Mengurai
Problematika Gas Indonesia
Muhammad Syarif Hidayatullah ; Peneliti Wiratama Institute
KOMPAS,
20 Juli 2012
Kondisi sektor gas Indonesia bak sebuah
anomali. Selama berpuluh-puluh tahun, Indonesia membanggakan diri sebagai salah
satu eksportir gas alam terbesar di dunia.
Sebagai pemegang 11 persen pangsa ekspor gas
dunia, Indonesia menduduki peringkat kedua negara terbesar dalam ekspor (BP,
2011). Walaupun pangsa ekspor Indonesia tinggi, produksi dan cadangan gas bumi
Indonesia relatif kecil. Pangsa produksi gas Indonesia hanya 1,6 persen dan
cadangan gas Indonesia hanya 2,6 persen dari cadangan gas dunia.
Hal tersebut merupakan anomali. Sebab, negara
yang produksi gasnya ”kecil” seperti Indonesia mengekspor gas begitu besar,
sementara negara seperti Rusia yang memegang 23,9 persen produksi gas dunia
hanya menguasai 7 persen pangsa ekspor gas dunia.
Saat ini, gas menjadi primadona baru energi
dunia. Ada dua hal yang mendorong tingginya penggunaan gas secara global.
Pertama, harga gas relatif lebih murah dibandingkan harga energi lain.
Rata-rata harga gas di Uni Eropa 54 dollar AS per BOE (barrel of oil equivalent/setara barrel minyak), sedangkan harga
minyak mencapai 104 dollar AS/BOE. Bahkan, harga gas lebih murah dibandingkan
batubara yang 70 dollar AS/BOE. Kedua, cadangan gas diperkirakan cukup hingga
254 tahun ke depan, sedangkan cadangan minyak diperkirakan tinggal 160 tahun ke
depan (Pareto Securities, 2011).
Melonjaknya harga minyak menyebabkan kalangan
industri nasional berlomba-lomba melakukan konversi minyak ke gas. Selain
bersih dan berkalori tinggi, gas sangat efisien untuk proses pembakaran. Namun,
saat ini industri dalam negeri menjerit akibat kekurangan gas dan terjadi
defisit neraca gas di Indonesia.
Empat Penyebab
Menurut penulis, ada empat penyebab utama
permasalahan gas Indonesia saat ini. Pertama, minimnya infrastruktur gas.
Kenaikan permintaan gas selama ini gagal diantisipasi dengan instalasi jaringan
pipa transmisi dan distribusi yang memadai.
Alhasil, banyak daerah di Indonesia belum
tersambung ke jaringan pipa (contoh: Jawa Tengah). Selama puluhan tahun,
Indonesia adalah eksportir gas sehingga pembangunan jaringan pipa gas tak
berkembang. Minimnya infrastruktur menyebabkan pemasok sulit memasok gas kepada
konsumen.
Permasalahan infrastruktur ini ibarat ayam
dan telur. Satu pihak menyatakan infrastruktur gas sulit dibangun selama tidak
ada kepastian pasokan dari hulu (produsen). Pengembang enggan membangun
jaringan pipa transmisi karena dikhawatirkan ketika pipa sudah terbangun tak
ada suplai gas yang memadai. Pihak lain justru mengatakan, minimnya pasokan gas
disebabkan tak adanya infrastruktur gas yang memadai. Hal ini yang menyebabkan
kebuntuan dalam penyelesaian permasalahan gas dan memperlihatkan tak adanya
koordinasi antara hulu dan hilir.
Kedua, ekspor gas yang tinggi. Ekspor gas
Indonesia mencapai 44 persen dari total produksi gas nasional atau 3.433 juta
standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Pada awalnya, tingginya tingkat ekspor
disebabkan permintaan dalam negeri yang masih sedikit sehingga produksi gas
alam diarahkan untuk pembeli luar. Saat ini Indonesia sudah terikat kontrak ekspor dengan sejumlah pembeli
dari tujuh negaradan terikat kontrak pembelian gas antara tahun 2013 hingga
2029.
Tingginya tingkat ekspor terjadi karena
adanya perbedaan antara harga jual gas di dalam negeri dan luar negeri.
Rata-rata harga jual gas dalam negeri saat ini hanya 6 dollar AS, sedangkan
rata-rata harga jual luar negeri 14 dollar AS/BOE. Perbedaan harga yang terlalu
tinggi ini menyebabkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) memilih menjual gas
ke luar negeri.
Ketiga, kebijakan bauran energi (energy mix) yang kurang tepat.
Pemerintah Indonesia menggalakkan penggunaan gas (konversi minyak ke gas) pada
saat infrastruktur dan suplai gas belum memadai. Contohnya, semenjak harga
minyak dunia melambung tinggi, Indonesia banyak menggunakan pembangkit listrik
tenaga gas (PLTG), yang menyebabkan naiknya permintaan gas oleh PT PLN. Pada
2005, pemakaian gas oleh PLN masih 143.000 MMSCF dan pada 2010 mencapai 283.000
MMSCF atau meningkat 97,7 persen. Kenaikan inilah yang tak diimbangi oleh
pasokan gas yang memadai. Bahkan, dalam neraca gas nasional, rata-rata defisit
gas pembangkit listrik pada periode 2012-2014 mencapai 725 MMSCFD.
Indonesia sebenarnya dapat menggunakan
alternatif energi lain, semisal batubara. Secara biaya, pemakaian batubara
untuk pembangkit listrik akan lebih murah dibandingkan gas. Biaya produksi
listrik dengan gas mencapai Rp 850/kWh, sedangkan dengan batubara hanya Rp
450/kWh.
Sudah saatnya penggunaan gas Indonesia lebih
diprioritaskan untuk industri, khususnya yang memakai gas sebagai bahan baku
utama (industri pupuk dan petrokimia) dan sebagai bagian dari proses (industri
marmer dan kaca), yang sulit untuk dicari energi substitusinya.
Keempat, ketidakpastian pasokan dari produsen
dan distributor. Saat ini yang dikeluhkan oleh konsumen gas adalah
ketidakpastian pasokan gas. Sejumlah pelaku industri mengatakan, sebenarnya
mereka masih bisa menyesuaikan dengan harga 10 dollar AS/BOE yang ditetapkan
oleh PGN. Namun, mereka ingin ada kepastian pasokan.
Saat ini, rata-rata industri hanya mendapat
pasokan 50-60 persen dari kebutuhan mereka. Minimnya pasokan ini menyebabkan
produksi terhambat bahkan bisa gagal apabila pasokan gas putus di tengah proses
produksi. Contohnya, pada industri keramik, total kerugian (seluruh industri
keramik) akibat minimnya pasokan gas bisa mencapai Rp 50 miliar per hari.
Di sisi lain, distributor gas (seperti PT
PGN) juga mengeluhkan ketidakpastian gas dari sektor hulu. Berdasarkan data
PGN, selama lima tahun terakhir, rata- rata pasokan gas dari hulu hanya 73
persen. Hal ini akibat produksi yang tidak sesuai rencana dan adanya kebijakan
intervensi pemerintah terkait suplai gas.
Lima Solusi
Untuk menyelesaikan permasalahan ini,
setidaknya ada lima solusi yang segera memberikan dampak (quick wins) yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama,
pembangunan
tiga transmisi gas utama (transmisi Kalimantan- Jawa, Cirebon-Semarang, dan
Aceh-Belawan). Kedua, pemenuhan kapasitas FSRU Jawa Barat yang saat ini masih
mempunyai sisa kapasitas 300 MMSCFD. Ketiga, penyelesaian dua rencana
pembangunan FSRU (Jawa Tengah dan Lampung). Keempat, melakukan renegosiasi
kontrak dengan KKKS agar KKKS dapat memenuhi kebutuhan gas dalam negeri.
Kelima, mempercepat pelaksanaan rencana aksi pembangunan transmisi gas
sebagaimana diamanahkan Peraturan Menteri ESDM No 225/2010.
Permasalahan gas merupakan masalah nasional
yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Pemerintah, BP Migas, dan BPH
Migas selaku regulator harus berkoordinasi aktif agar permintaan-penawaran gas
dapat terjamin. Pelaku industri juga harus rela menyesuaikan kesediaan mereka
membayar (willingness to pay) dengan
harga saat ini dan jangan termanjakan oleh rezim harga gas murah yang selama
ini dinikmati. Dengan begitu, permasalahan gas diharapkan dapat segera tuntas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar