Rabu, 03 Oktober 2012

Kekerasan dan Land Reform


Kekerasan dan Land Reform
Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 02 Oktober 2012


Tanah merupakan harta tak ternilai. Bagi petani, bukan hanya bagian hidup, tanah adalah sumber kehidupan, simbol martabat dan identitas. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang dibela hingga mati). Artinya, tanah memiliki kedudukan penting.

Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan
modal uang. Tapi bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap
modal lainnya. Itu karenanya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir
semua negara di dunia. Semua negara yang struktur politik, ekonomi, dan sosialnya kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform. Land reform jadi bagian penting
menata struktur politik-ekonomi-sosial yang feodalistik.

Indonesia memulai land reform pada 1961, bersamaan dengan Taiwan. Cita-
cita pendiri bangsa saat itu adalah menata ulang struktur agraria nasional
yang feodalistik dan kolonialistik serta terkonsentrasi pada segelintir kelompok
jadi struktur agraria yang berkeadilan sosial. Land reform dilakukan setelah
UU Pokok Agraria No 5/1960 disahkan bersamaan lahirnya UU Nomor 56
Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Sayang, land reform yang menurut Bung Karno “bagian mutlak revolusi”
ternoda konflik vertikal dan horizontal yang dipicu polarisasi ideologi massa rakyat. Kelompok “kiri” pendukung land reform bersitegang dengan kelompok
“kanan” penolak land reform. Stabilitas politik terguncang. Land reform era Bung
Karno terhenti seiring pergantian rezim. Berbeda dengan Bung Karno, Soeharto
tak menjadikan land reform sebagai agenda penting. Soeharto menempuh
jalan pintas dengan mengadopsi Revolusi Hijau. Sepanjang 30 tahun land reform
dimusuhi dan diberangus. Bahkan, para penganjurnya dicap “kiri”.

Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam (SDA) tepat menggambarkan kondisi agraria 30 tahun Orde Baru. Pertama, kepemilikan dan penguasaan tanah dan kekayaan alam kian timpang. Kedua, konflik penguasaan dan pengelolaan tanah dan kekayaan alam makin massif.

Ketiga, peraturan yang terkait agraria/sumber daya alam bersifat eksploratif,
sektoral, sentralistis, le bih berpihak pada pemodal besar dan pemegang kuasa, dan tidak ada pengaturan memadai guna melindungi HAM dan hak-hak masyarakat adat/lokal. Keempat, peraturan yang terkait konservasi SDA tidak member jalan keluar yang diharapkan untuk pemulihan fungsi SDA sebagai landasan pengembangan ekonomi jangka panjang.

Dampaknya, tumpang-tindih peraturan membuat tak jelasnya otoritas atas
SDA dan salah urus pengelolaan SDA. Akibatnya, terjadi pengurasan dan
penge rukan SDA tanpa batas. Hutan produktif, hutan lindung dan lahan-lahan
produktif dialihfungsikan.

Akibatnya, lahan terdegradasi, ekosistem rusak, dan keanekaragaman hayati merosot, pencemaran dan dampak lingkungan meningkat, pelanggaran HAM
dan perampasan hak-hak masyarakat adat/lokal kian masif. Hasilnya adalah
kemiskinan mayoritas rakyat.

Pada 2006, Presiden SBY pernah berjanji membagikan 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat. Secara ekonomi, land reform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur-yang dikenal dengan reforma agraria-akan membuat rakyat lebih berdaya, seperti terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004). Reforma agraria akan bisa mengeliminasi soal-soal struktural, baik pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset agraria di segelintir orang, tingginya sengketa dan konflik agraria, rentannya ketahanan pangan dan energi, menurunnya kualitas lingkungan hidup, maupun lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar warga.

Masih Timpang

Enam tahun berlalu, janji itu tak pernah ditunaikan. Struktur sosial-ekonomi
tetap timpang. Ini bisa dilihat dari ketimpangan kepemilikan lahan. Ketimpangan kepemilikan aset di negeri amat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang. Nyaris tak berubah dalam 60 tahun terakhir (Mohammad Tauchid, 1952).

Konsentrasi aset itu 62-87 persen berupa tanah (Winoto, 2008). Sebaliknya,
49,5 persen petani di Jawa dan 18,7 persen petani luar Jawa tuna tanah (tak
berlahan). Di sisi lain, 7,2 juta hektar tanah yang dikuasai swasta di telantarkan.

Unjuk rasa sejumlah komponen yang menuntut pemulihan hak rakyat atas sumber daya alam, terutama lahan (Republika, 25/9/2012), bisa dimaknai
sebagai usaha menagih janji Presiden SBY. Sebab, tanpa menunaikan reforma
agraria, struktur sosial-ekonomi tetap timpang, dan Indonesia akan terus tersandera berbagai masalah struktural, salah satunya konflik agraria yang masif.

Menurut Komnas HAM, sepanjang 2011 kasus sengketa lahan adalah pelanggaran HAM tertinggi disbanding kasus lainnya, mencapai 603 kasus.
Me nurut BPN (2007), ada 2.810 kasus tanah besar yang berbuah konflik dan
merugikan negara-warga. Nilai tanah yang tersandera sengketa mencapai Rp
1.000 triliun (Winoto, 2008). Akankah SBY menata ulang struktur sosial-ekonomi
lewat reformasi agraria? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar