Sabtu, 06 Oktober 2012

Skenario Pelemahan KPK


Skenario Pelemahan KPK
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 06 Oktober 2012


Ketika Jumat (28/9) pecan lalu Juniver Girsang dan Hotma Sitompoel, kuasa hukum Djoko Susilo, datang ke KPK dan menyampaikan bahwa kliennya tak akan hadir memenuhi panggilan KPK, karena masih menunggu fatwa dari MA tentang kewenangan memeriksa kasus simulator, banyak yang sontak mencibir, langkah itu merupakan bagian dari upaya melemahkan KPK.

Tapi saya tak melihatnya seperti itu. Bagi saya langkah kedua pengacara itu lebih merupakan langkah formalitas yang perlu ditunjukkan bahwa sebagai kuasa hukum mereka harus melakukan langkah-langkah yang menguntungkan dan memberikan harapan kepada kliennya. Pengacara sekaliber Hotma dan Girsang mustahil tidak mengetahui bahwa menurut hukum dan pendirian resmi MA, sejak dulu permintaan fatwa hanya dapat dilakukan oleh lembaga negara, bukan oleh pengacara atau oleh pesakitan hukum.

Hotma dan Girsang pasti tahu, upayanya untuk meminta fatwa ke MA akan sia-sia. Tapi sebagai pengacara, dia harus menunjukkan kepada kliennya bahwa dia sudah berusaha. Saya kenal dan pernah berdiskusi agak lama dengan Girsang. Dia itu sama dengan kita, merasakan keprihatinan dan kepedihan yang mendalam karena korupsi sangat merusak kehidupan bernegara kita. Dari pengalamannya membela kasus-kasus korupsi, Girsang tahu betapa mengerikan gurita dan monster korupsi di negeri ini. Dia ceritakan monster-monster dan gurita itu kepada saya dan dia pun berharap agar ada langkah-langkah yang kuat dan cepat dalam memberantas korupsi.

Meski begitu secara profesional dia tetap harus membela kliennya, koruptor sekalipun. Memang tidak setiap sikap dan tindakan orang yang melawan atau menyerang KPK itu harus diartikan ingin melemahkan KPK meskipun harus diakui, ada arus sistematis yang ingin melemahkan KPK itu. Ada juga yang mempersoalkan eksistensi KPK karena memang ingin mengkritik atau memproporsionalkan penegakan hukum agar tidak proliferatif. Dalam batas tertentu dan untuk jangka panjang saya setuju dengan Fachri Hamzah bahwa di dalam negara demokrasi konstitusional tak boleh ada lembaga negara yang superkuat.

Semua harus seimbang, di bawah kontrol publik, dan tak boleh ada yang diberi kewenangan yang bisa diselewengkan. Meski begitu, untuk saat ini sampai beberapa waktu ke depan, dunia penegakan hukum kita masih sangat membutuhkan KPK. Dari konstitusi dan kaidah-kaidah hukum apa pun keberadaan KPK dan semua kewenangannya saat ini adalah sah dan diperlukan. KPK telah berhasil membuat bergidik para koruptor karena di tangannya bisa diseret orang-orang kuat yang terlibat korupsi.

Kenyataan itulah yang kemudian menimbulkan, meminjam istilah Taufiequrachman Ruki, corruptors fight back, serangan balik dari para koruptor yang sekarang tampak menjadi gerakan sistematis untuk melemahkan KPK. Para koruptor yang dendam dan takut kepada KPK beramai-ramai untuk menghantam, melemahkan, dan melenyapkan KPK secara kolaboratif dan hegemonis. Dalam catatan saya ada tiga skenario yang dilakukan para penyerang untuk melemahkan KPK ini.

Pertama, melakukan judicial review atau meminta MK membatalkan kewenangan-kewenangan khusus yang secara yuridis dan konstitusional diberikan kepada KPK. Sampai Oktober 2012 ini sudah 15 kali UU KPK diperkarakan, tetapi dari semua perkara yang telah diputus, MK selalu memperkuat konstitusionalitas dan posisi hukum KPK. Baik saat membuat vonis menolak maupun mengabulkan permohonan, MK selalu menguatkan posisi KPK bukan karena pertimbangan politik, tetapi semata-mata berdasar konstitusi dan hukum. MK selalu menegaskan keberadaan KPK dan semua kewenangan khususnya adalah konstitusional dan harus didukung.
Kedua, melalui delegalitas kepemimpinan KPK yang menurut UU KPK harus kolektif kolegial. Pada saat Antasari Azhar ditahan dan kemudian dipecat dari KPK muncul suara dari Gedung DPR yang menyatakan bahwa sejak saat itu KPK tak bisa lagi beroperasi karena sifat kolektif kolegialnya tak terpenuhi berhubung pimpinannya tidak lagi utuh.

Tapi pada saat itu para pendukung KPK berhasil menggalang dukungan bahwa selama pimpinan aktif masih lebih dari dua, semua keputusannya adalah legal karena memenuhi kuorum kolektif kolegial. Berikutnya “hampir” saja pimpinan KPK kurang dari tiga saat Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah dijadikan terdakwa. Tapi MK segera memutus bahwa pimpinan KPK yang dijadikan terdakwa tidak bisa diberhentikan sebelum divonis bersalah yang disertai dengan kekuatan hukum yang tetap.

Ketiga, melalui upaya merevisi UU KPK yang isinya,meminjam istilah Abraham Samad, akan memotong tangan dan kaki KPK melalui penghilangan hak penuntutan, mempersulit penyadapan, penghidupan SP3, dan sebagainya. Itulah tiga skenario pelemahan KPK yang tak terbantahkan. Belum lagi serangan-serangan kasar terhadap KPK yang dilancarkan melalui media massa. Bahkan ada yang dengan konyol mengatakan bahwa di dalam UU KPK tak ada istilah extra-ordinary crime, padahal istilah itu tertulis jelas di dalam konsiderans pertama UU KPK meskipun sudah menggunakan bahasa Indonesia.

Melihat kebutuhan penegakan hukum dan manfaat kiprah KPK, kita harus menyelamatkan KPK dan mendukung agar kewenangannya seperti yang ada selama ini tetap dipertahankan.
● 

1 komentar:

  1. "Dalam negara demokrasi konstitusional tak boleh ada lembaga negara yang superkuat." Bagaimana kalau lembaga tsb dilengkapi dg control dan akuntabilitas yg superketat utk memastikan bhw super-power-nya tsb memang sepenuhnya didedikasikan untuk Rakyat. Sampai kapan kita membutuhkan KPK? Sampai kepolisian dan kejaksaan bisa berubah menjadi 'KPK'. Jadi, sebaiknya KPK lembaga adhoc atau permanen? Tergantung. Kalau kepolisiasn dan kejaksaan tidak bisa berubah menjadi 'KPK' secara permanen, ya sebaiknya KPK lembaga permanen...

    BalasHapus