Solusi
untuk Praktik Kerja Alih Daya
Rekson Silaban ; Aktivis Buruh dan Governing Body Organisasi
Buruh Internasional
KOMPAS,
20 Juli 2012
Polemik tentang pekerja alih daya atau outsourcing sebenarnya sudah lama
terjadi, bahkan saat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
masih berbentuk rancangan atau draf.
Akan tetapi, tetap saja banyak pihak yang
masih salah arah memahami akar soal. Jenis kerja alih daya itu ada dua jenis:
pertama, alih daya pemborongan pekerjaan, yaitu kegiatan pemborongan pekerjaan
tertentu kepada perusahaan yang lebih profesional dan, kedua, pengerahan tenaga
kerja melalui jasa pengerah tenaga kerja.
Contoh kegiatan pemborongan pekerjaan adalah
perusahaan pabrik pakaian Gap memborongkan pembuatan kancing baju ke perusahaan
spesialis pembuat kancing baju. Jenis alih daya ini sudah eksis sejak ratusan
tahun lalu dengan tanpa ada masalah. Sedangkan pengerahan tenaga kerja melalui
jasa pengerah tenaga kerja, perusahaan mendistribusikan pekerja kepada
perusahaan yang membutuhkan.
Bentuk yang terakhir inilah yang selama ini
dipersoalkan buruh karena sejak inilah buruh sah dianggap sebagai barang
komoditas yang bisa diperjualbelikan sebagaimana layaknya produk industri umum.
Analisis di bawah ini selanjutnya akan merujuk ke bentuk kedua ini.
Implikasi Nyata
Ada beberapa implikasi nyata yang dialami
buruh alih daya akibat praktik ini. Pertama, upah mereka lebih rendah 26 persen
dibandingkan dengan buruh tetap (FES, Jakarta 2011) karena mereka jarang
menerima upah di atas upah minimum provinsi (UMP). Mereka juga tidak
mendapatkan fasilitas, tunjangan, dan bonus.
Kedua, hampir semua buruh alih daya adalah
buruh kontrak. Dari 20 daerah industri utama di Indonesia, sebanyak 69 persen
mempekerjakan buruh kontrak (Solidarity
Center, Jakarta 2010).
Ketiga, pelanggaran terhadap status badan
hukum. Undang-undang menyatakan bahwa hanya pengerah jasa tenaga kerja yang
berbadan hukum PT dan koperasi dan terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi atau Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang bisa berbisnis
alih daya.
Dalam praktiknya, berbagai unit usaha,
lembaga pelatihan, pendidikan, dan individu ikut melakukan bisnis ini.
Pelanggaran ini terjadi meluas dari hari ke hari tanpa tindakan yang memadai
dari pengawas ketenagakerjaan.
Keempat, multitafsir terhadap definisi
’pekerjaan utama’ dengan ’pekerjaan jasa penunjang’. Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi dari satu daerah bisa memiliki tafsir yang berbeda dengan daerah
lain dalam menetapkan jenis pekerjaan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan hanya menyebutkan lima contoh pekerjaan jasa penunjang,
yakni jasa kebersihan (cleaning service), penyedia makanan, tenaga pengamanan,
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, dan usaha penyediaan angkutan
buruh.
Kelima, buruh sulit bergabung menjadi anggota
serikat buruh akibat pendeknya usia masa kerja dan buruh takut tidak mendapat
perpanjangan kerja. Kondisi ini makin melengkapi kerentanan perlindungan
terhadap mereka dengan absennya pengawasan ketenagakerjaan.
Keenam, akibat izin alih daya bisa
dikeluarkan oleh kementerian atau dinas tenaga kerja dan transmigrasi di pusat
dan daerah, pengawasan ketenagakerjaan menjadi tidak efektif. Perusahaan yang
melakukan pelanggaran di wilayahnya hanya bisa disidik oleh pengawas dari
daerah bersangkutan. Misalnya, di Kabupaten Bogor ada ratusan perusahaan alih
daya yang beroperasi, tetapi hanya sepertiga dari jumlah perusahaan ini yang
izinnya berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bogor.
Upaya Perbaikan
Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang
bebas dari praktik bisnis alih daya. Yang membedakan hanya pada sistem dan
mekanisme perlindungannya. Indonesia adalah negara yang perlindungannya sangat
minim. Itulah sebabnya pemiskinan buruh terjadi secara sistematis sejak
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 diperkenalkan.
Di Australia, upah buruh alih daya 25 persen
lebih tinggi ketimbang buruh tetap. Upah lebih tinggi ini dimaksudkan untuk
mengompensasi tiadanya pesangon dan cuti tahunan. Di Malaysia, Filipina, dan
Thailand, buruh kontrak hanya diperkenankan untuk digunakan selama enam bulan,
sementara di Indonesia dimungkinkan penggunaan selama tiga tahun.
Untuk mencegah kerusakan yang semakin parah,
pemerintah harus segera melakukan tindakan sebagai berikut. Pertama, pemerintah
perlu segera merevisi atau mengganti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dengan
alasan undang-undang tersebut telah tercabik-cabik akibat seringnya Mahkamah
Konsitusi merevisi pasal-pasal undang-undang tersebut.
Sejauh ini sudah enam putusan Mahkamah
Konstitusi yang merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan tampaknya ini
masih akan terus bertambah. Jadi, atas dasar kepentingan yang mendesak,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bisa mengajukan draf undang-undang
baru ke DPR tanpa harus melewati prosedur normal program legislasi nasional.
Kedua, upah buruh alih daya seharusnya dibuat
lebih tinggi dibandingkan dengan upah buruh tetap karena buruh alih daya
cenderung buruh kontrak yang tidak memiliki akses untuk mendapat pesangon,
mereka dikontrak secara terus-menerus, tidak dicakup dalam program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), dan tidak memiliki kepastian kerja. Di sinilah
seharusnya pemerintah tampil memberikan keadilan dengan memberikan perlindungan
tambahan terhadap mereka yang berada dalam posisi rentan ini.
Perbedaan upah dengan buruh tetap itu
setidaknya 8,3 persen per bulan. Angka ini lahir dari asumsi, bila buruh
menerima tambahan sebesar 8,3 persen di atas upah buruh tetap per bulan, dalam
12 bulan mereka akan mendapat upah 100 persen, atau sama dengan satu bulan
gaji. Selisih satu bulan ini adalah kompensasi sebagai pengganti pesangon.
Dengan adanya sistem pengupahan seperti ini, akan berkurang minat pengusaha
menggunakan buruh kontrak (outsourcing)
karena biaya yang dikeluarkan untuk membayar ongkos buruh menjadi sama besarnya
dengan jika menggunakan pekerja tetap.
Ketiga, bila perubahan undang-undang tidak
dimungkinkan, pemerintah bisa menertibkan semua lembaga penyelenggara bisnis
alih daya dengan cara mengkaji secara menyeluruh semua izin bisnis alih daya di
seluruh Indonesia. Semua izin alih daya harus diteliti dan selanjutnya agen
yang menyimpang izinnya harus dicabut. Usul dalam bentuk moratorium tidak
menyelesaikan masalah, hanya menunda persoalan. Selain itu, bisa berkesan
memproteksi mereka yang saat ini sedang melakukan penyimpangan.
Keempat, mencegah multitafsir dengan
menetapkan jenis pekerjaan pokok dan penunjang. Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi bisa membuat daftar dan jenis pekerjaan yang bisa atau tidak bisa
dialihdayakan. Penetapannya bisa dirumuskan setiap tripartit nasional sektoral.
Bila di kemudian hari ada jenis pekerjaan yang belum diidentifikasi oleh
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, penetapannya bisa disepakati secara
bipartit di tingkat perusahaan.
Kelima, izin bisnis alih daya sebaiknya
dikeluarkan oleh satu institusi saja, yaitu Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten/Kota. Tujuannya, agar gampang diawasi dan ditindak bila menyimpang.
Selanjutnya, dokumen izin alih daya bebas diakses oleh publik dengan cara,
salinan izin alih daya harus diberikan kepada serikat buruh di perusahaan
bersangkutan.
Keenam, karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tidak mengatur pemberian sanksi terhadap pelanggaran atas praktik alih
daya, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bisa membuat sanksi
administratif yang jelas terhadap pemilik bisnis alih daya. Setidaknya, dengan
membuat daftar hitam untuk mereka yang melanggar, sehingga mereka tidak berani
lagi melakukan penyimpangan.
Ketujuh, perlu reformasi pengawasan tenaga
kerja. Pengawasan sebaiknya dilakukan dengan melibatkan tripartit. Pegawai
penyidik tetap domain pemerintah, tetapi aktivitas penyidikan bisa
mengikutsertakan tripartit. Perencanaan pengawasan, evaluasi, dan perbaikan
bisa dilakukan bersama dengan dewan tripartit pengawasan. Dengan demikian,
nantinya ada transparansi atas penyelenggaraan pengawasan. Pengawasan selama
ini lemah akibat tidak memadainya jumlah tenaga pengawas, tidak dilibatkannya
pihak tripartit, adanya praktik korupsi, dokumen pengawasan yang tertutup,
serta meluasnya jumlah perusahaan skala kecil dan menengah.
Sesungguhnya, secara tertulis, usul ini sudah
pernah disampaikan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, diungkapkan di
berbagai seminar, disampaikan pada aksi demo buruh, tetapi belum ada
tanda-tanda upaya perbaikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar