Sepuluh
Kontroversi Lubang Buaya
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
SINDO,
01 Oktober 2012
Entah
di tempat itu dulunya terdapat kubangan hewan, daerah yang dinamakan Lubang
Buaya itu secara berkala menimbulkan kontroversi sejarah sejak setengah abad
lalu yang tidak pernah dijernihkan.
Di
situ dibangun Monumen Pancasila Sakti dan setiap tanggal 1 Oktober sejak tahun
1966 diperingati Hari Kesaktian Pancasila. Acara itu diadakan untuk mengenang
enam jenderal dan seorang perwira yang meninggal dan dibuang dalam sebuah sumur
di kebun karet yang ada di sana. Peringatan itu tidak ada hubungannya dengan
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia. Bila makna kata “sakti”
terkait dengan kekebalan dan kehebatan fisik seorang pendekar, tidak tepat bila
Pancasila disebut sakti.
Kita menjunjung dan mengamalkan Pancasila, tetapi bukan mengeramatkannya. Jadi lebih masuk akal misalnya Hari Kesaktian Pancasila itu dinamakan Hari Berkabung Nasional. Kontroversi kedua menyangkut penyamaan Lubang Buaya dengan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah. Kuburan para jenderal itu berada di luar areal Pangkalan AURI.
Oleh sebab itu Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) berang ketika Halim disebut sebagai “sarang G30S” sebagaimana antara lain tergambar dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib diputar semasa Orde Baru setiap malam menjelang 1 Oktober. Film dengan biaya sangat besar tersebut (waktu itu) menjadi kontroversi ketiga sebagai film yang paling banyak ditonton ratusan juta rakyat Indonesia.
Sejak tahun 1998 film itu tidak lagi wajib tayang. Marsekal Saleh Basarah mewakili PP AURI mengaku bahwa beliau menelepon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono serta Menteri Penerangan Junus Yosfiah meminta agar film itu tidak disiarkan lagi. Kontroversi keempat tentang diorama di Lubang Buaya menyangkut perempuan dari organisasi Gerwani yang m elakukan pesta seks bebas dan menarikan tari seksual yang dikenalkan sebagai “tari harum bunga”.
Peristiwa itu tidak pernah terjadi. Juga, ini kontroversi kelima, tidak ada kemaluan para jenderal yang disilet serta mata mereka yang dicungkil di Lubang Buaya seperti diberitakan pers militer selepas 1 Oktober 1965. Visum et repertum yang dibuat dokter forensik membuktikan bahwa semuanya itu tidak benar. Kontroversi keenam adalah pertentangan keterangan yang diberikan petugas polisi Sukitman dengan ajudan Presiden Maulwi Saelan mengenai proses pencarian dan penemuan jenazah di Lubang Buaya.
Hal berikutnya yang menjadi kontroversial adalah penyebutan “pahlawan revolusi” terhadap enam jendera l, seorang perwira muda, dan seorang polisi di Jakarta serta dua perwira menengah di Yogyakarta. Saat itu tidak terjadi revolusi kecuali upaya percobaan kudeta yang gagal.Sepuluh tokoh militer/polisi itu tidaklah melakukan revolusi, bahkan mereka gugur tidak dalam peperangan. Jadi lebih tepat mereka diangkat sebagai “pahlawan nasional” bukan “pahlawan revolusi”.
Pada era Orde Baru setiap tanggal 30 September dinaikkan bendera Merah Putih setengah tiang dan tanggal 1 Oktober satu tiang penuh. Maksudnya penaikan bendera setengah tiang sebagai berkabung atas gugurnya para jenderal dan satu tiang penuh untuk Hari Kesaktian Pancasila. Dewasa ini hampir tidak ada yang menaikkan bendera kecuali pada instansi militer. Ini menjadi kontroversi kedelapan, keenam jenderal itu meninggal dini hari 1 Oktober, oleh sebab itu bendera setengah tiang lebih tepat dikibarkan tanggal 1 Oktober, bukan 30 September.
Kontroversi kesembilan menyangkut pemakaian istilah “malam jahanam” untuk malam ketika terjadi pembunuhan terhadap para jenderal tersebut seperti yang digunakan Prof Taufik Abdullah. Istilah yang berasal dari drama karya Motinggo Busye itu memang puitis sekaligus sadis. Tapi persoalannya “malam jahanam” itu tidak hanya semalam, yakni pada malam tanggal 30 September 1965 saja, tetapi juga pada “1.001 malam” berikutnya ketika terjadi pembantaian terhadap sekitar 500.000 orang pasca-G30S.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya sebagai judul sebuah buku, istilah itu diganti dengan “malam bencana”. Kontroversi ke-10 mengenai apakah presiden dan seluruh ketua lembaga tinggi negara wajib hadir dalam upacara peringatan yang diadakan di Lubang Buaya setiap tanggal 1 Oktober. Tanggal 17 September 1966 Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat mengeluarkan surat keputusan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati seluruh slagorde Angkatan Darat.
Tanggal 24 September 1966 Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan peringatan itu oleh seluruh Angkatan Bersenjata. Tanggal 29 September 1966 Jenderal Soeharto selaku menteri utama bidang pertahanan keamanan memutuskan peringatan itu oleh seluruh slagorde Angkatan Bersenjata. Peringatan itu tidak wajib di Lubang Buaya, bisa juga di Istana Negara atau lebih tepat lagi di Taman Pahlawan Kalibata karena delapan jenazah pahlawan revolusi itu disemayamkan di sana. ●
Kita menjunjung dan mengamalkan Pancasila, tetapi bukan mengeramatkannya. Jadi lebih masuk akal misalnya Hari Kesaktian Pancasila itu dinamakan Hari Berkabung Nasional. Kontroversi kedua menyangkut penyamaan Lubang Buaya dengan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusumah. Kuburan para jenderal itu berada di luar areal Pangkalan AURI.
Oleh sebab itu Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI) berang ketika Halim disebut sebagai “sarang G30S” sebagaimana antara lain tergambar dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib diputar semasa Orde Baru setiap malam menjelang 1 Oktober. Film dengan biaya sangat besar tersebut (waktu itu) menjadi kontroversi ketiga sebagai film yang paling banyak ditonton ratusan juta rakyat Indonesia.
Sejak tahun 1998 film itu tidak lagi wajib tayang. Marsekal Saleh Basarah mewakili PP AURI mengaku bahwa beliau menelepon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono serta Menteri Penerangan Junus Yosfiah meminta agar film itu tidak disiarkan lagi. Kontroversi keempat tentang diorama di Lubang Buaya menyangkut perempuan dari organisasi Gerwani yang m elakukan pesta seks bebas dan menarikan tari seksual yang dikenalkan sebagai “tari harum bunga”.
Peristiwa itu tidak pernah terjadi. Juga, ini kontroversi kelima, tidak ada kemaluan para jenderal yang disilet serta mata mereka yang dicungkil di Lubang Buaya seperti diberitakan pers militer selepas 1 Oktober 1965. Visum et repertum yang dibuat dokter forensik membuktikan bahwa semuanya itu tidak benar. Kontroversi keenam adalah pertentangan keterangan yang diberikan petugas polisi Sukitman dengan ajudan Presiden Maulwi Saelan mengenai proses pencarian dan penemuan jenazah di Lubang Buaya.
Hal berikutnya yang menjadi kontroversial adalah penyebutan “pahlawan revolusi” terhadap enam jendera l, seorang perwira muda, dan seorang polisi di Jakarta serta dua perwira menengah di Yogyakarta. Saat itu tidak terjadi revolusi kecuali upaya percobaan kudeta yang gagal.Sepuluh tokoh militer/polisi itu tidaklah melakukan revolusi, bahkan mereka gugur tidak dalam peperangan. Jadi lebih tepat mereka diangkat sebagai “pahlawan nasional” bukan “pahlawan revolusi”.
Pada era Orde Baru setiap tanggal 30 September dinaikkan bendera Merah Putih setengah tiang dan tanggal 1 Oktober satu tiang penuh. Maksudnya penaikan bendera setengah tiang sebagai berkabung atas gugurnya para jenderal dan satu tiang penuh untuk Hari Kesaktian Pancasila. Dewasa ini hampir tidak ada yang menaikkan bendera kecuali pada instansi militer. Ini menjadi kontroversi kedelapan, keenam jenderal itu meninggal dini hari 1 Oktober, oleh sebab itu bendera setengah tiang lebih tepat dikibarkan tanggal 1 Oktober, bukan 30 September.
Kontroversi kesembilan menyangkut pemakaian istilah “malam jahanam” untuk malam ketika terjadi pembunuhan terhadap para jenderal tersebut seperti yang digunakan Prof Taufik Abdullah. Istilah yang berasal dari drama karya Motinggo Busye itu memang puitis sekaligus sadis. Tapi persoalannya “malam jahanam” itu tidak hanya semalam, yakni pada malam tanggal 30 September 1965 saja, tetapi juga pada “1.001 malam” berikutnya ketika terjadi pembantaian terhadap sekitar 500.000 orang pasca-G30S.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya sebagai judul sebuah buku, istilah itu diganti dengan “malam bencana”. Kontroversi ke-10 mengenai apakah presiden dan seluruh ketua lembaga tinggi negara wajib hadir dalam upacara peringatan yang diadakan di Lubang Buaya setiap tanggal 1 Oktober. Tanggal 17 September 1966 Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat mengeluarkan surat keputusan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila yang harus diperingati seluruh slagorde Angkatan Darat.
Tanggal 24 September 1966 Panglima Angkatan Kepolisian mengusulkan peringatan itu oleh seluruh Angkatan Bersenjata. Tanggal 29 September 1966 Jenderal Soeharto selaku menteri utama bidang pertahanan keamanan memutuskan peringatan itu oleh seluruh slagorde Angkatan Bersenjata. Peringatan itu tidak wajib di Lubang Buaya, bisa juga di Istana Negara atau lebih tepat lagi di Taman Pahlawan Kalibata karena delapan jenazah pahlawan revolusi itu disemayamkan di sana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar