pertama kali perlu dilakukan Gubernur Jokowi dalam membenahi Kota Jakarta adalah menanamkan budaya tertib, disiplin, bertanggung jawab, saling peduli, ramah lingkungan dan beretika (sopan-santun) kepada warga masyarakat Jakarta. Selain melalui kampanye-kampanye, sikap dan perilaku demikian hanya bisa dicontoh lewat keteladanan pemimpin serta melalui penegakan hukum dan perda-perda secara tegas.
Hal ini bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, larangan untuk tidak membuang sampah sembarangan, ajakan disiplin berlalu lintas, bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan masing-masing, menggalang semangat gotong-rorong, peduli masalah keamanan, menanamkan budaya antri dan lain-lain.
Sebuah sistem perlu dibangun Gubernur Jokowi untuk mengubah mindset orang Jakarta agar lebih beradab dan 'tidak kampungan' lagi. Ini penting sebagai 'modal dasar' agar dalam melakukan pembenahan Kota Jakarta, berjalan sesuai harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar