Menuai
Warisan Kasus
Marwan Mas, GURU
BESAR ILMU HUKUM UNIVERSITAS 45, MAKASSAR
Sumber
: SUARA KARYA, 1
Februari 2012
Harapan
rakyat begitu besar terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
baru dilantik Presiden SBY, medio Desember lalu. Apalagi, Ketua KPK Abraham
Samad telah berjanji akan pulang kampung (mengundurkan diri) jika selama
setahun tidak mampu berbuat banyak. Publik mengartikan janji Abraham: akan
mengungkap semua kasus korupsi besar yang diwariskan pendahulunya.
Sementara
ublik mencatat, kasus besar yang diwariskan KPK lama adalah kasus BLBI, Bank
Century, Wisma Atlet, yang sejauh ini hanya menjaring pelaku pinggiran.
Kasus-kasus lainnya yang diharapkan perlu ditindaklanjuti adalah kasus
Hambalang yang diungkap Nazaruddin, dugaan mafia anggaran DPR yang hanya
menetapkan sang peniup peluit Waode Nurhayati, serta kasus suap cek pelawat
pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia yang juga belum tuntas.
Banyak
negara di dunia menyatakan perang terhadap korupsi. Karena, korupsi terbukti
menimbulkan dampak buruk yang sangat luas, seperti menciptakan kemiskinan di
mana-mana. Keseriusan sejumlah negara memberantas korupsi, mengakibatkan
kejahatan korupsi yang luar biasa itu berhasil ditekan. Koruptor diberangus,
bahkan dihukum mati seperti di China.
Di
Indonesia? Para koruptor tidak pernah divonis hukuman mati. Padahal, hukuman
penjara tidak mampu membuat jera, tertangkap satu, muncul sederet koruptor
baru. Ditemukannya rekening gendut sejumlah pegawai negeri sipil muda, bisa
dijadikan indikasi telah terjadi regenerasi korupsi di negeri ini.
KPK
jiilid III harus menjawab dengan kerja keras dalam menangani semua kasus yang
terbengkelai, ditinggalkan pimpinan lama. Sebab, banyak yang meragukan janji
Ketua KPK Abraham Samad, jika dikaitkan dengan pola kerja KPK yang
'kolektif-kolegial'.
Direktur
Pukat Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar menyebut janji Abraham bisa
berubah menjadi bumerang, apalagi jika berkaitan dengan kerja kelembagaan yang
kesemuanya diselesaikan secara putusan kolektif-kolegial. Zainal ragu, janji
penyelesaian kasus besar berpeluang menjadi batu sandungan secara politik jika
ditagih di kemudian hari.
Pimpinan
baru harus berani, profesional, dan lebih cerdas memilah kasus mana saja yang
menjadi perhatian publik. Harus ada skala prioritas yang strategis, seperti
keberhasilan ICAC di Hongkong yang pada awalnya fokus pada pembersihan aparat
hukum. Setelah aparat hukum (polisi, jaksa, hakim) bersih, barulah memperluas
bidikan pada lembaga pemerintah dan swasta, termasuk mengembangkan pencegahan
dan pendidikan antikorupsi bagi rakyat.
Bukan
hanya itu, dalam membongkar kasus besar, KPK juga perlu melakukan upaya untuk
mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebab, salah satu indikator keberhasilan
memerangi korupsi jika hasilnya berkorelasi dengan perbaikan kehidupan ekonomi
rakyat, lantaran uang negara mampu diselamatkan dari tangan koruptor. Jika ini
bisa diapresiasi, selain akan mendapat dukungan luas, juga akan mengembalikan
aset negara yang selama ini kurang diseriusi.
KPK
harus mampu membuat keputusan yang tepat tanpa dibarengi polemik. Saatnya
janji-janji direalisasi dan tidak perlu khawatir, apalagi takut. Rakyat dan DPR
berdiri di belakang mereka. Sebaliknya, jika kasus besar yang diproses itu
secara hukum memang tidak ditemukan bukti kuat terjadi korupsi, juga harus
jujur dan disampaikan ke publik. Semua dilakukan demi hukum secara objektif,
bukan untuk kepentingan politik atau memuaskan salah satu pihak. Kebenaran
harus diurai agar rakyat tidak curiga sesama warga bangsa.
Budaya
Suap
Kebiasaan
dalam mengurus sesuatu, seperti surat izin mengemudi, izin mendirikan bangunan,
bahkan mengurus kartu tanda penduduk, uang tip selalu menyertainya. Setiap
mengurus sesuatu yang berhubungan dengan aparat pemerintah, uang ekstra tak
pernah dilupakan. Kalaupun ada instansi yang aparatnya sudah bersih dari
kebiasaan menerima sesuatu saat mengerjakan kewajibannya, boleh jadi jumlahnya
masih kecil.
Memberi
dan menerima uang untuk melancarkan urusan tanpa mau bersusah-susah, tampaknya
sudah membudaya di negeri ini. Dalam urusan bisnis, misalnya, suap-menyuap
sudah dianggap hal biasa. Proyek tidak akan lancar, kalau tidak ada uang
tempelnya. Sudah begitu bobrokkah moral aparat negeri ini dalam soal
suap-menyuap?
Transparansi
Internasional menjawabnya melalui hasil survei tentang kecenderungan pebisnis
dalam praktik suap-menyuap. Survei dilakukan terhadap 3.016 eksekutif bisnis di
28 negara. Hasilnya sudah dapat diduga, lagi-lagi Indonesia masuk dalam empat
besar peringkat terburuk (urutan ke-25).
Suap-menyuap,
merekayasa anggaran, membelokkan dana sosial untuk kepentingan rakyat kecil ke
kantong pribadi, persekongkolan antara pemerintah, anggota DPR, dan pihak
swasta dalam mengakali uang atau kekayaan alam, dianggap sebagai hal yang
lumrah. Tetapi, anehnya, meskipun ditangkap tangan oleh KPK, terkesan mereka
bangga dicap sebagai koruptor.
Dipenjara
sekalipun tidak akan membuat nyali mereka kendur lantaran ditoleransi dengan
kenikmatan berbagai fasilitas seperti di rumah sendiri. Hanya mengeluarkan sedikit
uang hasil korupsi untuk menyogok petugas lembaga pemasyarakatan, kenikmatan
pun masih tetap bisa dirasakan sehingga membuat calon koruptor baru tidak
merasa takut.
Modus
penyuapan bermacam-macam, mulai dari suap-menyuap untuk memenangkan tender proyek,
menghindari regulasi, mempercepat urusan, sampai memengaruhi kebijakan. Jika
semuanya bisa diungkap dan di bawa ke pengadilan, dipastikan optimisme publik
terhadap KPK akan kembali pulih karena mampu menoreh sejarah baru dalam
pemberantasan korupsi di negeri ini. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar