Hikmah
Ramadan:
Negara
yang Membunuh Rakyatnya
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
MEDIA
INDONESIA, 20 Juli 2012
BENARKAH
negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya? Kalau bisa, kapankah suatu negara
bisa dikategorikan sebagai `kriminal' keji atau pembunuh atas rakyatnya? Dengan
modus apakah negara bisa membunuh dan membantai rakyatnya?
Kranenburg,
pakar di bidang politik ketatanegaraan dan penganut teori negara kesejahteraan,
menyatakan tujuan negara bukan sekadar memelihara ketertiban hukum, melainkan
juga aktif mengupayakan kesejahteraan warganya. Kesejahteraan yang
dimaksudkannya itu meliputi berbagai bidang yang luas dengan berlandaskan
kesederajatan.
Kalau
suatu negara sampai tidak berusaha maksimal menyejahterakan rakyatnya, negara
itu layak dikategorikan melakukan kejahatan bertajuk kejahatan melawan
kemanusiaan (crime against humanity),
manakala akibat ketidakseriusan atau pengabaiannya itu, banyak rakyat yang
kehilangan (tercerabut) hak keberlanjutan hidupnya.
Banyak
cara yang dibuat elemen negara untuk membunuh rakyat. Membunuh seseorang atau
sejumlah orang dari rakyat tidak selalu dengan cara langsung seperti mencekik
atau menusuk dengan senjata. Caranya bisa melalui kebijakan represi yang
bercorak dehumanisasi, menghambat dan menyumbat mengalirnya sumber daya
strategis bangsa yang bermaksud mengairi (memenuhi) dan menyejahterakan atau
menjaga keberlangsungan hidupnya, minimal dari ranah pemenuhan hak pangan atau
kebutuhan ekonomi sehari-harinya.
Apologi yang Salah
Di
negeri ini, pola pembunuhan rakyat sudah demikian sering dilakukan negara.
Memang banyak elemen negara yang menolak atau tidak mau digolongkan sebagai
pembunuh warga (rakyat). Mereka berapologi tangan mereka tetap bersih dari
lumuran darah rakyat. Mereka bahkan menyebut diri sebagai kelompok strategis
yang bertanggung jawab yang sudah menunjukkan perannya sebagai abdi negara yang
mengabdi total pada rakyat.
Apologi
itu jelas salah karena praktik pengabaian, pembiaran, dan bahkan
pengkleptokrasian yang dilakukan sejumlah elite negara telah mengakibatkan
kemiskinan di berbagai pelosok Tanah Air. Mereka menjadi korban ‘pembunuhan’
yang dilakukan elite negara yang bermental serakah atau yang sibuk me
ngumpulkan dan menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya.
Dalam
ulasan tajuk Media Indonesia (7 Juli 2012) disebutkan, kemiskinan punya dampak
begitu mengerikan. Tidak hanya bisa memicu manusia menjadi maling demi
menyambung hidup, kemiskinan ternyata juga mampu mendorong seseorang bunuh diri
untuk mengakhiri hidup. Misalnya lantaran tak kuasa menahan impitan ekonomi,
Markiah nekat menjemput kematian dengan menceburkan diri ke Sungai Cisadane,
Bogor. Tragisnya lagi, janda asal Serang, itu tidak bunuh diri sendirian,
tetapi mengajak mati buah hatinya (Salman) yang berumur tiga tahun.
Nasib
Markiah sungguh memilukan. Ia bukan orang pertama yang bunuh diri karena
miskin. Pada 11 Agustus 2010, Khoir Umi Latifah melakukan hal serupa membakar
diri bersama dua anaknya. Kemudian, pada 25 Oktober 2011, Suharta dan putranya
tewas setelah gantung diri di Riau. Jauh sebelumnya, seorang ibu dan empat
anaknya di Malang mengambil jalan pintas dengan menenggak racun potasium. Ia
memilih mati. Ia menyerah melawan kemiskinan yang kejam mendera dirinya.
Pemerintah
lebih sering atau selalu membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan.
Pada Senin (2/7), Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan warga miskin telah
berkurang 890 ribu jiwa. Pada Maret 2011, warga miskin berjumlah 30,1 juta jiwa
dan pada Maret 2012 turun 0,53% menjadi 29,13 juta orang. Pemerintah memang
berhak terpukau oleh angka-angka yang resmi dirilis BPK ini, tetapi fakta
menunjukkan kondisi riilnya bersifat paradoksal. Angka jauh dari mencerminkan
fakta.
Momentum Sakral
Pengabaian,
pembiaran, hingga pengkleptokrasian yangdilakukan (elemen) negara itu memang
merupakan rangkaian bentuk pembunuhan yang menimpa rakyat. Kasus bunuh diri
tidak sebatas dibaca sebagai eksaminasi moral dan ketauhidan manusia yang bunuh
diri, tetapi sebagai eksaminasi moral dan keimanan setiap pemimpinnya, yang
masih gagal menjalankan peran kepemimpinan yang `menghidupkan', menyelamatkan,
dan menyejahterakan rakyatnya.
Kehadiran
Ramadan sejatinya merupakan momen tum menyakralkan peran kepemimpinan elemen
negara dalam relasinya dengan rakyat. Di bulan ini, idealnya para pemimpin
mencari segala jenis baksil yang selama ini menyerang dan membunuh rakyat
mereka.
Pemimpin
kita selama ini memang hanya fasih berucap, bersilat lidah, berkilah, dan
bermain-main apologi demi membenarkan atau menahbiskan dirinya, sementara kemaslahatan
masyarakat tidak dicintainya. Komunitas elite itu merupakan deskripsi sosok
pemimpin yang tidak berbeda dengan pengkhianat dan `penjagal' hak-hak masyarakat.
Mereka tidak benar-benar `berpuasa' dari ketidakadilan struktural atau praktik
praktik yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan.
Mereka
itu gemar jadi `pengutip' atau pemalak atas hak-hak orang kecil,
menyalahalamatkan atau ‘menyunat’ bantuan operasional sekolah, membengkakkan
harga raskin, membuat biaya birokrasi mahal, menjarah bantuan bencana alam,
atau berbagai kepentingan masyarakat dikonversi (dirampok) supaya jadi hak
pribadi, partai politik, dan kroni.
Pemimpin
negeri ini hanya memperlakukan diri dan kelompoknya jauh melebihi kepentingan
riil masyarakat. Syahwat memiliki, merampas, menjarah, dan menguasai
dibiarkannya menjadi kekuatan yang mendorong dan menentukan gerak liberal dan
serbapermisif (het doel heiling de
middelen) yang melahirkan berbagai bentuk keprihatinan di berbagai bidang
kehidupan fundamental.
Bagaimana
bisa dikatakan hati pemimpin negeri ini bersinarkan cahaya cinta pada
masyarakat dan ‘berpuasa’ kalau masyarakat atau tetangga yang lokasinya hanya
beberapa meter dari kantor pemerintahan daerah saja dibiarkan tidak terurus
sehingga mereka terpaksa mengambil profesi menjadi pengemis instan?
Komunitas
elite yang menyebut diri sebagai pemimpin Indonesia sangat pintar menabur janji
atau mengobral pernyataan yang membius dan menyesatkan masyarakat, yang
menggiring masyarakat meyakini atau memercayainya.
Sayangnya,
janji itu tidak pernah mereka buktikan dalam kinerja atau dinihilkan dari
komitmen struktural mereka. Padahal, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan,
“Keadilan (kecintaan) seorang pemimpin lebih utama seribu kali jika
dibandingkan dengan ibadah ahli ibadah.”
Selama
ini, masyarakat lebih sering mendapatkan kosakata yang tersusun menarik di atas
kertas atau melalui pidato-pidato bombastis ketika kampanye, kunjungan kerja,
dan pertemuan-pertemuan resmi para pemimpin, yang tidak pernah diaplikasikan
dalam kehidupan riil masyarakat.
Bunuh
diri yang dijadikan opsi sejumlah orang akibat kemiskinan berlarut yang menimpa
mereka merupakan bukti bahwa pemimpin kita belum ‘berpuasa sejati’ dari syahwat
memburu kemapanan dan kenyamanan eksklusif kekuasaan. Mereka masih lebih
menahbiskan kecintaan pada dirinya sendiri, kroni, dan partainya jika
dibandingkan dengan memikirkan kepentingan riil rakyatnya.
Mereka
sebenarnya masih ingin menikmati hidup lebih lama di Bumi Pertiwi ini, tetapi
akibat pemimpinnya yang bermental menihilkan komitmen kerakyatan atau tidak
‘memuasakan’ egoisme dan ambisi pribadi dan kelompok eksklusifnya, baginya,
melanjutkan hidup di antara hati pemimpin yang sudah tuli tidak ada artinya
lagi.
Kalau
penguasa kita benar-benar sudah berpuasa sejati seperti yang didoktrinkan Nabi
Muhammad, tentulah penguasa itu meneladaninya, seperti sabdanya, “Tempat
terbaikku ialah orang-orang kecil dan orang-orang yang kalah.” Itu berarti
setiap pemimpin yang berpuasa berkewajiban menjadikan ‘orang-orang kecil dan
orang-orang yang kalah’ sebagai pembuktian amanat kerakyatan mereka dan bukan
menjadikan hak-hak publik (orang kecil) sebagai objek pengabaian, pereduksian,
dan pengkleptokrasian mereka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar