Jakarta Bukan
Solo
Sulardi ; Dosen
Hukum Tata Negara FH Universitas Muhammadiyah Malang
|
REPUBLIKA,
16 Oktober 2012
Pasangan Joko Widodo dan
Basuki Tjahyana Purnama (Jokowi-Ahok) telah dilantik sebagai pasangan
gubernur dan wakil gubernur pemenang pemilihan Gubernur DKI. Suara resmi yang
diperoleh Jokowi-Ahok berjumlah 2.472.130 atau 52 persen. Sedang lawannya,
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), mendapatkan 2.120.815 sua- ra atau
46,18 persen dari jumlah suara sah.
Kemenangan ini mempunyai
dua makna bagi Jokowi. Pertama, Joko Widodo yang sempat menjabat sebagai Wali
Kota Solo berani nglurug ke Jakarta menantang calon gubenur incumbent dan
calon yang lainnya. Walaupun dalam putaran kedua ini lawannya tinggal Fauzi
Bowo dan pasangannya namun sesungguhnya Jokowi telah dikeroyok oleh
partai-partai besar, seperti Partai Golkar, Demokrat, PAN, PKS, PPP, PKB, dan
saya duga juga partai kecil di DKI.
Hal tersebut dapat dilihat
dari pernyataan para calon gubernur yang kalah di putaran pertama bahwa mereka
mendukung calon gubernur incumbent.
Dalam falsafah Jawa terdapat suatu ajaran terkait dengan kondisi Jokowi ini, yakni nglurug tanpa bala (berperang tanpa bala bantuan).
Ajaran ini tidak persis
seperti situasi Jokowi, sebab makna sesungguhnya nglurug tanpa bala itu yang
dilawan adalah diri sendiri. Hawa nafsu diri sendiri yang dikalahkan. Siapa
pun pasti tidak akan membawa bala bantuan jika berhadapan dengan nafsu diri
pribadi. Justru, nglurug tanpa bala ini menjadi bermakna harafiah, saat
Jokowi yang datang dari Solo melawan calon gubernur incumbent yang didukung
partai besar. Kesaktian Jokowi sebagai kesatria Solo benar-benar diuji di
medan pertempuran pemilihan Gubernur DKI.
Ajang
Pembuktian
Makna kedua bagi Jokowi
menjadi Gubernur DKI 2012-2017 adalah arena pembuktian bagi Jokowi. Selama
ini Jo kowi dikenal sebagai Wali Kota Solo yang berhasil, memihak kepada wong
cilik tanpa mengabaikan elite, menata pedagang kaki lima dengan tetap membuka
keran investor, lebih memopulerkan batik sebagai produk asli Solo sekaligus
Indonesia, menata transportasi yang murah dan nyaman, dan yang paling penting
dikenal bersih dari korupsi, gratifikasi, maupun suap.
Di Solo, Jokowi berhasil
menggunakan pendekatan kerakyatan dan humanis me sehingga dengan cara itu,
sejak kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat tahun 2001 lalu, baru
Jokowi dan pasangannya yang mampu meraih suara di atas 90 persen untuk
pemilihan wali kota periode kedua. Tetapi, kali ini Jokowi yang berpasangan
dengan Basuki bertarung di DKI Jakarta, yakni ibu kota negara Indonesia.
Ada banyak hal yang
nantinya harus dibuktikan oleh Jokowi. Jakarta bukanlah Solo, yang tidak
hanya lebih rumit dibanding Solo. Bahkan, Jakarta lebih rumit dari Indonesia
itu sendiri. Kerumitan Jakarta adalah kerumitan yang kompleks, yang
kait-mengait. Jakarta adalah rimba raya dengan berbagai karakter manusia yang
tinggal di dalamnya. Sehingga, persoalan yang sesungguhnya bukan hanya
mengatasi masalah keruwetan berlalu lintas, pengangguran, kemiskinan di kota,
kesenjangan, kriminalitas, kemacetan, sam- pah, kekumuhan dan banjir. Bukan
itu masalah utamanya.
Masalah yang yang telah
dipaparkan di atas selama ini tidak juga terselesaikan baik oleh calon
gubernur incumbent pada periode pemerintahan 2007-2012 maupun
gubernur-gubernur sebelumnya. Sebab, masalah yang kasatmata itu hanyalah
sebagai akibat masalah besar yang selama ini tidak pernah dibicarakan dan
direncanakan secara serius untuk diselesaikan.
Masalah besar yang
berakibat banjir, pengangguran, kemiskinan, kemacetan, dan lain-lain itu
sesungguhnya karena Jakarta telah menjadi muara dari ber- bagai masalah di
negara ini. Jakarta itu muaranya pencari kerja, muara para pebisnis, karier
militer, pencari peluang untuk dikenal sebagai advokat, polisi, jaksa, hakim,
artis, seniman, penyanyi, politisi, pengusaha. Bahkan, bandit dan penjahat
itu bisa terkenal jika sudah malang melintang di Jakarta.
Alhasil, apabila Jakarta
tetap dibiar- kan sebagai muaranya berbagai profesi dan persoalan itu,
Jokowi, bahkan 10 Jokowi pun kewalahan memimpin dan menata Jakarta. Maka,
langkah utama yang sebaiknya dilakukan oleh Jokowi setelah resmi menjadi
gubernur adalah rembuk politis dengan penguasa negara sekaligus beberapa
kepala daerah dengan tema utamanya adalah merelokasi atau memindahkan
kedudukan Jakarta tidak lagi sebagai pusat dari berbagai hal itu ke berbagai
daerah, baik kota maupun provinsi.
Ibaratnya, rezeki yang
mengalir ke Jakarta terlalu berlimpah: sebagai pusat pemerintahan, pusat
perdagangan, pusat hiburan, dan pusat segala urusan. Yang diuntungkan dari
melimpahnya rezeki itu bukan DKI, tetapi pemerintah pusat.
Sebab, banyak urusan
negara, baik itu bersifat politis, ekonomi, budaya, agama, sosial, dan lain
sebagainya, yang berskala nasional ataupun internasional telah menjadi beban
Jakarta sebagai sebuah provinsi. DKI justru menampung masalah yang dtimbulkan
dari limbah rezeki pemerintah pusat.
Jika Jokowi
berhasil meyakinkan penguasa pusat dan beberapa kepala daerah untuk
mendistribusikan urusan yang ada di Jakarta ke berbagai daerah maka dapat
dipastikan Jokowi akan berhasil menata Jakarta. Tetapi, ini bukan
persoalan gampang untuk memindahkan pusat pemerintah, pusat bisnis, pusat
perdagangan, dan pusat hiburan ke daerah-daerah lain. Perlu kesediaan pemerintah
pusat dan daerah, ketersediaan kota-kota yang memadai, dan perlu waktu yang
cukup lama.
Memindahkan
sebagian urusan yang ada di Jakarta ke berbagai daerah itu merupakan upaya
penting dalam menyelesaikan masalah Jakarta melalui akar persoalannya. Jika
tidak maka siap-siap saja dicaci, dimaki, dan ditagih janji yang tak bisa
dipenuhinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar