Rabu, 03 Oktober 2012

Rasionalitas dalam Modernisasi Alutsista


Rasionalitas dalam Modernisasi Alutsista
Tubagus Hasanuddin  ;  Wakil Ketua Komisi I DPR RI
MEDIA INDONESIA, 02 Oktober 2012


RAPAT kerja terbuka antara Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan RI membahas RAPBN 2013 pada Rabu (5/9) telah menyepakati banyak hal yang menggembirakan perihal penguatan alutsista (alat utama sistem persenjataan) Indonesia ke depan. Hal itu dapat dimaklumi mengingat anggaran Kemenhan yang diusulkan pemerintah mencapai Rp77 triliun atau meningkat Rp5 triliun dari anggaran di 2012. Di atas kertas, angka yang diusulkan tersebut setidaknya akan mampu menghidupi 21 kegiatan prioritas pengadaan alutsista bagi TNI yang diperkirakan menelan dana Rp18 triliun. Tulisan ini kemudian mengajak kita untuk menimbang kembali aspek rasionalitas dalam pola pengadaan alutsista kita selama ini agar angka Rp18 triliun tersebut tidak menjadi sia-sia nantinya.

Alutsista Bekas

Pola pertama yang terjadi dalam pengadaan alutsista di Indonesia sering kali dianekdotkan sebagai `hobi membeli barang bekas'. Sebut saja misalnya, hibah 24 unit pesawat F-16 dari Amerika Serikat dan 4 unit pesawat C-130 Hercules dari Australia beberapa waktu lalu. Semuanya memang dikategorikan `hibah', tetapi pemerintah juga harus mengeluarkan dana retrofit sebesar US$600 juta untuk 24 unit pesawat F-16 dan US$60 juta untuk 4 unit Hercules.

Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan praktik membeli atau menampung alutsista bekas negara lain selama pertimbangan rasionalitas tetap berada pada tempatnya. Rasionalitas di sini terkait dengan kalkulasi ekonomis pembelian alutsista bekas tersebut. Kalkulasi ekonomis merujuk pada biaya yang harus dikeluarkan untuk mentransformasi status ‘bekas’ menjadi setidaknya ‘mendekati baru’ atau ‘mengikuti teknologi terkini’ pada alutsista bekas.

Kalkulasi tersebut penting mengingat alutsista tidak jauh berbeda dengan manusia karena memiliki siklus kehidupan (life cycle) yang mempunyai tahapan-tahapan tertentu dalam masa gunanya hingga harus dipensiunkan. Artinya, sehebat apa pun teknologi yang dimiliki untuk merestorasi alutsista bekas, tetap ada batasan dalam penggunaannya kelak. Dengan demikian, membeli alutsista bekas harus mempertimbangkan juga apakah ongkos yang dikeluarkan dari uang rakyat untuk merestorasinya sepadan dengan usianya yang sudah dianggap ‘senior’.

Sebagai catatan, kita masih punya pengalaman pahit dengan alutsista bekas. Setelah jatuhnya Uni Soviet, sejumlah besar alutsista bekas Pakta Warsawa membanjiri dunia. Salah satu alutsista bekas yang masuk ke Indonesia pada saat itu ialah kapal perang Corvette kelas Parchim eks Jerman Timur yang digunakan TNIAL. Hingga saat ini, ongkos perawatan dan pemeliharaan kapal tersebut masih membebani anggaran TNI-AL, padahal efektivitas daya gentarnya diragukan.

Euforia Diskon

Pola kedua yang diminati pemerintah saat ini ialah kecenderungan untuk memanfaatkan diskon besar-besaran di pasar alutsista internasional. Saat ini kondisi separuh perekonomian dunia tengah diterpa krisis finansial besar-besaran. Tak pelak, industri pertahanan di beberapa negara juga terpaksa gigit jari. Untuk bertahan hidup, sebagian besar produsen alutsista harus memodifikasi strategi pemasaran mereka dengan cara memberikan `diskon'.

Apa yang terjadi pada pasar alutsista internasional saat ini tidak jauh berbeda dengan beberapa pusat perbelanjaan menjelang akhir tahun. Jelang akhir tahun, fenomena yang lazim terjadi ialah diskon besar-besaran yang bertujuan menghabiskan produk yang masih tersisa. Pendek kata, diskon besar-besaran menjadi ajang untuk `jual rugi' atas produk-produk yang masih belum laku. Masalah muncul ketika efek psikologis ‘diskon’ ternyata membuat konsumen menjadi irasional dalam membeli barang. Harga yang murah dan spesifikasi yang--menurut janji--tinggi kemudian hanya menjadi variabel utama dalam berbelanja. Akibatnya konsumen sering kali terkecoh karena membeli barang bukan berdasarkan faktor kebutuhan, melainkan karena euforia ‘diskon’.

Dalam konteks itulah rasionalitas strategis kemudian harus mulai ditekankan dengan mengacu pada kesesuaian barang yang dibeli dengan kebutuhan riil yang ada. Artinya, pembelian alutsista apa pun dari negara lain tersebut harus mempertimbangkan keselarasan spesifikasi dan daya tempurnya dengan fakta geostrategis Indonesia.

Salah satu isu yang terkait dengan kalkulasi strategis tersebut yaitu rencana pengadaan MBT Leopard. Tidak dapat dimungkiri, MBT Leopard 2A6 merupakan salah satu kendaraan tempur terbaik di dunia dengan bobot 63 ton. Dari konteks kemampuan tempurnya, MBT Leopard bersanding dengan M1A2 Abrams kebanggaan Amerika Serikat atau Merkava dari Israel. Hal yang menarik dari Leopard ialah kemampuan mobilitasnya yang diklaim sangat fleksibel untuk medan relatif datar atau di wilayah perkotaan. Dengan bobot, persenjataan, dan perawakannya yang garang, tidak mengherankan jika MBT Leopard dijuluki `monster' darat dalam dunia kemiliteran.

Akan tetapi, masalah timbul ketika pemerintah ternyata be lum maksimal dalam meng evaluasi spesifikasi kebu tuhan akan pengadaan MBT Leopard. Jika itu memang akan ditempatkan di per batasan, persoalan kontur geografis dan infrastruktur di perbatasan Indonesia menjadi pertimbangan utama. Secara strategis, satuan pemukul di perbatasan harus dapat bergerak cepat dalam kondisi apa pun agar mampu memberikan efek gentar kepada siapa saja yang mencoba mengancam kedaulatan negara.

Oleh karena itu, kemampuan mobilitas kendaraan tempur menjadi kunci dalam konteks tersebut. Pertanyaannya sekarang, apakah MBT Leopard yang `monster' itu mampu bergerak secepat dan selincah kendaraan tempur milik negara tetangga yang ditempatkan di perbatasan? Hal itu patut mendapatkan perhatian karena meningkatkan efek gentar tidak semudah hanya dengan memarkirkan si `monster ' di tapal batas.

Dalam konteks itu pula, kita harus mengkritisi rencana pembelian helikopter serang Apache yang baru-baru ini ramai dibicarakan di berbagai media. Helikopter tersebut memang merupakan heli serang yang paling canggih di dunia, sekaligus memiliki kelas yang lebih tinggi daripada helikopter serang Super Cobra. Apache dilengkapi peluru kendali jarak jauh yang bisa ditembakkan puluhan kilometer dari sasaran. Namun, harganya juga cukup tinggi. Harga satu unit Apache komplet mencapai US$40 juta-US$60 juta atau kurang lebih US$400 juta untuk pengadaan delapan unit helikopter Apache.

Rencana pembelian Apache hingga saat ini belum dikomunikasikan, apalagi dibahas dengan DPR. Terlebih lagi, pengadaan heli itu tidak terdaftar dalam Rencana Strategis 2009-2014. Saat ini DPR hanya menyetujui usulan pemerintah untuk membeli delapan unit helikopter serang seharga US$90 juta dan 16 unit helikopter serbu seharga US$170 juta. Semua produk helikopter tersebut jenis Fennec dan Bell 412 yang menurut rencana dibuat PT Dirgantara Indonesia.

Tepat Guna

Menjadi negara kuat dari sisi kemampuan militer tidaklah murah. Namun, hal yang perlu diperhatikan ialah aspek tepat guna dari modernisasi alutsista. Saat ini perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang cukup stabil. Artinya, secara rasional kita berada dalam posisi yang cukup menguntungkan sebagai konsumen dan seharusnya lebih selektif merespons banyaknya tawaran hibah alutsista atau produk alutsista yang tersedia di pasaran. Setiap rupiah APBN yang digelontorkan untuk membeli alutsista merupakan hasil keringat rakyat.  Oleh karena itu, keuntungannya harus benar-benar dimaksimalkan. ●

1 komentar:

  1. buat apa si alutsista, padahal jelas di uud kita punya misi menegakan dunia di atas perdamaian dunia, alutsista bukan menjadi jalan damai, malah jalan peperangn

    BalasHapus