Rabu, 03 Oktober 2012

Protokol Antipenistaan


Protokol Antipenistaan
Moch Nurhasim  ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI-Jakarta
REPUBLIKA, 02 Oktober 2012



Sambutan Presiden SBY dalam Munas PBNU pada 17 September 2012 lalu
memberi pesan khusus bahwa penistaan agama adalah bentuk pelanggaran
hak asasi manusia (HAM). Reaksi dan kecaman Presiden disampaikan pada
khalayak umat beragama dengan seruan agar segera diberlakukan protokol internasional antipenistaan agama.

Seruan itu ditindaklanjuti oleh Presiden SBY dengan mengajak negara-negara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyusun satu aturan internasional antipenistaan agama pada forum Sidang Majelis Umum PBB, Selasa (25/9) (Republika, 26/9/2012). Instrumen itu merupakan konsensus negara-negara yang akan menjadi acuan bila timbul penistaan agama.

Pesan Presiden SBY untuk kedamaian dalam hubungan antarkeyakinan tersebut
memang belum tentu direspons secara terbuka, khususnya oleh Amerika Serikat. Sebab, negara-negara Barat menganut prinsip kebebasan liberal, tetapi
justru itulah tantangan umat Islam dan umat beragama serta PBB. Desakan
negara-negara anggota PBB diharapkan dapat mendorong perubahan interpretasi tentang Universal Declaration of Human Rights bahwa kebebasan juga memiliki batas, bukan tanpa batas.

Perjuangan Umat

Jika kita meyakini bahwa agama adalah jalan keselamatan bagi umat
manusia, agama sebagai sesuatu yang hakiki, dan hak dasar setiap orang, sesungguhnya setiap manusia harus member tempat bagi penghormatan setiap hak orang. Dari dalil aqli itu, sesungguhnya setiap orang memiliki hak dasar.
Dan, sudah sepantasnya hak dasar itu dihormati oleh orang lain, bangsa lain, dan negara lain. Kebebasan yang dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Sedunia) sebenarnya juga membatasi penggunaan hak kebebasan karena tidak ada kebebasan yang absolut, yang benar-benar bebas semaunya sendiri.

Inilah inti dari pemikiran Presiden SBY saat menyampaikan sambutan dalam
Munas PBNU pada 17 September 2012 yang dibungkus dalam gagasan perlunya dunia mengakui protokol antipenistaan agama. Inti dari tuntutan
protokol penistaan agama itu sesungguhnya sederhana, yaitu agar PBB menyadari bahwa persoalan agama akan menjadi pemicu paling mudah yang dapat menimbulkan konflik antarbangsa dan antarnegara.

Huntington sudah pernah memprediksi akan terjadinya class civilization
sebagai bentuk ancaman baru, ketegangan antara Barat dan Timur. Posisi Pemerintah Indonesia harus didukung oleh umat Islam dan organisasi-organisasi
Islam lainnya agar ada jalan damai untuk menyelesaikan ketegangan isu yang
bersumber dari agama. Sebab, isu agama akan cepat menyebar dan menyentuh
dimensi emosional manusia yang tanpa dapat dibatasi. Isu itu akan semakin ‘memuncak’ ketika negara-negara di dunia, khususnya di Barat, yang menganggap pelecehan agama bukan pelanggaran, melainkan sebagai bagian dari bentuk ekspresi kebebasan.

Jika kondisinya seperti itu, ketegangan seperti disinyalir Huntington akan terus terulang dari waktu ke waktu. Dan disadari atau tidak, isu agama sangat rawan dipolitisasi oleh individu dan kelompok di mana pun mereka tinggal dan menetap.

Solusi Kedamaian

Sebagai orang Islam, kita perlu memosisikan diri secara prudent (hati-hati) dalam menyikapi bentuk-bentuk penistaan. Kita percaya bahwa agama tidak memberi ruang bagi tumbuhnya jalan kekerasan. Agama pada hakikatnya adalah jalan keselamatan bagi umat manusia.

Agama juga mengajarkan cinta kasih dan kasih sayang. Dalam konsep Islam,
dikenal istilah iman, yang secara mudah mengarah pada pengertian aman. Orang yang beriman aman bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Orang beriman akan aman dari kehidupan di dunia dan selamat dalam kehidupan akhirat. Disebut beriman jika manusia dan lingkungan sekitarnya juga merasa aman dan memperoleh keamanan.

Intisari ajaran agama yang anti kekerasan, antipenistaan, jus tru menghendaki
agar setiap manusia memuliakan manusia dan kemanusiaan. Dalam konteks
kehidupan sosial-keagamaan, sikap itu idealnya diwujudkan dalam bentuk kehidupan yang damai dalam bingkai multikulturalisme. Multikulturalisme
seperti yang diajarkan oleh orang-orang Barat sesungguhnya adalah hidup
berdampingan dalam warna-warna yang berbeda, tetapi saling menjaga dan
menghormati.

Dalam prinsip keagamaan, Islam mengenal istilah ‘agamamu-agamamu,
dan agamaku-agamaku’. Prinsip saling menghormati, bukan saling menodai.
Bahkan, dalam prinsip itu juga tebersit saling menjaga atau mengayomi. Jika
usulan protokol antipenistaan agama justru dilandasi oleh ajakan agar setiap
umat manusia tidak saling menistakan, sesungguhnya usulan itu dapat dianggap
sebagai solusi cerdas. Bukan saja untuk menghindari ketegangan Barat-Timur,
ketegangan yang muncul karena isu agama, melainkan pada hakikatnya adalah memelihara pola hubungan antarmanusia di planet ini untuk saling menghormati.

Protokol antipenistaan agama paling tidak dapat menafsirkan bagaimana ekspresi seseorang terhadap suatu agama diperbolehkan. Ekspresi dan ekspektasi kebebasan dan pemikiran seperti apa yang dianggap wajar dan tidak melecehkan suatu agama. Termasuk dalam kategori itu adalah perlunya penerjemahan apa yang disebut sebagai menodai kesucian dan kemuliaan agama. Sebab, tafsir yang lebih jelas atas apa yang wajar dan tidak diharapkan dapat meminimalisasi ketegangan dalam hubungan sosial antarbangsa dan antaragama.

Sebaliknya, PBB perlu menyadari posisi dan makna penting protokol ini
bagi keselamatan umat manusia dan kemanusiaan. Menafikan kebutuhan akan
protokol antipenistaan agama, sama saja dengan membuka celah bagi perluasan konflik budaya yang dilandasi oleh fanatisme keagamaan pada masa depan yang tidak tertutup kemungkinan akan terus melanda dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar