Mengalkulasi
Demo Buruh
Jony Haryanto ; Dosen
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga,
Praktisi
Bisnis
|
SUARA
MERDEKA, 06 Oktober 2012
TANGGAL 2 Oktober lalu terjadi demo buruh
secara besar-besaran di Jabodetabek, diikuti aksi serupa di beberapa wilayah di
Indonesia. Tema utama tuntutan mereka klasik, seperti penghapusan sistem alih
daya (outsourcing), kenaikan upah
minimum regional (UMR), dan peningkatan kesejahteraan.
Demo masif buruh ini tercatat yang kali
keenam pada tahun ini. Peningkatan kasus unjuk rasa buruh tentu saja
menimbulkan kerugian sangat besar bagi pengusaha. Kerugian itu akibat
terhentinya proses produksi dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan perusahaan
karena harus membayar lembur buruh demi mengejar target produksi yang
ditetapkan.
Kerugian ini tentu saja berjumlah miliaran
rupiah dan merupakan kerugian yang tidak terduga. Seiring dengan eskalasi demo
buruh, sejumlah pengusaha merasa tidak nyaman lagi menjalankan bisnis di
Indonesia mengingat prinsip dasar mereka adalah mencari keuntungan dengan
meminimalisasi risiko.
Dalam berbagai pertemuan dengan para
pengusaha, dan pengalaman saya sebagai pengusaha, bisa disimpulkan bahwa bisnis
di negara kita sudah tidak semenarik beberapa waktu lalu. Pemberlakuan
perjanjian China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) membuat produk impor, terutama
dari China, membanjiri pasar kita. Menjalankan bisnis di Indonesia menjadi
lebih sulit, ditambah adanya pungli yang tidak juga hilang meski sudah 10 tahun
memasuki era reformasi.
Saya bertemu dengan banyak pengusaha, dan
beberapa di antara mereka telah merelokasi bisnisnya ke negara lain, antara
lain Vietnam, Kamboja, dan China karena pertimbangan kejelasan hukum dan
dorongan pemerintah setempat. Beberapa pengusaha yang lain memutuskan menutup
pabriknya, mereka lebih memilih memesan produk dari pabrikan di China dan
melakukan trading dengan menjual produk tersebut kepada konsumen akhir.
Mereka mengatakan sistem trading ini lebih
murah karena tak perlu berpikir untuk pengeluaran gaji, tunjangan, dana
pensiun, jaminan kesehatan, serta pengeluaran dan risiko lain. Apabila hal ini
terjadi secara masif dan menunjukkan tren yang terus meningkat maka kita
tinggal menunggu kehancuran perekonomian nasional kita.
Para buruh menuntut kenaikan UMR dan
peningkatan kesejahteraan lainnya. Tentu saja tuntutan ini bisa dimengerti
mengingat sebagian dari mereka hidup pas-pasan. Namun di sisi lain seharusnya
buruh juga memahami bahwa demo besar-besaran, apalagi sampai menutup jalan tol,
men-sweeping rekan yang bekerja dan memaksa mereka ikut berdemo, tentu bukanlah
pilihan bijak.
Dialog
Bilateral
Padahal banyak pengusaha sudah membayar upah
jauh di atas UMR dan memberi banyak tunjangan. Apabila buruh terus-menerus
berdemo maka pengusaha yang sudah gerah akan berpikir dua kali meningkatkan
bisnis di Indonesia. Sebagai contoh, tuntutan Hari Buruh menjadi hari libur nasional apakah tidak berlebihan?
Indonesia yang mengakui enam agama memiliki lebih banyak hari libur ketimbang
beberapa negara, seperti Singapura atau China.
Indonesia yang saat ini mencatat pertumbuhan
ekonomi positif juga menjadi pusat perhatian investor di seluruh dunia. Semakin
masif demo buruh tentunya membuat para investor berpikir dua kali untuk
berinvestasi, atau mengembangkan bisnis mereka di Indonesia. Untuk itu, perlu
dialog bilateral antara pengusaha dan buruh. Butuh dialog dari hati ke hati
dengan kepala dingin guna mencari jalan keluar yang menguntungkan kedua belah
pihak.
Seharusnya pemerintah dapat menjadi mediator
yang baik namun mengingat pemerintahan kita lamban dan cenderung reaktif maka
akan terlambat bila menunggu peran pemerintah. Aktivis
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi serikat buruh pun sebaiknya mengurangi
provokasi mereka.
Cobalah jujur menjawab
pertanyaan ini. Apakah yang Anda lakukan memang berasal dari hati nurani dan
bebas dari kepentingan lain? Bukankah kita semua sedih ketika banyak perusahaan
meninggalkan Indonesia, dan pindah ke negara lain? Apakah kita memang ingin
para investor pergi dari Bumi Pertiwi dan kita mengalami krisis perekonomian
karena provokasi Anda?
Untuk para buruh, jangan mudah
terprovokasi dan bekerjalah sebaik mungkin karena ketika kinerja perusahaan
meningkat maka kesejahteraan Anda secara otomatis akan meningkat. Untuk
pengusaha, tetaplah bersemangat dan jalankan bisnis sambil melakukan dialog
bilateral guna mencari solusi terbaik.
Untuk pemerintah, apakah tidak
cukup semua ini? Apakah pemerintah menunggu keadaan menjadi lebih buruk, baru
turun tangan? Jadilah pemerintah yang proaktif dengan tidak berpihak pada salah
satu pihak, dan dengan demikian kita bisa bersama-sama membangun Indonesia yang
lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar