HAM
bagi Negara Muslim
Dinna Wisnu, DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG DIPLOMASI,
UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber
: SINDO, 22 Februari 2012
Pekan
ini Indonesia menjadi tuan rumah bagi pertemuan 18 komisioner Komisi Hak Asasi
Manusia Independen dan Permanen dari negara-negara anggota Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI).
Di
Jakarta, dengan fasilitas dari Kementerian Luar Negeri RI, mereka berdialog
dengan para diplomat dan masyarakat sipil Indonesia. Keaktifan Pemerintah
Indonesia dalam menjembatani pengembangan advokasi hak asasi manusia (HAM) di
OKI untuk dekat dengan masyarakat sipil di Indonesia patut diacungi jempol.
Indonesia bahkan memilih seorang perempuan dan aktivis masyarakat sipil untuk
menjadi komisioner di OKI,yakni Dr Siti Ruhaini. Berdasarkan dialog pihakpihak
yang memantau perkembangan OKI dan perlindungan HAM, termasuk Human Rights Watch Group, Komisi HAM OKI
ini memang masih perlu dikawal dan didukung.
Meskipun mereka punya rencana aksi untuk 10 tahun ke depan,lembaga ini belum bisa menerima pelaporan pelanggaran HAM.Mandat komisi ini terbatas sebagai lembaga konsultasi dan pelaksana penelitian kebijakan. Karena itu kesigapan Pemerintah Indonesia dalam menanggapi kebutuhan Komisi HAM OKI dapat memberi nilai tambah lebih bagi daya tawar Indonesia dalam pergaulan internasional. Pertama, di antara negaranegara Islam ini belum ada instrumen pendukung kerja Komisi HAM. Meskipun posisi sekretariat sedang diperebutkan Arab Saudi dan Iran, kita tahu, tugas para komisioner tidak bisa hanya didukung kantor yang memadai.
Dukungan masyarakat sipil, pusat informasi, dan suasana kondusif bagi pertukaran pikiran yang nyaman sangatlah menentukan kinerja komisi ini. Citra Indonesia sebagai negara demokratis dalam pergaulan negara-negara berpenduduk muslim merupakan aset berharga untuk mendukung kerja Komisi HAM OKI. Akan sangat baik bila Indonesia dapat mengawal agar korupsi informasi itu tidak sampai menghambat kerja Komisi HAM OKI.Posisi sekretariat di negara yang relatif terbuka terhadap peranan masyarakat sipil akan sangat membantu. Langkah ini akan menambah kepercayaan dunia terhadap peranan positif Indonesia di dalam OKI.
Kedua, sebagaimana tertuang dalam 10 Program Aksi OKI, negara-negara OKI sebenarnya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang toleran, moderat, dan ingin menjauhkan warga muslim dari kegiatan berbasis sudut pandang yang sempit dan ekstrem.Fanatisme jelas-jelas ditolak dalam kesepakatan antarnegara OKI.Yang ingin dikedepankan adalah nilai-nilai luhur tentang Islam serta dialog antarperadaban yang berbeda sudut pandang. Kalaupun ada perbedaan,mereka menggarisbawahi upaya mencari persamaan yang mendukung rasa saling hormat dan percaya.
Kesepakatan antarnegara OKI tersebut sesungguhnya sejalan dengan sudut pandang Indonesia selama ini.Ketika profil Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia justru mengedepankan kesejukan, dialog,dan diplomasi. Kenyataan bahwa negaranegara OKI menekankan pada hal yang sama, setidaknya dalam dokumen resmi mereka, menunjukkan perjuangan Indonesia di antara mereka sesungguhnya membuahkan hasil juga.Bila Indonesia dapat terus menularkan sudut pandang yang sejuk ini,bukan mustahil posisi tawar Indonesia di antara negara OKI dan negaranegara lain di dunia akan meningkat pula.
Ketiga, dorongan untuk menekankan wajah Islam yang cinta damai dan dialog sangat perlu ditopang oleh Komisi HAM. Terbentuknya Komisi HAM di Astana, Kazakstan, pada akhir Juni 2011,yang anggotanya terdiri atas 60% diplomat dan 40% akademisi serta aktivis masyarakat sipil,masih memerlukan dukungan terusmenerus dari negara yang lebih berpengalaman. Kritik bahwa Indonesia pun masihperluberbenahdiridalam hal perlindungan HAM tidak perlumenyurutkanlangkahkita untuk membantu negara lain yang sedang bergulat akan pemahaman pelaksanaan perlindungan HAM.
Sampai saat ini, Komnas HAM,Komnas Perempuan, dan Komnas Anak di Indonesiasudahberadadalamtahapan yang lebih maju karena sudah melayani pengaduan masya-rakat dan melakukan advokasi aktif yang relatif sistematis.Pengalaman membangun mekanisme kerja,berjejaring sosial,dan jatuh bangun demi meyakinkan pemerintah sangatlah berharga untuk dibagikan. Fakta bahwa OKI membuka diri untuk mendorong perempuan dan masyarakat sipil ikut serta dalam Komisi HAM perlu dihargai sebagai modal dialog yang lebih intens dengan pejabat pemerintahan negara-negara OKI dan dengan anggota masyarakat.
Mandat riset dan konsultasi dapat dioptimalkan bila ada terobosan berani untuk mengajak masyarakat sipil memperkuat Komisi HAM OKI. Tercatat ada 4 negara yang punya komisioner perempuan di OKI,yakni Indonesia,Malaysia, Sudan,dan Afghanistan.Ada setidaknya 7 negara yang menempatkan penggiat masyarakat sipil dan akademisi dalam Komisi HAM OKI,yakni Indonesia, Malaysia,Turki,Arab Saudi, Maroko,Palestina,dan Uganda. Keempat,perjuangan masyarakat sipil di Indonesia perlu diinformasikan juga kepada masyarakat di negara-negara OKI.
Perlindungan terhadap HAM tidak akan terjadi secara instan. Ia membutuhkan penjiwaan terhadap solidaritas terhadap masyarakat yang kebetulan berada dalam posisi minoritas, miskin, tidak berpendidikan ataupun berada di jalur sesat. Jika ditangani dengan baik, pembahasan soal HAM di OKI berpotensi mempererat hubungan dan meningkatkan daya tawar Indonesia di mata negara OKI.
Kebuntuan yang bersumber dari tafsir ajaran agama dan kesulitan mencari cara untuk meyakinkan kelompok agama yang ekstrem untuk mau bekerja sama demi HAM dapat dicarikan solusinya bila para komisioner HAM OKI ditarik dalam kerangka dialog yang menyegarkan dan merangsang intelektualitas. Artinya, di mata kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia, justru tak ada alasan untuk bermain lagi di tafsir agama.Kenyataannya komisioner di negara- negara Islam lain pun sepakat dengan satu tafsir.
Selain itu, jejaring yang baik dengan para diplomat dan aktivis HAM OKI dapat menjadi pintu masuk bagi perbaikan kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara- negara Timur Tengah.Tentu kita tidak pernah tahu kapan titik balik dukungan bagi isu HAM akan terwujud. Ini bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam satu malam. Dalam hal ini konsistensi dalam memberikan perhatian pada HAM perlu terus didorong. Semoga komitmen internasional melalui OKI ini akan mendorong pula penegakan dan perlindungan HAM yang lebih baik di Tanah Air. ●
Meskipun mereka punya rencana aksi untuk 10 tahun ke depan,lembaga ini belum bisa menerima pelaporan pelanggaran HAM.Mandat komisi ini terbatas sebagai lembaga konsultasi dan pelaksana penelitian kebijakan. Karena itu kesigapan Pemerintah Indonesia dalam menanggapi kebutuhan Komisi HAM OKI dapat memberi nilai tambah lebih bagi daya tawar Indonesia dalam pergaulan internasional. Pertama, di antara negaranegara Islam ini belum ada instrumen pendukung kerja Komisi HAM. Meskipun posisi sekretariat sedang diperebutkan Arab Saudi dan Iran, kita tahu, tugas para komisioner tidak bisa hanya didukung kantor yang memadai.
Dukungan masyarakat sipil, pusat informasi, dan suasana kondusif bagi pertukaran pikiran yang nyaman sangatlah menentukan kinerja komisi ini. Citra Indonesia sebagai negara demokratis dalam pergaulan negara-negara berpenduduk muslim merupakan aset berharga untuk mendukung kerja Komisi HAM OKI. Akan sangat baik bila Indonesia dapat mengawal agar korupsi informasi itu tidak sampai menghambat kerja Komisi HAM OKI.Posisi sekretariat di negara yang relatif terbuka terhadap peranan masyarakat sipil akan sangat membantu. Langkah ini akan menambah kepercayaan dunia terhadap peranan positif Indonesia di dalam OKI.
Kedua, sebagaimana tertuang dalam 10 Program Aksi OKI, negara-negara OKI sebenarnya ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang toleran, moderat, dan ingin menjauhkan warga muslim dari kegiatan berbasis sudut pandang yang sempit dan ekstrem.Fanatisme jelas-jelas ditolak dalam kesepakatan antarnegara OKI.Yang ingin dikedepankan adalah nilai-nilai luhur tentang Islam serta dialog antarperadaban yang berbeda sudut pandang. Kalaupun ada perbedaan,mereka menggarisbawahi upaya mencari persamaan yang mendukung rasa saling hormat dan percaya.
Kesepakatan antarnegara OKI tersebut sesungguhnya sejalan dengan sudut pandang Indonesia selama ini.Ketika profil Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia justru mengedepankan kesejukan, dialog,dan diplomasi. Kenyataan bahwa negaranegara OKI menekankan pada hal yang sama, setidaknya dalam dokumen resmi mereka, menunjukkan perjuangan Indonesia di antara mereka sesungguhnya membuahkan hasil juga.Bila Indonesia dapat terus menularkan sudut pandang yang sejuk ini,bukan mustahil posisi tawar Indonesia di antara negara OKI dan negaranegara lain di dunia akan meningkat pula.
Ketiga, dorongan untuk menekankan wajah Islam yang cinta damai dan dialog sangat perlu ditopang oleh Komisi HAM. Terbentuknya Komisi HAM di Astana, Kazakstan, pada akhir Juni 2011,yang anggotanya terdiri atas 60% diplomat dan 40% akademisi serta aktivis masyarakat sipil,masih memerlukan dukungan terusmenerus dari negara yang lebih berpengalaman. Kritik bahwa Indonesia pun masihperluberbenahdiridalam hal perlindungan HAM tidak perlumenyurutkanlangkahkita untuk membantu negara lain yang sedang bergulat akan pemahaman pelaksanaan perlindungan HAM.
Sampai saat ini, Komnas HAM,Komnas Perempuan, dan Komnas Anak di Indonesiasudahberadadalamtahapan yang lebih maju karena sudah melayani pengaduan masya-rakat dan melakukan advokasi aktif yang relatif sistematis.Pengalaman membangun mekanisme kerja,berjejaring sosial,dan jatuh bangun demi meyakinkan pemerintah sangatlah berharga untuk dibagikan. Fakta bahwa OKI membuka diri untuk mendorong perempuan dan masyarakat sipil ikut serta dalam Komisi HAM perlu dihargai sebagai modal dialog yang lebih intens dengan pejabat pemerintahan negara-negara OKI dan dengan anggota masyarakat.
Mandat riset dan konsultasi dapat dioptimalkan bila ada terobosan berani untuk mengajak masyarakat sipil memperkuat Komisi HAM OKI. Tercatat ada 4 negara yang punya komisioner perempuan di OKI,yakni Indonesia,Malaysia, Sudan,dan Afghanistan.Ada setidaknya 7 negara yang menempatkan penggiat masyarakat sipil dan akademisi dalam Komisi HAM OKI,yakni Indonesia, Malaysia,Turki,Arab Saudi, Maroko,Palestina,dan Uganda. Keempat,perjuangan masyarakat sipil di Indonesia perlu diinformasikan juga kepada masyarakat di negara-negara OKI.
Perlindungan terhadap HAM tidak akan terjadi secara instan. Ia membutuhkan penjiwaan terhadap solidaritas terhadap masyarakat yang kebetulan berada dalam posisi minoritas, miskin, tidak berpendidikan ataupun berada di jalur sesat. Jika ditangani dengan baik, pembahasan soal HAM di OKI berpotensi mempererat hubungan dan meningkatkan daya tawar Indonesia di mata negara OKI.
Kebuntuan yang bersumber dari tafsir ajaran agama dan kesulitan mencari cara untuk meyakinkan kelompok agama yang ekstrem untuk mau bekerja sama demi HAM dapat dicarikan solusinya bila para komisioner HAM OKI ditarik dalam kerangka dialog yang menyegarkan dan merangsang intelektualitas. Artinya, di mata kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia, justru tak ada alasan untuk bermain lagi di tafsir agama.Kenyataannya komisioner di negara- negara Islam lain pun sepakat dengan satu tafsir.
Selain itu, jejaring yang baik dengan para diplomat dan aktivis HAM OKI dapat menjadi pintu masuk bagi perbaikan kerja sama ekonomi Indonesia dengan negara- negara Timur Tengah.Tentu kita tidak pernah tahu kapan titik balik dukungan bagi isu HAM akan terwujud. Ini bukan pekerjaan yang bisa selesai dalam satu malam. Dalam hal ini konsistensi dalam memberikan perhatian pada HAM perlu terus didorong. Semoga komitmen internasional melalui OKI ini akan mendorong pula penegakan dan perlindungan HAM yang lebih baik di Tanah Air. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar