Pancasila
Masih Saktikah?
Sulardi ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
|
REPUBLIKA,
01 Oktober 2012
Pada
masa Orde Baru berkuasa, setiap 1 Oktober selalu diperingati sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Saat ini, peringatan hari kesaktian itu terasa sepi, tidak
semeriah pada era Orde Baru. Apakah itu pertanda Pancasila sudah tidak sakti
lagi? Atau, justru Pancasila sedang sakit?
Problematik
kesaktian dan pengakuan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila itu terlihat dengan makin sulitnya ditemukan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia ini. Galibnya, suatu bangsa yang
berideologi, apa pun ideologi yang dimilikinya, pastilah perilaku dalam
kehidupan sehari-hari dijiwai oleh spirit ideologi yang diyakinya itu.
Bangsa
dan negara Indonesia sampai hari ini masih berideologi Pancasila. Oleh karena
itu, menjadi sesuatu yang merisaukan kita semua jika ternyata kita kesulitan
menemukan nilai-nilai Pancasila itu dalam berkehidupan dan pergaulan bangsa
ini. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, sebelum Ir Soekarno menyampaikan weltanschauung bangsa Indonesia, beliau menyampaikan,
kesehatan, perasaan bahagia, otak yang cerdas, kehidupan yang sejahtera
bukanlah syarat sebagai bangsa yang akan merdeka. Justru, menjadi tugas
negaralah saat telah merdeka untuk menyehatkan, mencerdaskan, membahagiakan,
dan menyejahterakan rakyatnya.
Dari
titik ini, kita dapat menyimak pesan mendalam proklamator kita bahwa negara
yang akan dibangun itu mempunyai kewajiban untuk membahagiakan dan memerdekakan
rakyatnya. Cara membahagiakan dan memerdekakan rakyat Indonesia itu tentunya
dalam koridor nilai-nilai Pancasila.
Pada
1 Oktober 2012 ini, pantas dita nyakan, apakah Pancasila itu masih sakti atau
barangkali sedang sakit? Inilah yang menjadi pertanyaan. Di manakah sebenarnya
nilai-nilai Pancasila itu berada ketika dalam kehidupan dan berbangsa di Tanah
Air ini terasa kering dari rasa Pancasila?
Dalam
ajaran Pancasila, kita dikenalkan dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini
mengandung nilai-nilai luhur akan kebebasan beragama bagi warga negara Indonesia.
Maksud kebebasan beragama itu adalah kebebasan
untuk menentukan pilihan beragama berdasarkan agama-agama yang diakui oleh
negara Indonesia.
Kebebasan beragama tidak bisa diartikan sebagai kebebasan untuk
tidak beragama. Inilah makna kebebasan yang berbeda dengan pemahaman Barat yang
mengartikan kebebasan untuk tidak beragama masuk dalam pengertian kebebasan
beragama. Sayangnya, nilai-nilai luhur
kebebasan beragama belum menjadi bagian dalam perilaku bangsa ini.
Sering
kali, di negara ini, dengan sangat mudah ditemukan konflik-konflik horizontal
yang dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan dalam beragama. Bahkan, sesuatu
yang cukup aneh apabila kita dapati pada setiap perayaan hari besar agama
justru tempat-tempat ibadah dijaga ketat oleh kepolisian.
Jika
terbangun rasa kebebasan beragama, pastilah akan muncul rasa solidaritas dalam
beragama sebab masing-masing memiliki kebebasan yang menumbuhkan rasa toleransi
terhadap pemeluk agama yang lain. Toleransi akan melahirkan perasaan saling
menghormati antara pemeluk agama yang sama maupun pemeluk agama yang berbeda.
Demikian
halnya dengan nilai-nilai keempat sila lainya, kemanusian yang adil dan
beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan sila kelima, keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kesatuan teks yang utuh.
Penguasa
di negara ini, baik di tingkat pusat maupun lokal, tidak memahami bagaimana mem
buat kebijakan yang mencerminkan kandungan nilai-nilai Pancasila.
Alih-alih
membuat kebijakan yang berpancasila, mereka justru melakukan pembiaran atas
terjadinya pertikaian antarpemeluk agama sehingga konflik menjadi sangat
berlarut-larut. Hal ini justru melukai dua hal, pertama kebebasan beragama,
kedua rasa persatuan sebagai bangsa Indonsia.
Hal
yang paling dirasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah diletakannya nilai-nilai
kemanusiaan di level yang paling rendah, harkat martabat manusia di biarkan
tercerabut dari warga ini. Setiap hari, kita dengan mudah menemukan
penganiayaan, pembunuhan, pelecehan, penghinaan terhadap nilai-nilai humanisme.
Hal tersebut pada gilirannya akan meniadakan rasa keadilan hukum sekaligus
keadilan sosial.
Lebih
parah lagi, ketika demokrasi model Barat diadopsi secara mentah-mentah oleh
bangsa ini. Dalam praktik demokrasi, bangsa ini lebih mengutamakan kepentingan
individu dan perlindungan terhadap perseorangan.
Dalam
kehidupan jagat politik yang elite—politiknya berorientasi untuk mendapatkan
kekuasaan dan jabatan—bangsa ini telah terasing dengan nilai-nilai Pancasila sebagai
ideologi. Bangsa ini tidak mempunyai kemampuan untuk berperilaku atas dasar
nilai luhur yang termuat dalam Pancasila. Sesungguhnya, Pancasila itu ada di
mana? Masih saktikah Pancasila itu?
Marilah
bersama-sama kita temukan kembali nilai-nilai Pancasila dalam diri kita yang
tercermin dalam perilaku kehidupan kita sehari hari, tanpa membedakan sebagai
apa dan berperan apa kita dalam berkehidupan dan berbangsa di negara ini. Untuk
menunjukkan bahwa Pancasila masih sakti, paling tidak untuk menjaga kerukunan
bangsa Indonesia dan panduan dalam berbangsa dan bernegara di negara ini,
Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar