Kamis, 04 Oktober 2012

Dipuji di Luar, Dikritik di Dalam


Dipuji di Luar, Dikritik di Dalam
Karyudi Sutajah Putra  ;  Tenaga Ahli Anggota DPR
SUARA MERDEKA, 04 Oktober 2012


"SBY punya dua wajah, di luar dipuja-puji, di dalam dikritik, ibarat keping mata uang: satu sisi putih, sisi lain hitam"

GAJAH di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan kelihatan. Inilah yang barangkali yang sedang menimpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Orang luar menganggap dia berprestasi, rakyat justru mengkritisi. Prestasi di mata orang luar tercermin dari sejumlah penghargaan yang dia terima di sela-sela menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, baru-baru ini.

Penghargaan pertama adalah ''21st Century Economic Achievement Award'' dari US-ASEAN Business Council (USABC), organisasi advokasi perusahaan-perusahaan AS dalam menjalankan usaha di negara-negara ASEAN.

Sebagai pemimpin ASEAN, SBY dinilai berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 4,5% selama delapan tahun, bahkan merupakan tertinggi di ASEAN; perbaikan keuangan negara yang tercermin dalam peningkatan peringkat dari credit-rating menjadi investment grade; dan membuka peluang bagi jalinan bisnis yang makin luas antara Indonesia dan AS melalui US-Indonesia Comprehensive Partnership.
Penghargaan bagi SBY juga didasarkan atas komitmen menciptakan kepastian hukum, menegakkan undang-undang dan transparansi sehingga melahirkan iklim investasi yang sehat.

Penghargaan kedua adalah ''Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security'' (CTI-CFF), diberikan oleh The Nature Conservancy, World Resources Institute (WRI), dan World Wildlife Fund (WWF). Tiga lembaga ini menilai SBY menginspirasi para pemimpin lain di kawasan ASEAN dalam meluncurkan CTI-CFF tahun 2007 untuk melindungi sumber daya laut dan pantai, termasuk penyelamatan terumbu karang.

Penghargaan ketiga adalah medali ''Foreign Policy Association'', sebagai pengakuan tertinggi atas jasa-jasa dan peran SBY dalam memajukan perdamaian dunia dan kemajuan ekonomi global.

Bagaimana pandangan publik domestik? Kepuasan publik terhadap kinerja SBY dalam segala sektor melorot jauh. Hasil survei Charta Politika yang dipublikasikan akhir Agustus lalu bahkan menunjukkan secara keseluruhan ketidakpuasan publik mencapai 77,3% responden. Dalam bidang ekonomi, ketidakpuasan publik mencapai 67,4% responden, dan dalam bidang hukum mencapai 58,3% responden.

Dalam bidang ekonomi, masyarakat memang mengakui terjadi pertumbuhan yang cukup tinggi. Tapi pertumbuhan itu baru mencerminkan kuantitas, belum kualitas, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi, dan pemerataan pembangunan pun tidak terwujud.

Diuji Waktu

Dalam bidang hukum, SBY antara lain dinilai tidak mampu mengendalikan Polri sehingga institusi ini kerap berkonflik dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya dalam kasus Cicak versus Buaya I dan II(?), dan kini sengketa kewenangan menyangkut penanganan korupsi simulator SIM. Dengan dalih tak mau mengintervensi, SBY enggan memerintahkan Polri menyerahkan penanganan kasus simulator SIM kepada KPK.  

Dalam bidang pemberantasan korupsi, yang selama ini dibangga-banggakan SBY, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menunjukkan kinerja SBY buruk. Dia bahkan tak mampu mengendalikan kader-kader partainya sendiri, sehingga M Nazaruddin, Angelina Sondakh dan lain-lain menjadi tersangka korupsi. 

Begitu pun dalam bidang keamanan. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pertengahan September lalu menyebutkan terdapat mayoritas publik atau 51,34% responden merasa kurang puas dengan kinerja SBY dalam bidang keamanan. Maklum, terorisme masih merebak di mana-mana.

Dalam bidang penegakan HAM, Setara Institute menilai kinerja SBY juga rendah. Bukti itu terlihat antara lain dari masih ada kemerebakan konflik bernuansa SARA di sejumlah daerah serta pelanggaran kebebasan warga dalam beragama dan berkeyakinan, seperti dalam kasus Ahmadiyah dan Syiah.

SBY juga terlihat tak kunjung menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM dalam tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada 1998, sehingga aksi ''Kamisan'', yakni berdiri dan berjejernya para orang tua korban di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan pakaian hitam-hitam setiap hari Kamis demi menuntut kebenaran dan keadilan, masih terus berlangsung hingga tahun ini, tanpa respons langsung dari SBY.

Itulah, SBY punya dua wajah, di luar dipuja-puji, di dalam dikritik, ibarat sisi keping mata uang: satu sisi putih, sisi lain hitam. Publik pun bertanya-tanya, apakah penghargaan-penghargaan internasional yang diterima itu berdasarkan penilaian objektif ataukah karena ada lobi-lobi politik, bahkan bisa saja dengan cara ''membeli'' mengingat SBY sudah lekat dengan politik pencitraan. Sebaliknya, apakah hasil penelitian sejumlah lembaga survei itu objektif ataukah berdasarkan pesanan pihak tertentu? Biarlah waktu menjawab. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar