Festival
Korupsi
Indra Tranggono, PEMERHATI
KEBUDAYAAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 1
Februari 2012
Di negeri ini, korupsi berlangsung seirama
tarikan napas dan detak jantung. Setiap detik, orang yang berkuasa dan
bermental korup selalu menetaskan ide-ide korupsi melalui berbagai cara untuk
menggarong uang negara.
Korupsi yang berlangsung secara rutin,
konstan, intensif, canggih, sistemis, massal dan otomatis pun menjelma atmosfer
kehidupan yang determinan. Koruptor pun sukses mengangkangi kedaulatan
negara-bangsa.
Simaklah ramalan Joyoboyo, pujangga Jawa dan
raja Kediri yang berkuasa pada tahun 1135-1157. Dia bilang: maling wani
nantang sing duwe omah (pencuri berani menantang pemilik rumah/pemilik
kedaulatan rakyat), begal pada ndhugal (penyamun/pencoleng semakin
kurang ajar/merajalela), rampok padha keplok-keplok (perampok bertepuk
tangan, berpesta merayakan kemenangannya).
Kini, korupsi berlangsung seperti festival:
dirayakan dan dielu-elukan para penguasa korup lintas lembaga penyelenggara
negara dan lintas gender, agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Uang
negara yang dirampok mencapai triliunan yang jika ditotal mungkin melebihi
besarnya APBN.
Besarnya dukungan uang dan kekuasaan
menjadikan festival korupsi itu “legal”. Para penegak hukum gemetaran dan ciut
nyali untuk melibas festival itu. Uang ternyata lebih berkuasa dibanding hukum.
Fee ternyata lebih merangsang dibanding amanat konstitusi.
Memang masih ada pendekar-pendekar keadilan
yang besih dan masih punya nyali, namun jumlah mereka terlalu kecil untuk
melawan genderuwo-genderuwo (monster) koruptor yang digdaya dan sakti
mandraguna: tahan terhadap setiap gempuran pasal-pasal dan ayat-ayat
undang-undang hukum pidana.
Festival korupsi berlangsung secara sistemis
dan canggih. Di dalamnya ada pemikir yang bertugas merumuskan KAKK (kerangka
acuan kerja koruptor) meliputi dasar pemikiran, maksud/tujuan, juklak-juknis,
target kegiatan, SDK (sumber daya koruptor) dan kiat untuk mengelabuhi hukum.
Ada penyandang dana operasional. Ada tim
penyedia “serum” atau ”vaksin” kebal hukum. Ada tim rekrutmen. Ada tim
operasional penggarongan yang profesional dan punya ketegaan serta kebebalan
hati nurani di atas rata-rata; juga ada tim pelobi yang bertugas meminta restu
bos besar/godfather.
Apel dan Jambu Mete
Festival korupsi berlangsung atas beberapa
prinsip. Pertama, filosofi korupsi. Seluruh pemangku kepentingan festival
korupsi telah sepakat bahwa korupsi bukan kejahatan, melainkan keterampilan dan
kecerdasan mengakali uang anggaran negara.
Kata mengakali diidentikkan dengan
kreativitas. Ini penting untuk melenyapkan rasa bersalah/berdosa, karena
koruptor hanya taat kepada keuangan yang maha kuasa.
Kedua, harus digunakan simbol atau sandi,
dalam operasi korupsi demi kelancaran dan keselamatan. Dilarang menyebut
langsung nama pelaku, lembaga, target dan modus operandi.
Ketiga, bagi hasil uang korupsi harus berasas
keadilan yang sesuai tingkat tanggung jawab dan risiko pekerjaan. Karena itu
digunakan gradasi pembagian. “Apel washington”, “apel malang” untuk godfather
dan ketua agung. “Semangka thailand” dan “jeruk china” untuk para mafioso,
dan “jambu mete” untuk para centeng.
Keempat, soal teknis penyolongan yang harus
selalu ditingkatkan dan disempurnakan, sehingga praktik korupsi berlangsung
secara smooth, indah, elegan, halus dan tak tersentuh hukum. Jika terpaksa tak bisa menghindar dari
terkaman penegak hukum, pihak yang dikorbankan hanyalah koruptor-koruptor kelas
nyamuk. Hukum jangan sampai menyentuh musang, ular dan buaya (level menengah)
dan singa atau harimau (kelas atas).
Kelima, soal korupsi yang progresif.
Perolehan korupsi harus selalu meningkat. Jangan merasa cukup hanya merampok
uang ratusan juta, usahakan bisa merampok uang miliaran, bahkan triliunan.
Prinsipnya: semakin rakus, semakin baik dan mulia.
Keenam, soal regenerasi. Kaum koruptor harus
melakukan penyegaran atas anggotanya. Alasannya, di tangan koruptor-koruptor
muda itu jagat korupsi akan semakin kreatif, progresif, prospektif, dan
produktif. Untuk itu perlu dilakukan transfer pengetahuan dan keterampilan
korupsi dari para senior ke junior baik secara teoretis maupun praksis.
Ketujuh, perlu ada dana khusus untuk (a)
melemahkan undang-undang demi memperluas ruang gerak koruptor dan (b) membiayai
kegiatan sosial dan kemanusiaan guna mendongkrak citra: koruptor berbudi luhur.
Pekerjaan berat mengadang para penegak hukum,
terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Persoalan yang mereka hadapi bukan
hanya kejahatan korupsi, melainkan “kultur” dan rezim korupsi yang penuh
tentakel.
Penegakan hukum yang tegas/keras dan hukuman
yang sangat berat (idealnya koruptor dihukum mati), memang sangat dibutuhkan. Namun,
yang juga penting adalah menghancurkan “kultur” dan rezim korupsi baik melalui
jalan hukum, politik maupun budaya.
Dibutuhkan peran berbagai institusi sosial,
kultural, politik dan agama untuk melibas rezim korupsi yang telah “membunuh”
bangsa, memangsa hak-hak rakyat, dan mengantarkan negeri ini menjadi negara
gagal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar