Pers
Mengancam DPR?
I Dian Kurnia, MAHASISWA SEJARAH UIN SUNAN GUNUNG
DJATI (SGD) BANDUNG
Sumber
: REPUBLIKA, 22 Februari 2012
Rencana
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)— salah satu alat kelengkapan DPR—membuat Tata
Tertib (Tatib) Peliputan Jurnalis pada kegiatan DPR RI bagi wartawan media cetak
dan elektronik adalah sebuah arogansi nyata dari badan publik terhadap awak
media. Tatib ini akan menghambat corong demokrasi dan kebebasan pers serta
mengaburkan transparansi kerja wakil rakyat di parlemen.
Aturan
tersebut memuat pasal “sakit” tentang fungsi kontrol pers. Seperti,
mengharuskan setiap wartawan menye rahkan slip gaji penghasilan per bulan
kepada Sekjen DPR. Hal yang tidak ma suk akal dalam konteks negara de mokratis.
Beberapa kalangan berpenda pat bahwa rencana tersebut berkaitan erat dengan
ketakutan oknum anggota dewan atas terekamnya perilaku “amoral” beberapa
anggota dari mereka oleh wartawan. Seperti nonton video porno, adu jotos
antarfraksi, tidur sewaktu rapat, dan lain-lain. Benarkah DPR merasa terancam
dengan keberadaan pers sehingga langkah mereka dipersempit untuk memasuki
gedung parlemen? Berdasarkan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik
berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan meyampaikan
informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data
dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dalam
menjalankan tugas jurnalistik, pers di lindungi oleh hukum negara, masyarakat, dan perusahaan pers. War
tawan di lindungi dari tindak kekerasan, peng ambilan, penyitaan, atau
perampasan alat kerja, tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak mana
pun.
Piagam Palembang lahir atas kesepakatan delapan belas pemimpin redaksi (pemred)
pers nasional yang disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yu dhoyono.
Di antara isinya adalah Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar
Perlindungan Wartawan, dan Standar Kompetensi Wartawan. Oleh karena itu,
langkah “tak cerdas” DPR menyusun Tata Tertib Peliputan Jur nalis—yang sarat
dengan restriksi atau pembatasan—hanya dapat memicu keretakan informasi arus
kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Sebagaimana hasil riset Amartya Kumar Sen
dalam bukunya Development as Freedom (1999), bencana kelaparan lebih banyak
ditentukan oleh sistem administrasi dan distribusi pangan ketimbang kelangkaan
pangan atau gagal panen. Artinya, infor masi amat sentral dalam mendorong ge
rak laju pembangunan.
Pada
zaman Hindia Belanda pernah diberlakukan 35 pasal yang bisa menggiring orang ke
penjara karena berekspresi secara bebas, baik itu berupa tulisan maupun lisan.
Dari ke-35 pasal itu, pelaku yang dianggap melakukan pelanggaran terancam
hukuman maksimal tujuh tahun penjara. Zaman Orde Baru berkuasa lebih “sadis”
lagi. Regu lasi tersebut dinaikkan menjadi 37 pasal de ngan ancaman hukuman
seumur hidup. Pasca-Orde Baru, ancaman tertinggi dari pasal-pasal tersebut
adalah hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Mengapa hal itu harus terjadi? Bu kan kah
kebebasan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi diakui dalam
konstitusi kita (Pasal 28F UUD 45 amendemen keempat) serta Pasal 19 Dek larasi
Universal HAM? Era reformasi adalah era kebebasan pers. Era di mana publik
beserta awak media—dengan tidak melupakan hu kum—menyuarakan pendapat di muka
umum tanpa harus ada restriksi. Rencana BURT memberlakukan Tata Tertib
Peliputan Jurnalis bagi wartawan di ge dung DPR RI hendaknya perlu dikaji
ulang. Pers bukanlah ancaman bagi parlemen jika mereka berpikir. Pers
menggandeng parlemen dalam menjalankan amanat konstitusi. Tentunya ber
landaskan semangat perubahan. Jangan sampai publik, lewat awak media, mencemooh
kinerja memble DPR untuk ke sekian kalinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar