Sabtu, 14 Juli 2012

Keberpihakan, Bukan Nasionalisasi


Keberpihakan, Bukan Nasionalisasi
Achmad Zen Umar Purba ; Dosen Pascasarjana FH-UI
KOMPAS, 14 Juli 2012

Akhir-akhir ini terasa ada suasana baru dalam kebijakan pengelolaan sumber daya mineral. Misalnya yang berkaitan dengan masalah divestasi saham perusahaan tambang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012.

PP ini mewajibkan perusahaan tambang penanaman modal asing, dalam tempo 10 tahun, harus mengurangi porsi sahamnya sehingga mitra nasionalnya memiliki 51 persen. PP ini merupakan revisi PP tahun 2010 dan satu dari beberapa isu lain yang menunjukkan keberpihakan pemerintah yang sudah lama dinantikan orang itu.

Siapa sasaran PP ini? Perusahaan pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus, nama izin pertambangan berdasarkan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Jadi, aturan PP ini tidak akan dikenakan bagi perusahaan pemegang kontrak karya (KK). Entah kalau nanti KK-nya habis dan perusahaan itu ingin menyambung dengan sistem perizinan.

Secara hukum pun jelas. Suatu PP tak bisa mengalahkan KK sebab kontrak adalah UU bagi para penanda tangannya. Bahwa pemerintah mengajak mitranya untuk melakukan negosiasi ulang, itu soal lain: mengupayakan kesepakatan bersama. Semangat negosiasi ulang sudah digariskan dalam UU Minerba.

Namun, beberapa pihak tetap menyayangkan keberadaan PP itu. Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Bob Kamandanu mengatakan, PP tersebut tidak adil bagi investor asing. Menurut dia, aturan ini bisa memengaruhi investasi pertambangan di Indonesia.

Dr Simon Butt dan Prof Luke Nottage, dua dosen dari University of Sydney, mengingatkan mustahaknya sektor pertambangan bagi Indonesia. Selain menyumbang 17 persen terhadap produk domestik bruto, porsinya pun lumayan terhadap investasi asing langsung, yakni 3,6 miliar dollar AS dari 20 miliar dollar AS pada 2011. Artinya, kalau investor terganggu oleh PP ini, yang rugi Indonesia juga (East Asia Forum, 13 Mei 2012).
Betapapun, seperti ditegaskan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, pemerintah menjamin divestasi ”bukan nasionalisasi”.

Deli

Belakangan ini orang kerap menyebut nasionalisasi, terutama setelah melihat Bolivia, Venezuela, dan terakhir Argentina, yang oleh Robert Zoellick sewaktu masih Presiden Bank Dunia dikatakan sebagai kesalahan (mistake). Dari sekian nasionalisasi itu, ada pula yang bermuara ke arbitrase internasional.

Negara-negara Amerika Latin tidak baru dalam hal nasionalisasi. Bahkan, setelah Meksiko menasionalisasi perusahaan minyak AS tahun 1938, lahir satu ungkapan, yang kemudian diadopsi ke dalam hukum internasional. Menanggapi masalah ini, Menlu AS Cordell Hull menyatakan, ” ... no government is entitled to expropriate private property..., without provision for prompt, adequate, and effective compensation (tidak ada negara yang berhak mengambil alih hak milik privat..., tanpa ketentuan memberikan kompensasi yang cepat, seimbang, dan efektif)”. Dewasa ini dunia sudah sepakat, nasionalisasi adalah hak negara berdaulat asal diikuti dengan kompensasi. Namun, belum ada kesepakatan perihal cara pembayaran yang menggunakan rumus PAE itu.

Nasionalisasi terjadi di mana-mana setelah Perang Dunia II. Indonesia kebetulan termasuk yang pionir dalam hal nasionalisasi. Satu di antaranya berkaitan dengan nasionalisasi perkebunan tembakau Deli, perusahaan Belanda di Medan, yang sampai diadili di pengadilan Bremen.

Rupanya eks pemilik perusahaan itu menggugat pada saat transaksi di kota perdagangan tembakau dunia tersebut. Di samping menyatakan bahwa nasionalisasi adalah tindakan satu negara berdaulat yang tak boleh diintervensi siapa pun (doktrin Act of State), pengadilan menegaskan, Indonesia yang baru merdeka—yang notabene di bawah kolonisasi pihak Belanda juga—pasti tak bisa memenuhi persyaratan kompensasi PAE.

Enak Didengar

Tindakan nasionalisasi pihak Indonesia dan putusan pengadilan tembakau Bremen menjadi inspirasi bagi negara-negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia II untuk bertindak sama. Mereka sadar kemerdekaan politik harus diikuti dengan pemulihan hak ekonomi atas unit-unit usaha yang dikuasai oleh pihak negara penjajah. Kini, lebih dari setengah abad kemudian, tentu saja warna dunia sudah berubah. Peranan hubungan internasional amat diperlukan. Jika terjadi nasionalisasi, sedikit banyak akan terjadi ketegangan. Akan tetapi, pada akhirnya kepentingan nasional mesti yang dominan.
Itulah sebabnya aspek nasionalisasi dalam UU Penanaman Modal (UUPM) ditulis dalam rumusan yang enak didengar. ”Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal”, demikian bunyi Pasal 7(1) UUPM, ”kecuali dengan undang-undang”. Jadi, secara umum tidak akan ada nasionalisasi. Namun, ada reservasi hak negara berdaulat untuk menasionalisasi asalkan dengan ”undang-undang”, yang merefleksikan keinginan segenap rakyat. Juga syarat mutlak kedua: mesti ada kompensasi. Berapa dan bagaimana? Bergantung pada harga pasar. Kalau tidak ada kesepakatan? Bawa ke arbitrase. Begitu aturan selanjutnya.

Indonesia telah dilecut oleh keinginan publik agar ada supremasi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya mineral tanpa merusak tatanan hukum yang sudah kita buat dan hormati. PP tentang divestasi merespons kegalauan publik. Sementara itu, alasan untuk mengajak negosiasi ulang adalah sesuatu yang patut. Apalagi telah terjadi banyak perubahan dari masa kontrak itu pertama kali diteken. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar