Sabtu, 06 Oktober 2012

Kekuatan Korupsi dan Pelemahan Daya Saing Bangsa


Kekuatan Korupsi dan Pelemahan Daya Saing Bangsa
Premita Fifi Widhiawati ;  Pengamat Masalah Sosial, Pendiri dan Pengurus Lembaga Edukasi, Bantuan dan Advokasi Hukum Jurist Makara
SINDO, 06 Oktober 2012


Koruptor itu layak menjadi public enemy number 1. Korupsi memiskinkan banyak orang secara sistematis. Koruptor mencuri dan memanfaatkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, padahal uang itu diperlukan untuk mencipta kemakmuran rakyat.

Atas setiap tindak pidana korupsi, rakyatlah yang harus membayar kembali. Koruptor hanya akan dipenjara selama jangka waktu tertentu, tapi uang rakyat yang dikorupsi harus dicicil rakyat selama bertahun-tahun setelah koruptor yang bersangkutan selesai menjalani hukuman. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengembalikan uang rakyat ke alam kas negara, salah satunya dengan penyitaan harta koruptor. Pasal 31 ayat 1 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) menyatakan setiap negara peserta konvensi membuka seluas-luasnya segala upaya hukum untuk mengakomodasi penyitaan harta yang diperoleh dengan cara tidak sah.

Sesungguhnya upaya ini akan cukup efektif untuk mengisi kembali pundi-pundi uang negara. Meskipun kita sudah meratifikasi UNCAC dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,kenyataan hukum menunjukkan pelaksanaan ketentuan itu ternyata tidak mudah dan berliku. Salah satu hambatan terbesar adalah belum adanya aturan pelaksana undang-undang tersebut.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah melalui pembangunan sumber daya ekonomi dengan cara memperkuat bidang usaha (revitalisasi), memfokuskan bidang usaha (intensifikasi), serta memperluas bidang usaha yang sudah ada (ekstensifikasi), tapi ketiga hal tersebut memerlukan waktu, ketekunan, dan terutama biaya besar. Mengingat sulitnya pengusaha dalam negeri untuk bergerak atas modal mereka sendiri— disebabkan berbagai kendala, antara lain pengetatan pemberian kredit dan tingginya tingkat suku bunga—,investasi asing menjadi penting.

Penanaman modal asing (PMA), terutama foreign direct investment (FDI), diharapkan dapat menjadi salah satu lokomotif utama penggerak usaha di Indonesia. Tahun ini Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan investasi sebesar Rp283 triliun. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menambah daya pikat investasi di Indonesia, antara lain melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, serta pembaikan peraturan dan kebijakan. Inefisiensi, kurangnya transparansi, kesulitan memperoleh izin, dan terutama korupsi merupakan faktor-faktor penghambat investasi.

Tingkat korupsi suatu negara juga menjadi salah satu pertimbangan penting bagi calon investor. Salah satu indikatornya adalah nilai Corruption Perception Index (CPI). Nilai tersebut diperoleh melalui rangkaian survei dan penelitian dengan fokus pada korupsi di bidang pelayanan publik dan penegakan hukum yang melibatkan pejabat, pegawai pemerintah, dan politisi sehingga meliputi sisi administratif, politis, dan legal. Makin besar nilai CPI, korupsi dipersepsikan makin kecil.

Pentingnya peningkatan CPI terwakili oleh kutipan dari mantan Perdana Mentri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, dalam upaya negaranya memerangi korupsi, “I will be happy with certainly when the corruption index improve.” Kecuali Meksiko yang memiliki nilai CPI sedikit lebih rendah dibandingkan negara kita, 20 negara penerima FDI tertinggi di dunia tahun 2010 adalah negara-negara dengan nilai CPI lebih tinggi dibandingkan Indonesia dengan pemasukan FDI sebesar USD81,2 miliar. Hong Kong dengan CPI 8,4 mendapatkan FDI sebesar USD962,2 miliar dolar Amerika.

Cina dengan CPI 3,5 memperoleh FDI sebesar 574,3 miliar dolar Amerika. Secara lebih luas, kondisi di Indonesia menunjukkan peningkatan CPI diikuti oleh peningkatan arus investasi. Tahun 2009 nilai CPI Indonesia 2,8 dan menduduki peringkat 111. Tahun 2010 kita mengalami peningkatan peringkat, tapi masih dengan nilai yang sama. Begitu pun sudah diikuti oleh penambahan nilai investasi asing. Pada triwulan kedua 2010 sudah naik sekitar 41% dibandingkan tahun sebelumnya.

CPI Indonesia membaik menjadi 3 pada 2011, peringkat kita naik menjadi 100 dari 182 negara. Hal ini diikuti peningkatan investasi hampir dua kali lipat, menjadi sekitar Rp130 triliun per April, dari sekitar Rp70 triliun pada 2010. Peningkatan arus investasi diharapkan akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Bagi sebuah negara dengan potensi sumber daya manusia yang sangat besar seperti Indonesia, penyerapan tenaga kerja akan berpengaruh terhadap ketahanan nasional, meningkatkan proses pertumbuhan pembangunan dan mempertinggi pendapatan negara.

Pada gilirannya hal itu akan mendorong daya saing Indonesia dalam kancah global. Semua itu tidak akan tercapai dengan baik ketika korupsi masih menjadi momok. Korupsi merupakan bahaya laten yang terus merugikan rakyat. Bahkan saat sang koruptor meninggal pun akibat korupsi itu belum selesai.

Niccolo Machiavelli (1469–1527), filosof Italia abad pertengahan sudah memprediksi hal itu, “Corruption continues with us beyond the grave....” Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK), buah kerja Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bekerja sama dengan Bappenas serta melibatkan masyarakat, menargetkan CPI Indonesia mencapai 5 pada tahun 2014 dengan telah menerapkan sekitar 80% kesesuaian dengan ketentuan UNCAC.

Stranas PPK sudah dibuat, langkah sudah lama dimulai, persoalannya tinggal pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan. Untuk itu Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya jelas visi dan misinya, tapi juga berani mengambil keputusan dan bertindak tegas.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar