Pidana Mati,
HAM, dan Keadilan
Saharuddin Daming ; Komisioner
Komnas HAM
|
REPUBLIKA,
19 Oktober 2012
Dunia
pemberantasan narkoba kembali dirundung petaka. Setelah MA dalam putusan No
39 K/Pid.Sus/2011 membebaskan Hengky Gunawan (gembong narkoba) dari pidana
mati, Presiden juga menggunakan hak prerogatifnya dari Pasal 14 ayat 1 UUD
1945 memberi grasi kepada Merika Pranola dan Deni Setia Maharwa. Herannya
karena baik Presiden maupun majelis hakim berani mengambil putusan seperti
itu dengan dalil bahwa pidana mati bertentangan dengan HAM.
Pandangan
seperti ini dinilai sejumlah kalangan sebagai putusan yang inkonsisten.
Selain karena menodai semangat untuk memerangi narkoba dan berbagai kejahatan
sadis lainnya, juga terkesan mendelegitimasi sejumlah putusan MA sendiri
tentang pidana mati kepada Astini, Sumarsih, Amrozi dkk yang kesemuanya telah
dieksekusi.
Terlepas
dari dugaan adanya intervensi mafia peradilan yang mempengaruhi Presiden dan
hakim agung dalam memutuskan perkara dimaksud, Saya menilai pencantuman HAM
sebagai dasar putusan, sarat dengan anomali HAM dan keadilan. Mengapa baru
sekarang segelintir hakim agung tiba-tiba berkesimpulan bahwa pidana mati
bertentangan dengan HAM?
Argumentasi
yang mendalilkan pidana mati bertentangan dengan HAM, saya nilai berat
sebelah. Karena bukankah seluruh jenis `pemidanaan' pada hakikatnya adalah
`pelanggaran HAM'. Tetapi, kemudian menjadi sah, karena diperkenankan oleh
hukum. Polisi menahan seorang tersangka, andaikata tidak didasarkan pada suatu
ketentuan hukum yang berlaku, tentu adalah pelanggaran HAM.
Tentangan
pidana mati berikutnya, berlindung pada dalil pidana berganda.
Sebelum menjalani eksekusi, terpidana mati umumnya sudah menghuni LP dalam waktu yang cukup lama, sehingga terkesan bahwa terpidana mati menjalani hukuman ganda. Jika terpidana mati akhirnya menjalani hukuman ganda bukankah itu disebabkan oleh ulah yang bersangkutan sendiri, dengan penggunaan berbagai upaya hukum untuk mengulur-ulur waktu setelah pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis pidana mati.
Jika
pidana mati dihilangkan perasaan keadilan akan menjadi bias. Kasus kejahatan
yang tergolong sangat keji dan sadis sebagaimana yang dilakukan oleh Baekuni,
Robot Gedek, Ryan, dan Mujiono, tentu dirasakan tidak adil oleh sebagian
besar masyarakat jika pidana mati yang diancamkan, diganti dipidana seumur
hidup. Hasil riset beberapa pihak menyimpulkan bahwa kebanyakan terpidana
seumur hidup justru lebih memilih pidana mati karena dengan menjalani pidana
seumur hidup, tentu akan berakhir ketika ia meninggal dunia. Ini berarti
pidana seumur hidup juga mengalami pidana berganda.
C
Lambroso dan Gafalo berpendapat, pidana mati itu adalah alat yang mutlak
harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat
diperbaiki lagi. Perlu dipertanyakan juga apakah dalam hukum tentang HAM di
Indonesia ada ketentuan yang menegaskan tentang larangan pidana mati atas
dasar bertentangan dengan HAM?
Baik
dalam konstitusi maupun UU No 39/ 1999 tentang HAM tidak ditemukan ketentuan,
yang menegaskan bahwa pidana mati bertentangan dengan HAM karena terpidana
mati juga harus mempunyai kewajiban untuk tidak melanggar HAM orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika tidak
demikian, mana mungkin HAM dapat ditegakkan.
Dalam
syariat Islam, pidana mati bukan saja sekadar dibolehkan, malah dalam kejahatan
tertentu penerapan pidana mati menjadi wajib bahkan bernilai ibadah. Tentu
dengan alas hak yang shahih. Hal tersebut dapat ditarik dari beberapa butir
firman Allah dalam Alquran, antara lain, al-Baqarah: 178- 179, al-Maidah
33-45, dan beberapa hadis serta hasil ijtihad.
Demikian
pula, dalam Perjanjian Lama, sedikitnya ada sembilan kategori "kejahatan
besar" yang pelakunya dipandang patut dihukum mati. Yaitu:
(a) membunuh dengan sengaja, (b) mengorbankan anak-anak untuk ritual keagamaan, (c) bertindak sembrono sehingga mengakibatkan kematian orang lain, (d) melindungi hewan yang pernah menimbulkan korban jiwa manusia, (e) menjadi saksi palsu dalam perkara penting, (f) menculik, (g) mencaci atau melukai orang tua sendiri, (h) melakukan perbuatan amoral di bidang seksual, serta (i) melanggar akidah atau aturan agama.
Hukum
Yahudi juga mengatur jenis dan bentuk hukumannya. Ada empat, yaitu hukuman
(a) rajam, (b) bakar, (c) penggal kepala, dan (d) gantung. Berdasarkan
rujukan agama tersebut, saya menolak dalil penyingkiran lembaga pidana mati
dengan argumentasi bahwa penghilangan nyawa manusia adalah hak prerogatif
Tuhan. Dalil ini terkesan ingin menyejajarkan Tuhan dengan manusia, padahal
dalam kemahakuasaan Tuhan atas hidup matinya manusia, Tuhan tidak pernah
datang langsung mengeksekusi/mencabut nyawa manusia ataupun sebaliknya.
Sekalipun
seorang terhukum mati dieksekusi di tiang gantungan, di depan regu tembak, di
atas kursi listrik, disuntik, dan lain-lain jika Tuhan menakdirkannya tidak
mati, yang bersangkutan pasti tidak akan mati. Dalam konteks inilah hak
prerogatif Tuhan dimaksud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar