Menjadi
Tawanan Undang-undang
Suteki ; Guru Besar Hukum dan Masyarakat Universitas
Diponegoro
|
KOMPAS,
19 Oktober 2012
Selama dua hari
berturut-turut, 12-13 Oktober, harian Kompas memuat pernyataan Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi dan analisisnya terkait dengan dimungkinkannya bekas
narapidana korupsi untuk menjabat kembali di jajaran pemerintahan lantaran
tidak ada hukum (undang-undang) yang melarangnya.
Pertanyaannya, sudah
betulkah cara berhukum demikian? Apakah ini memang wajah hukum kita? Sebagai
bangsa Timur, rakyat Indonesia sangat mengedepankan ”rasa”, termasuk rasa
malu (shaming sense), selain logika-penalaran. Namun, mengapa dalam berhukum
kita hanya mengagungkan aspek undang- undang yang notabene hanya merupakan
bangkainya hukum atau sekadar skeleton.
Ketika kita mengeja bunyi
pasal-pasal UU, sebenarnya kita sedang mengeja kerangka yang telah terlepas
dari balutan daging-otot, aliran darah, dan sebaran saraf-sarafnya. Saat itu
pula sebenarnya kita sedang berhadapan dengan wajah hukum yang tidak utuh,
kaku, keras, dan dingin sebagai simbol-simbol ”kematian” hukum
perundang-undangan. Agar hukum itu ”hidup” kembali, yang dibutuhkan adalah
mengembalikan sekalian unsur- unsur yang membalutnya dalam penerapannya.
Maka, penegak hukum yang tak berusaha mengembalikan balutan itu akan
selamanya menjadi tawanan UU, terus terkungkung oleh aturan yang tidak mampu
menghadirkan keadilan substantif.
Apakah hukum itu hanya UU?
Apakah berarti pula perbuatan melawan hukum itu sama dengan perbuatan melawan
UU saja? Di Belanda—tempat asal hukum modern kita—telah terjadi revolusi
hukum besar-besaran ketika Hoge Raad Belanda memutus gugatan perdata 31
Januari 1919 yang menyatakan perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan
melawan UU, melainkan juga kepatutan, moralitas, dan rasa keadilan
masyarakat. Artinya, hukum bukan hanya UU, melainkan juga living law,
kearifan lokal seperti adanya rasa malu (tidak patut, tidak pantas, dan
sebagainya).
Benar memang, dalam UU dan
peraturan hukum lain tak ditemui satu pasal pun yang melarang mantan
narapidana korupsi menduduki jabatan tertentu di jajaran pemerintahan. Namun,
apakah ini patut, pantas, dan tak memalukan? Kalangan pendukung positivisme
mungkin akan berteriak, selama tak diatur oleh hukum positif, berarti selama
itu pula tak ada larangan. Mereka lupa, larangan itu juga punya basis
sosialnya, yakni living law, hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam basis
sosial itulah ditemukan aspek moralitas yang dulu telah membalut hukum
perundang-undangan.
Terobosan Hukum
Pada bagian penjelasan UU
Korupsi secara tegas dinyatakan, korupsi merupakan tindak pidana luar biasa
(extraordinary crime). Pernyataan ini mengandung maksud bahwa cara-cara
penanganan hingga penjatuhan sanksinya harus dilakukan secara extraordinary
atau luar biasa juga. Berarti, penanganannya harus secara progresif, sarat
inisiasi untuk melakukan lompatan/terobosan hukum (rule breaking).
Secara lebih lugas, para
penegak hukum harus punya keberanian: (1) melalui kecerdasan spiritual
(spiritual quotient) tak terkungkung aturan atau jadi tawanan aturan bila
aturan itu justru kontraproduktif dengan pencarian keadilan substantif; (2)
menggali makna lebih dalam (deep interpretation) dalam mengeja teks-teks UU;
(3) harus memiliki keterlibatan (compassion) dalam upaya pemberantasan
korupsi serta empati terhadap penderitaan rakyat karena korupsi itu.
Keberanian untuk melakukan
terobosan hukum inilah yang memungkinkan terjadinya ingsutan paradigma
(paradigm shift) dalam penegakan hukum, termasuk penanganan korupsi. Maka,
menjadi tawanan UU sebenarnya sikap yang mencederai upaya untuk melengkapi
tampilan wajah hukum kita menjadi bukan hanya rules and logic, melainkan juga
perilaku yang sarat dengan persoalan moral, etika, dan agama.
Bangsa dan negara ini
punya Pancasila yang ditempatkan sebagai rechtsidee —cita hukum yang
berfungsi sebagai bintang pemandu dalam pembuatan dan penegakan hukum. Ini
berarti hukum tak dapat dipisahkan dari moral, termasuk rasa keadilan
masyarakat dan rasa malu.
Kita bisa menengok ke
belakang mengenai bagaimana upaya kita melengkapi wajah hukum itu. Misalnya,
(1) dalam UU Kekuasaan Kehakiman dari awal hingga yang terkini selalu memuat
pasal yang menyatakan bahwa hakim dalam menyelesaikan perkara wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat; (2) perubahan model negara hukum dalam UUD Negara Republik
Indonesia 1945 dari rechtsstaat—konsep negara hukum yang mengagungkan
mantra-mantra rules, logic, dan prosedural—menjadi Indonesia sebagai negara
hukum yang cenderung menuju konsep Rule of Law—konsep yang bukan hanya
mengutamakan aspek rules, logic dan prosedural, melainkan juga persoalan
keadilan.
Kemudian, (3) dalam Pasal
28 UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kepastian hukum
yang adil. Ini berarti bukan persoalan kepastian hukum saja (bunyi teks UU
saja) yang diperhatikan, melainkan juga persoalan rasa keadilan.
Kacamata Kuda
Ingsutan-ingsutan paradigma
secara tekstual hingga struktural telah terjadi, tetapi mengapa ingsutan
kontekstualnya tak mengikutinya? Perilaku penegak hukum masih skeptis dan
dituntun kacamata kuda sehingga berpikir bahwa hukum itu hanya sekadar bunyi
pasal-pasal UU. Legitimasi tindakan penguasa hanya didasarkan atas bunyi
pasal-pasal UU, bukan juga persoalan moral. Keadaan ini sering disebut Rule
by Law, dengan pejabat negara jadi tawanan UU sekaligus membuat mereka
kehilangan moralitasnya.
Memang benar yang
dikatakan para pendiri bangsa bahwa disadari betul kalau UUD yang dibuat
tidaklah sempurna. Mereka yakin, sebaik dan sesempurna apa pun suatu UU,
kalau semangat para penyelenggara negara tak baik, UU yang sempurna dan baik
tak ada artinya. Artinya, hukum dan keadilan tak kunjung tegak. Pengalaman di
negara lain, seperti ketika Afrika dijajah Inggris, jadi cermin bagi kita.
Sewaktu Inggris datang,
hukum perundang-undangan Afrika sangat buruk, banyak bolongnya. Lubang-lubang
itu dimanfaatkan para penguasa dan pihak lain sebagai titik lemah
penegakannya. Oleh Pemerintah Inggris lubang-lubang itu ditambal dengan
”English Gentlemen”. English Gentlemen adalah karakter bangsa Inggris waktu
itu yang punya sifat tinggi hati (mengutamakan kewibawaan), tak korup, tak
mau disuap, jujur, dan dapat dipercaya. Karakter itulah yang selama
bertahun-tahun menjadikan penegakan hukum dan pemerintahan berjalan baik.
Penguasa tak tertawan UU, tetapi berkawan dengan UU. Keadaan menjadi terbalik
ketika Inggris meninggalkan Afrika. Hukum Afrika kembali terpuruk.
Oleh karena itu, perlu
ditegaskan, kini konsep Rule of Law
telah berubah bukan hanya Rule by Law,
melainkan harus dilengkapi dengan Rule
by Moral. Bahkan, menurut Aristoteles, yang terpenting adalah Rule by Good Man. Semoga pejabat
negara tak terus-menerus jadi tawanan UU sehingga mimpi indah negara hukum
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial melalui pemberantasan korupsi dapat
tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar