Keseriusan
Memberantas Korupsi
GBP Suka Arjawa, STAF
PENGAJAR FISIP UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
Sumber
: SUARA KARYA, 1
Februari 2012
Tertangkapnya
Nunun Nurbaeti, tak ayal mampu memberikan semangat baru bagi pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Masyarakat pun makin menaruh harapan kepada
pimpinan KPK, yang diketuai Abraham Samad. Lembaga KPK sempat dinilai minor
karena dianggap belum mampu bertugas maksimal, dan bahkan ada yang menyebutnya
ketakutan. Ada dua realitas yang harus dilihat setelah tertangkapnya Nunun di
Thailand, beberapa waktu lalu.
Pertama,
bahwa Nunun adalah istri mantan pembesar kepolisian di Indonesia. Predikat ini
sebaiknya disebut karena salah satu topik dan dugaan tentang susahnya
memberantas korupsi di Indonesia adalah 'menempelnya' nama-nama besar dalam
kasus korupsi.
Topik
sosial paling besar yang membuat masyarakat apatis kepada kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan korupsi besar adalah keterlibatan orang-orang besar dalam
kasus seperti itu. Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi (mulai yang paling
besar sampai dengan yang paling kecil), berbenturan dengan budaya sungkan yang
demikian tinggi pada masyarakat Indonesia.
Budaya
ewuh pakewuh demikian, juga menghinggapi para petugas yang hendak melakukan
penyelidikan. Padahal, kalau ditelusuri lebih jauh, budaya sungkan itu
sesungguhnya hanya tertuju kepada objek yang mempunyai karakter positif. Sifat
ini lebih tertuju kepada sikap mau berkorban, menolong, memberi inspirasi, yang
karena sikap itu membuat mereka berprestasi di mata masyarakat. Jadi, budaya
sungkan itu seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang kedudukannya
memberikan dorongan positif kepada masyarakat. Seorang pemimpin disungkani
karena pekerjaannya menolong, membantu dan memberi inspirasi kepada bawahan.
Karena
itu, rasa ewuh pakewuh tidak mesti ditujukan kepada mereka yang telah
memberikan sikap yang memberi kesan negatif dan merugikan secara sosial.
Koruptor jelas memberikan sumbangan negatif secara sosial, di negara mana pun.
Dalam hal perkembangan Indonesia kontemporer, koruptor justru mempunyai sikap
menjengkelkan karena di tengah gembar-gembornya pemberantasan korupsi, justru
semakin banyak terjadi korupsi.
Petugas
penegak keadilan di Indonesia seringkali terjebak ke dalam benturan kultural ewuh-
pakewuh dengan tugas kerja, semata-mata karena menyamaratakan sosok seseorang.
Dalam konteks demikian, sosok Nunun Nurbaeti dalam waktu yang relatif lama
telah memberikan citra tidak baik secara sosial. Ia misalnya diberitakan ikut
berperan besar dalam penyuapan pemilihan deputi senior Gubernur Bank Indonesia.
Kemudian ia diberitakan secara cerdik 'menyembunyikan' diri di luar negeri.
Jadi, meski belum terbukti penyuapannya, akan tetapi tuduhan itu telah membuat
citranya menjadi negatif.
Karena
itu, petugas penegak keadilan di Indonesia, dalam hal ini KPK, tidak perlu
ragu-ragu untuk menyidik Nunun meski predikatnya adalah sebagai istri seorang
mantan petinggi kepolisian di Indonesia. Langkah tegas ini amat penting demi
memulihkan citra penegak keadilan Indonesia. Selama berbulan-bi;an perburuan
Nunun, pendapat yang muncul di masyarakat bahwa Nunun mendapatkan beking dari
orang-orang besar sehingga mampu berpindah-pindah dari satu negara ke negara
lain, semisal dari Singapura ke Thailand.
Lingkaran
yang paling mengkhawatirkan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
terletak pada hubungan antara budaya ewuh-pakewuh dan perlindungan dari
orang-orang besar tersebut. Lingkaran itulah yang mestinya harus diputus oleh
KPK kali ini. Tertangkapnya dan penyidikan Nunun secara adil dan transparan
akan mampu secara perlahan-lahan meningkatkan kepercayaan diri publik terhadap
upaya pemberantasan korupsi.
Kedua,
dalam hal pemberantasan korupsi, Nazaruddin dan Angelia Sondakh juga kini
sedang mendapat sorotan dan sedang 'didalami' oleh pihak yang berwenang. Dua
orang ini kebetulan berasal dari komunitas yang sama, yaitu politisi. Ranah
politis yang menjadi background kedua orang itu akan memberikan sumbangan
positif bagi masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi.
Fenomena
ini akan membangun citra kesungguhan pemerintah dalam rangka pemberantasan
korupsi. Tertangkapnya Nunun, dengan demikian, menjadikan proses itu
berkelanjutan. Artinya, baik politisi, ekonomi, istri pejabat maupun orang
biasa, akan tetap mendapat perlakukan yang sama. Tindakan itu akan terus
dilakukan pemerintah. Pada titik proses yang kontinyu inilah sesungguhnya
manfaat dari pesan pemberantasan korupsi itu.
Dari
sisi perencanaan sosial, kontinuitas ini menjadi perhatian penting. Kontinuitas
itu memberi pesan bahwa sistem dan segala komponen pemerintah da-lam menindak
kasus korupsi telah siap. Tanpa kesiapan (dan semangat), belum tentu tindakan
untuk menangkap Nunun di Thailand, menangani kasus Nazaruddin dan Angelia di
Jakarta akan bisa berjalan sesuai harapan.
Pemberantasan
korupsi di Indonesia harus mempertimbangkan perencanaan sosial yang matang
karena perilaku koruptif itu sudah membudaya. Korupsi itu telah menurun,
dipelajari dan karena itu berlangsung sistematis terus-menerus. Justru karena
itu, perencanaan harus dilakukan secara matang karena pengawasan dan tindakan
kepada mereka yang korupsi harus dilakukan secara terus-menerus, melibatkan
para ahli dari segala macam sisi.
Kontinuitas
penanganan inilah yang nantinya diharapkan mampu menyaingi sikap koruptif yang
membudaya. Sebaliknya pembudayaan tindakan korupsi akan menurun dan selanjutnya
hilang dengan sendirinya. Mudah-mudahan penanganan kasus yang diduga melibatkan
Nunun, tidak saja mampu memberikan kepercayaan diri kepada masyarakat Indonesia
akan itikad baik pemerintah. Tetapi, juga membuat semangat berbagai pihak
meningkat untuk memberantas korupsi dan tidak melakukan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar