Sabtu, 20 Oktober 2012

Menjadi Tawanan Undang-undang


Menjadi Tawanan Undang-undang
Suteki ;  Guru Besar Hukum dan Masyarakat Universitas Diponegoro
KOMPAS, 19 Oktober 2012



Selama dua hari berturut-turut, 12-13 Oktober, harian Kompas memuat pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan analisisnya terkait dengan dimungkinkannya bekas narapidana korupsi untuk menjabat kembali di jajaran pemerintahan lantaran tidak ada hukum (undang-undang) yang melarangnya.
Pertanyaannya, sudah betulkah cara berhukum demikian? Apakah ini memang wajah hukum kita? Sebagai bangsa Timur, rakyat Indonesia sangat mengedepankan ”rasa”, termasuk rasa malu (shaming sense), selain logika-penalaran. Namun, mengapa dalam berhukum kita hanya mengagungkan aspek undang- undang yang notabene hanya merupakan bangkainya hukum atau sekadar skeleton.
Ketika kita mengeja bunyi pasal-pasal UU, sebenarnya kita sedang mengeja kerangka yang telah terlepas dari balutan daging-otot, aliran darah, dan sebaran saraf-sarafnya. Saat itu pula sebenarnya kita sedang berhadapan dengan wajah hukum yang tidak utuh, kaku, keras, dan dingin sebagai simbol-simbol ”kematian” hukum perundang-undangan. Agar hukum itu ”hidup” kembali, yang dibutuhkan adalah mengembalikan sekalian unsur- unsur yang membalutnya dalam penerapannya. Maka, penegak hukum yang tak berusaha mengembalikan balutan itu akan selamanya menjadi tawanan UU, terus terkungkung oleh aturan yang tidak mampu menghadirkan keadilan substantif.
Apakah hukum itu hanya UU? Apakah berarti pula perbuatan melawan hukum itu sama dengan perbuatan melawan UU saja? Di Belanda—tempat asal hukum modern kita—telah terjadi revolusi hukum besar-besaran ketika Hoge Raad Belanda memutus gugatan perdata 31 Januari 1919 yang menyatakan perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan melawan UU, melainkan juga kepatutan, moralitas, dan rasa keadilan masyarakat. Artinya, hukum bukan hanya UU, melainkan juga living law, kearifan lokal seperti adanya rasa malu (tidak patut, tidak pantas, dan sebagainya).
Benar memang, dalam UU dan peraturan hukum lain tak ditemui satu pasal pun yang melarang mantan narapidana korupsi menduduki jabatan tertentu di jajaran pemerintahan. Namun, apakah ini patut, pantas, dan tak memalukan? Kalangan pendukung positivisme mungkin akan berteriak, selama tak diatur oleh hukum positif, berarti selama itu pula tak ada larangan. Mereka lupa, larangan itu juga punya basis sosialnya, yakni living law, hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam basis sosial itulah ditemukan aspek moralitas yang dulu telah membalut hukum perundang-undangan.
Terobosan Hukum
Pada bagian penjelasan UU Korupsi secara tegas dinyatakan, korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Pernyataan ini mengandung maksud bahwa cara-cara penanganan hingga penjatuhan sanksinya harus dilakukan secara extraordinary atau luar biasa juga. Berarti, penanganannya harus secara progresif, sarat inisiasi untuk melakukan lompatan/terobosan hukum (rule breaking).
Secara lebih lugas, para penegak hukum harus punya keberanian: (1) melalui kecerdasan spiritual (spiritual quotient) tak terkungkung aturan atau jadi tawanan aturan bila aturan itu justru kontraproduktif dengan pencarian keadilan substantif; (2) menggali makna lebih dalam (deep interpretation) dalam mengeja teks-teks UU; (3) harus memiliki keterlibatan (compassion) dalam upaya pemberantasan korupsi serta empati terhadap penderitaan rakyat karena korupsi itu.
Keberanian untuk melakukan terobosan hukum inilah yang memungkinkan terjadinya ingsutan paradigma (paradigm shift) dalam penegakan hukum, termasuk penanganan korupsi. Maka, menjadi tawanan UU sebenarnya sikap yang mencederai upaya untuk melengkapi tampilan wajah hukum kita menjadi bukan hanya rules and logic, melainkan juga perilaku yang sarat dengan persoalan moral, etika, dan agama.
Bangsa dan negara ini punya Pancasila yang ditempatkan sebagai rechtsidee —cita hukum yang berfungsi sebagai bintang pemandu dalam pembuatan dan penegakan hukum. Ini berarti hukum tak dapat dipisahkan dari moral, termasuk rasa keadilan masyarakat dan rasa malu.
Kita bisa menengok ke belakang mengenai bagaimana upaya kita melengkapi wajah hukum itu. Misalnya, (1) dalam UU Kekuasaan Kehakiman dari awal hingga yang terkini selalu memuat pasal yang menyatakan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat; (2) perubahan model negara hukum dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dari rechtsstaat—konsep negara hukum yang mengagungkan mantra-mantra rules, logic, dan prosedural—menjadi Indonesia sebagai negara hukum yang cenderung menuju konsep Rule of Law—konsep yang bukan hanya mengutamakan aspek rules, logic dan prosedural, melainkan juga persoalan keadilan.
Kemudian, (3) dalam Pasal 28 UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil. Ini berarti bukan persoalan kepastian hukum saja (bunyi teks UU saja) yang diperhatikan, melainkan juga persoalan rasa keadilan.
Kacamata Kuda
Ingsutan-ingsutan paradigma secara tekstual hingga struktural telah terjadi, tetapi mengapa ingsutan kontekstualnya tak mengikutinya? Perilaku penegak hukum masih skeptis dan dituntun kacamata kuda sehingga berpikir bahwa hukum itu hanya sekadar bunyi pasal-pasal UU. Legitimasi tindakan penguasa hanya didasarkan atas bunyi pasal-pasal UU, bukan juga persoalan moral. Keadaan ini sering disebut Rule by Law, dengan pejabat negara jadi tawanan UU sekaligus membuat mereka kehilangan moralitasnya.
Memang benar yang dikatakan para pendiri bangsa bahwa disadari betul kalau UUD yang dibuat tidaklah sempurna. Mereka yakin, sebaik dan sesempurna apa pun suatu UU, kalau semangat para penyelenggara negara tak baik, UU yang sempurna dan baik tak ada artinya. Artinya, hukum dan keadilan tak kunjung tegak. Pengalaman di negara lain, seperti ketika Afrika dijajah Inggris, jadi cermin bagi kita.
Sewaktu Inggris datang, hukum perundang-undangan Afrika sangat buruk, banyak bolongnya. Lubang-lubang itu dimanfaatkan para penguasa dan pihak lain sebagai titik lemah penegakannya. Oleh Pemerintah Inggris lubang-lubang itu ditambal dengan ”English Gentlemen”. English Gentlemen adalah karakter bangsa Inggris waktu itu yang punya sifat tinggi hati (mengutamakan kewibawaan), tak korup, tak mau disuap, jujur, dan dapat dipercaya. Karakter itulah yang selama bertahun-tahun menjadikan penegakan hukum dan pemerintahan berjalan baik. Penguasa tak tertawan UU, tetapi berkawan dengan UU. Keadaan menjadi terbalik ketika Inggris meninggalkan Afrika. Hukum Afrika kembali terpuruk.
Oleh karena itu, perlu ditegaskan, kini konsep Rule of Law telah berubah bukan hanya Rule by Law, melainkan harus dilengkapi dengan Rule by Moral. Bahkan, menurut Aristoteles, yang terpenting adalah Rule by Good Man. Semoga pejabat negara tak terus-menerus jadi tawanan UU sehingga mimpi indah negara hukum untuk mewujudkan kesejahteraan sosial melalui pemberantasan korupsi dapat tercapai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar