Sabtu, 14 Juli 2012

Dari Jakarta dengan Demokrasi


Dari Jakarta dengan Demokrasi
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 14 Juli 2012

Hasil sementara penghitungan cepat pemilihan gubernur Jakarta memperlihatkan dua kejutan demokrasi. Pertama, calon yang berasal dari kota lain, bahkan belum memiliki hak memilih di Jakarta, berhasil meraih suara terbanyak.

Petahana (incumbent) yang menguasai mesin birokrasi, didukung logistik dan partai paling kuat, harus menerima kenyataan tak berhasil meraih mayoritas suara rakyat. Padahal, petahana di banyak daerah biasanya tidak sulit meraih suara terbanyak. Jakarta kali ini merupakan kekecualian.

Demokrasi Jakarta

Dengan kedua calon yang menduduki posisi teratas dalam perolehan suara, sekaligus tampak dua realitas besar aspirasi warga Jakarta. Mayoritas warga menginginkan perubahan dengan sosok yang sudah terbukti berprestasi dalam memimpin kota. Sebagaimana warga Solo merasa di-wongke melalui kepemimpinannya, warga Jakarta juga ingin merasa diperlakukan sebagai manusia dalam berkota.

Perasaan seperti itu sebenarnya utang pembangunan yang hanya menjadikan manusia untuk kota, bukan kota untuk manusia. Memang para pemilih calon alternatif belum merasakan langsung prestasi calon dan dalam arti tertentu berjudi dengan masa depan Jakarta. Namun, jelas harapan besar diletakkan di atas pundak calon bersama pasangannya yang relatif berusia muda, dinamis, sama-sama pernah memimpin sebagai kepala daerah, dengan rekam jejak yang relatif baik.

Namun, realitas lain memperlihatkan bahwa banyak warga Jakarta puas dan masih ingin dipimpin gubernur lama yang memang sudah membukukan prestasi. Bagian dari masyarakat yang merasa diuntungkan lewat kebijakannya sudah pasti mendukung kelanjutan kepemimpinannya. Di situ ada kelompok pemodal yang meraup banyak keuntungan finansial karena sistem ekonomi Jakarta yang memihak pasar bebas dan kapitalisme.

Juga ada kelompok masyarakat yang diuntungkan karena ketidaktegasan dalam penegakan hukum. Politik penguasa Jakarta sejauh ini memihak primordialisme yang memiliki posisi kuat. Kekerasan demi kekerasan secara sistematis berlangsung, baik dengan kawalan aparat penegak hukum maupun karena reaksi lambat dari polisi.

Kelompok massa lain yang diuntungkan adalah pelanggar aturan. Di banyak jalan raya, pengguna jalan tambah berani melanggar aturan. Penegak hukum seolah- olah tak berdaya menghadapi pelanggaran yang dilakukan beramai-ramai. Terbentuklah paradigma anarki bahwa pelanggaran hukum aman dilakukan sejauh dalam bentuk massa. Organisasi massa (ormas) pun bermunculan mengatasnamakan demokrasi. Padahal, rakyat tak identik dengan massa. Kehendak rakyat tak identik dengan kepentingan massa.

Suara Rakyat

Kejutan kedua dari dinamika demokrasi Jakarta adalah perolehan suara bagi calon perseorangan mengungguli calon yang didukung partai besar yang memiliki sejarah panjang sebagai partai penguasa semasa Orde Baru. Calon dari partai juga berpengalaman sebagai gubernur di daerah lain. Sebagaimana calon dari petahana, mesin partai besar ternyata tak berhasil menaklukkan suara hati rakyat secara individual dan ingin keluar dari stereotip massa.

Pasangan calon independen berulang kali menegaskan dalam kampanyenya bahwa mereka hanya berutang kepada rakyat, bukan kepada partai. Dan, mereka lebih meraih simpati publik. Runtuh pula mitos bahwa partai besar, apalagi berkuasa, sebagai gerbong mewah menuju tampuk kekuasaan.

Warga Jakarta yang sudah melek politik melihat bagaimana demokrasi dan reformasi yang dimotori rakyat dalam kenyataannya dibajak elite partai yang mengatasnamakan rakyat. Banyak wakil rakyat dalam praktiknya tidak lebih dari kepanjangan tangan partai sehingga suara partai tak identik dengan suara rakyat. Lihatlah bagaimana semua fraksi partai di parlemen tak langsung mendukung anggaran untuk penambahan gedung baru yang dibutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi, padahal pemerintah yang pegang uang sudah mengalokasikan untuk kebutuhan itu.

Pilkada Jakarta akan memasuki putaran kedua. Petahana akan memakai segala cara dan mengerahkan segenap kekuatan untuk menang. Calon alternatif yang merasa di atas angin dapat melupakan aspirasi rakyat. Dilirik oleh berbagai kekuatan dan kepentingan, tak tertutup kemungkinan terjadi tawar-menawar politik dan pemberian konsesi di balik layar proses demokrasi, sebuah persekutuan gelap yang mengkhianati suara rakyat.

Meski dibiayai pemerintah dan donatur, pesta demokrasi pada hakikatnya pesta rakyat. Dari, oleh, dan untuk rakyat. Sukses pilkada seharusnya sukses rakyat, bukan sukses partai pendukung, bahkan bukan pula sukses calon pemimpin seberapa pun populernya. Sukses pilkada yang demokratis dan jujur adalah sukses pemerintah, sukses petahana yang dengan besar hati memfasilitasi berlangsungnya pemilu yang berkualitas, untuk Jakarta yang lebih baik.

Di tengah paceklik pemimpin berkualitas hasil pemilu demokratis, Pilkada Jakarta tiba-tiba memberikan secercah harapan untuk Indonesia baru, ke arah mana Indonesia seharusnya berjalan. Ketika Gubernur Fauzi Bowo ditanya seorang reporter televisi swasta akan berkoalisi dengan siapakah untuk menghadapi putaran kedua, jawabnya singkat, ”Koalisi dengan rakyat.”

Indonesia amat membutuhkan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota yang berkoalisi dengan rakyat, bersama-sama dengan tulus membangun untuk rakyat. Namun, koalisi untuk demokrasi, koalisi untuk rakyat, akan dikhianati syahwat kekuasaan. Penguasa lupa bahwa di atas segala-galanya mereka berutang kepada rakyat. Demokrasi gagal ketika pesta demokrasi hanya sebatas prosedur. Semoga pilkada untuk Jakarta yang lebih baik menjadi model pemilu presiden dan pilkada lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar