Sabtu, 14 Juli 2012

Politik Kita


Politik Kita
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 14 Juli 2012

Pilkada DKI Jakarta ibarat laboratorium menarik untuk mengukur apa yang bakal terjadi pada Pemilu-Pilpres 2014. Walau lima calon gubernur melaporkan kisruh DPT kepada pihak berwenang, proses dan hasil pemilihan relatif mulus.

Harap maklum, Jakarta ”Indonesia kecil”. Hasil apa pun bisa terjadi dalam pemilihan di Jakarta, termasuk kekalahan bagi partai yang berkuasa.

Itulah yang dialami Golkar tahun 1977. Penurunan dukungan terhadap Golkar disebabkan korupsi Pertamina dan penguasa yang makin mencengkeram sehingga memicu pecahnya tragedi Malari 1974 dan gerakan mahasiswa 1977.

Belum diketahui persis berapa persen pemilih yang menggunakan haknya dalam pilkada kali ini. Namun, jika jumlahnya di atas 50 persen, itu sudah cukup ideal mengingat apatisme terhadap partai-partai politik belakangan ini.

Animo pemilih, meski masih bersifat fragmentatif dan sporadis dan tidak perlu diterjemahkan ke dalam angka, harus diakui cukup besar. Semoga saja animo ini terus meningkat sampai tahun 2014.

Kita pemilih perlu optimistis karena Pemilu-Pilpres 2014 salah satu pintu masuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai-partai politik mestinya membaca lebih jeli lagi aspirasi akhir-akhir ini.

Aspirasi pertama, rakyat makin muak terhadap korupsi—itu sebabnya terjadi perlawanan terhadap partai berkuasa yang mendukung petahana. Aspirasi kedua, kelima cagub—kecuali petahana—menawarkan ”ideologi perubahan” untuk menembus kebuntuan masalah-masalah Ibu Kota.

”Ideologi perubahan” rupanya masih berlaku di sebagian negara demokrasi besar, termasuk Indonesia. Inilah yang disebut dengan ”faktor Obama” karena dialah yang memulainya tahun 2008.

Sukar menduga, pilihan warga Jakarta pada pilgub kali ini lebih karena tokoh daripada partainya atau sebaliknya? Inilah pekerjaan rumah terbesar bagi para capres dan partai-partai politik kita.

Dalam pemilihan, petahana selalu berada dalam posisi defensif. Pemilihan menjadi vote of confidence atau referendum terhadap apa yang dilakukan selama petahana menjabat.
Petahana mesti bekerja ekstra keras untuk meyakinkan kembali pemilih dia layak dipercayai kembali dibandingkan para penantangnya. Itu pelajaran berharga yang didapat Joko Widodo ketika dengan mudah terpilih lagi sebagai Wali Kota Solo.

Hal paling menonjol dalam Pilkada DKI adalah keterpilihan atau elektabilitas keenam cagub. Mereka orang-orang yang berpengalaman politik panjang dan kiranya layak memimpin Jakarta.

Gubernur Fauzi Bowo sudah pasti, begitu juga dengan Gubernur Alex Noerdin dan Wali Kota Joko Widodo. Hidayat Nur Wahid, Faisal Basri, dan Hendardji Soepandji telah malang melintang berpolitik atau memimpin dalam skala berbeda-beda.

Artinya, tidak ada cagub yang ujug-ujug muncul begitu saja mengandalkan penampilan, citra, dan modal semata-mata. Mereka berhasil membangun karisma dan karya nyata.
Fauzi Bowo jelas ahli tata kota, Alex Noerdin berhasil mengembangkan Sumatera Selatan, dan siapa yang tak kenal Joko Widodo? Faisal Basri tokoh reformis sejak 1998 yang turut membidani kelahiran Majelis Amanat Rakyat dan PAN, Hendardji mayor jenderal yang amat kenal Jakarta.

Catatan penting lainnya, dua cagub independen relatif berhasil meyakinkan sebagian warga Jakarta untuk memilih mereka. Dengan jumlah pemilih cuma hampir tujuh juta, dengan golput yang cukup besar, itu bukan tugas mudah.

Ini prospek menarik bagi calon-calon perseorangan/independen untuk memenangi pilkada. Contoh menarik, Yonas Salean sebagai calon perseorangan terpilih sebagai Wali Kota Kupang.

Memang dilema: membolehkan calon perseorangan mengikuti pilkada karena mereka tidak punya ideologi, partai dan strukturnya, AD/ART, anggota tetap, dan sebagainya. Namun, tak mungkin melarangnya berhubung ancaman kartel politik yang sarat transaksi politik dan uang.

Apa boleh buat, keputusan Mahkamah Agung belum lama ini menolak uji materi yang membolehkan capres perseorangan berlaga dalam pilpres. Padahal, dukungan jutaan orang lewat petisi tidak kalah kredibilitasnya dibandingkan dukungan DPP, DPD, DPC, sampai anak ranting partai.

Ini lagi yang menjadi bukti, sosok seperti Faisal Basri bisa lebih dipercayai ketimbang calon partai seperti Alex Noerdin—kalau hasil akhir Pilkada DKI tidak berbeda dengan hasil hitung cepat. Partai Golkar pasti menyadari debacle ini.

Pelajaran menarik bagi mereka yang berminat menjadi capres tahun 2014: lebih sukar membangun karisma dalam waktu dua tahun jika belum punya rekam jejak memadai pada masa lalu. Inilah kiranya selera mayoritas pemilih dewasa ini.

Oleh sebab itu, rasanya kurang etis jika kita elite negara ini hanya berkutat pada kriteria-kriteria seperti ”wajah lama vs tokoh baru”, ”tua vs muda”. Pada akhirnya yang memilih adalah mayoritas rakyat yang tinggal di pedesaan, yang kurang peduli dengan debat kusir soal usia, jenis kelamin, suku, agama, dan sebagainya.

Menurut saya, situasi politik dewasa ini sudah mulai mencair berkat pilkada di Jakarta ini. Telah terjadi ”pertandingan” yang berjalan relatif fair, yang diikuti enam kontestan yang membuka pilihan yang beraneka bagi kita, yang membangkitkan harapan baru, dan berlangsung di jantung negara.

Terbukti lagi, politik adalah panglima. Anda pembaca yang berkepentingan dan berperanan jadi penentu bagi masa depan politik kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar