Demokrasi Kita
Dibajak Para Elite
Iqra Anugrah ; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik
di
Northern Illinois University, Amerika Serikat
|
KORAN
TEMPO, 19 Oktober 2012
Diperlukan gerakan rakyat,
gerakan massa yang sadar akan hak-haknya sebagai warga republik, untuk
memantau dan mengoreksi perilaku para elite. Tentu saja proses ini tidaklah
mudah, apalagi untuk melawan cengkeraman kuasa para elite mafia hukum.
Belum lama ini kita
dikagetkan kembali oleh konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Kepolisian Republik Indonesia terkait dengan upaya penangkapan Novel
Baswedan, salah seorang penyidik KPK, oleh pihak Polri. Dagelan politik ini
segera saja menyulut reaksi publik, yang langsung melemparkan sejumlah kritik
dan aksi-aksi solidaritas di berbagai daerah di Tanah Air, yang dilakukan
oleh berbagai elemen warga Indonesia. Berlarut-larutnya kasus ini juga
diperparah oleh kelambanan dan ketidaktegasan sikap Presiden SBY, yang
semakin meningkatkan kekecewaan rakyat atas kinerja Presiden dan pemerintah
pada umumnya, suatu hal yang semestinya tidak terjadi di era demokrasi kita
dewasa ini.
Konflik KPK-Polri dan
liku-liku pemberantasan korupsi adalah gejala sekaligus akibat dari
kepentingan publik yang dibajak para elite. Konflik kepentingan semacam ini
adalah pertanda dari menyusutnya nilai-nilai politik sebagai sebuah upaya
bersama untuk memajukan kepentingan publik. Sesungguhnya, ini adalah suatu
hal yang gawat dan mengkhawatirkan, karena akan semakin meningkatkan
skeptisisme publik terhadap negara dan demokrasi kita.
Karena itu, untuk lebih
memahami permasalahan secara lebih jelas, ada baiknya kita mencoba
menganalisis "potret buram" konflik KPK-Polri dari sudut pandang
teoretis, terutama dari khazanah sosiologi politik.
Adalah sosiolog kenamaan
dari Amerika Serikat, C. Wright Mills, yang menyentuh persoalan dilema
demokrasi dalam karyanya, The Power Elite (1956). Dalam magnum opus-nya,
Mills berbicara mengenai proses formasi atau pembentukan elite di AS
pasca-Perang Dunia II dan bagaimana proses tersebut mempengaruhi kualitas
demokrasi di negerinya. Mills mencoba membeberkan sebuah fakta yang tidak
mengenakkan: demokrasi di AS sering kali dibajak oleh segelintir elite
politik, ekonomi, dan militer yang menguasai kapital, kuasa, dan gudang
senjata. Efeknya memang terkadang tidak terasa, tetapi akibat yang sebenarnya
sungguh mengkhawatirkan: isu-isu dan keputusan-keputusan yang penting bagi
publik, yang seharusnya didiskusikan secara deliberatif, direduksi menjadi
domain bagi segelintir elite.
Visi atau teori tentang
demokrasi yang "elitis" ini berbeda dengan visi demokrasi
"pluralis" yang diusulkan oleh ilmuwan politik kenamaan AS, Robert
Dahl, dalam bukunya, Who Governs? (1961), yang berpendapat bahwa kekuasaan
merupakan arena kontestasi kekuasaan dan pengaruh dari berbagai grup dan
kelompok kepentingan.
Dalam konteks Indonesia,
becermin dari kasus konflik KPK-Polri, sekiranya tidaklah berlebihan untuk
menyimpulkan bahwa kondisi demokrasi kita lebih dekat dengan realitas pahit
ala Mills ketimbang dengan visi optimistis Dahl. Proses reformasi kehidupan
publik dan demokratisasi selama sekian waktu terakhir yang bertujuan untuk
mencapai utopia Dahlian ternyata harus bertabrakan dengan visi realis ala
Mills. Untuk mencapai tujuan masyarakat yang demokratis yang dicita-citakan
oleh konstitusi dan para pendiri bangsa kita, tak jarang kita harus menghadapi
perangai konservatif dari sejumlah elite yang hanya ingin melanggengkan
kekuasaan oligarkisnya dalam ranah politik, ekonomi, dan bahkan penegakan
hukum.
Refleksi Konflik
Konflik KPK-Polri perlu
ditanggapi dan ditangani dengan serius karena kasus ini adalah sebuah
indikasi yang menunjukkan bahwa demokrasi kita sudah mulai dibajak para
elite. Pidato Presiden, yang menyatakan perhatian sekaligus komitmen untuk
menyelesaikan kasus ini, perlu diapresiasi. Namun bukan berarti kita sebagai
warga republik kemudian hanya berdiam diri. Diperlukan jutaan mata rakyat
Indonesia untuk mengawasi komitmen negara dalam pemberantasan korupsi dan
penerapan kebijakan yang pro-rakyat.
Dalam kaitan dengan
konteks penegakan hukum, sesungguhnya komitmen dan langkah pemerintah dalam
menanggapi persoalan pelik konflik KPK-Polri akan menjadi semacam litmus
test, semacam ujian untuk menunjukkan seberapa jauh komitmen kita untuk
menegakkan supremasi hukum atau rule of law dan rasa keadilan di dalam proses
bernegara.
Sebelum deretan kasus
konflik KPK-Polri muncul, mungkin kita tidak begitu memperhatikan--jikalau
tidak lupa--pentingnya penegakan hukum. Konsolidasi demokrasi sering kali
hanya dimaknai sebagai pesta-pora pemilu dan pilkada, yang justru mereduksi
partisipasi warga republik yang seluas-luasnya dalam proses politik menjadi
perayaan pergantian giliran berkuasa dan konsolidasi para elite. Para
koruptor dan elite-elite oligarkis, terutama dalam sektor ekonomi dan
politik, dibiarkan untuk menguatkan cengkeraman kekuasaannya. Sedangkan
rakyat Indonesia, terutama kelompok-kelompok yang termarginalkan, seperti
kaum miskin kota, buruh, dan tani, terus terpinggirkan, dibiarkan menjadi
bidak-bidak catur dalam konstelasi politik para elite.
Melawan Dominasi
Seperti biasa, tatkala
rasa keadilan masyarakat mulai terusik, kritik dan resistansi atas
praktek-praktek hukum dan kenegaraan yang sewenang-wenang, seperti
"pengepungan" kantor KPK oleh beberapa polisi dan upaya pengerdilan
otoritas KPK, menjadi tak terhindarkan. Berbagai elemen masyarakat mulai
turun ke jalan dan menggemakan kritik bagi para penguasa serta harapan untuk
terwujudnya proses politik yang lebih baik.
Namun itu saja mungkin tidak cukup.
Diperlukan gerakan rakyat, gerakan massa yang sadar akan hak-haknya sebagai
warga republik, untuk memantau dan mengoreksi perilaku para elite. Tentu saja
proses ini tidaklah mudah, apalagi untuk melawan cengkeraman kuasa para elite
mafia hukum. Diperlukan kerja keras yang terorganisasi dengan perencanaan
jangka panjang. Namun, untuk mendukung reformasi kehidupan publik yang lebih
baik sekaligus menyelamatkan demokrasi kita dari pembajakan segelintir elite,
mungkin solusi ini adalah satu-satunya cara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar