BUMN
Pangan Harus Bersih
Rahmat Pramulya, DOSEN DAN PENELITI DI UNIVERSITAS TEUKU UMAR,
MEULABOH, ACEH BARAT
Sumber
: SUARA KARYA, 22 Februari 2012
Wacana pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan oleh
Kementerian BUMN terus mendapat dukungan. Wacana ini mengemuka setelah Badan
Ketahanan Pangan (BKP) bakal digantikan oleh Badan Otoritas Pangan (BOP).
Semula, BOP bakal berperan ganda, yakni sebagai regulator sekaligus operator.
Tetapi, konsep tersebut dikritisi oleh banyak pihak, termasuk para pakar dari
perguruan tinggi.
Mengadopsi usulan para pakar, tim perumus versi pemerintah
kemudian memisahkan fungsi regulator dan operator. Dengan pembentukan BUMN
Pangan, maka tugas badan otoritas pangan murni sebagai regulator, sementara
operator menjadi kewenangan BUMN Pangan. BUMN sebagai operator pangan ini
nantinya bertanggung jawab dalam tugas-tugas distribusi dan keamanan pangan
untuk melakukan fungsi stabilisasi harga bahan pangan utama di level nasional.
Dengan demikian, ketersediaan pangan bisa terjamin.
Menilik tanggung jawab dan tugas-tugas yang diamanatkan kepada
operator pangan, bisa jadi ini mengarah ke Badan Urusan Logistik (Bulog).
Kalaupun BUMN Pangan ini nantinya dibentuk lembaga operator yang terdiri dari
beberapa BUMN, maka Bulog yang berpeluang besar dijadikan leader. Hal ini bisa
dipahami karena Bulog telah memiliki pengalaman puluhan tahun dalam urusan
semacam ini.
Pertanyaannya, mampukah Bulog? Tentu kita ingat bagaimana Bulog
sering tampak kedodoran dengan tugas-tugasnya selama ini dalam menstabilkan
harga pangan pokok. Surat Menko Perekonomian, 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan
Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula dan Minyak Goreng telah memberi
wewenang penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras.
Bahkan, dengan keluarnya Permendag No. 1109/ 2007 pemerintah
menetapkan mulai 1 September 2007, Bulog sebagai satu-satunya institusi yang
diamanatkan dalam menjaga stabilitas harga beras secara nasional. Kewenangan
meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah,
membeli beras di luar harga pembelian pemerintah (HPP) demi mengejar target
pengadaan dan menjaga stok beras minimal satu juta ton. Secara keseluruhan
keputusan yang baru ini tampaknya dikeluarkan dalam usaha mengembalikan public
service obligation (PSO) dari Bulog.
Sayangnya, apa yang terjadi di lapangan sungguh mengejutkan.
Hingga kini, kabar bahwa para petani padi masih banyak yang menerima harga
pembelian gabah kering giling jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP)
masih terdengar nyaring dari berbagai daerah. Padahal, dengan peran itu
mestinya Bulog akan lebih leluasa memupuk stok dari pengadaan dalam negeri
maupun impor sehingga akan bertindak lebih fleksibel untuk menstabilkan harga
beras. Jika target stok belum tercukupi, sedangkan harga beras/gabah di atas
HPP, Bulog boleh membelinya. Bulog pun di-setting bisa menjadi pemimpin pasar
dan pembentuk harga beras di tingkat petani dan konsumen.
Melihat perkembangan di lapangan, asumsi tersebut rasanya perlu
ditinjau ulang. Pengembalian sebagian fungsi Bulog yang sejak awal diramalkan
berpotensi membangun kembali citra Bulog yang sudah telanjur jatuh lantaran
berbagai kasus seperti korupsi, sarang pemburu rente dan sumber KKN akhirnya
tak jua menemukan hasil. Jika tidak dilakukan penguatan kelembagaan dan juga
infrastruktur, seperti penguatan sistem logistik dan distribusi pangan yang
mendukung, kinerja BUMN Pangan nantinya akan sama saja. Belum lagi, ketika BUMN
ini nantinya berbentuk perum, di mana akan terjadi tarik-menarik, antara meraih
profit dan tugas sosial.
Bisa-bisa BUMN Pangan nantinya akan sama kedodoran-nya. Belajar
dari Bulog, dengan tugas sebagai stabilisator pangan selama ini diakui banyak
ganjalan yang ditemui. Beberapa hal terbukti belum dimiliki Bulog, di antaranya
jiwa kewirausahaan. Selama ini Bulog hanya mengandalkan hidup dari keuntungan
mengelola beras untuk rakyat miskin dan program PSO lain. Itu pun kenyataannya
di daerah banyak penyimpangan. Bulog masih dihadapkan pada tantangan
ketidakefisienan dan berbagai potensi penyimpangan.
Dengan peran sebelumnya saja keinginan Bulog untuk impor beras
tidak terbendung, apalagi dengan peran barunya belakangan yang demikian luas.
Gelimangan uang rent seeking yang sangat menggiurkan dari bisnis impor beras,
terlebih ketika impor itu dikuasai sepenuhnya oleh pemain tunggal adalah contoh
terdekat. Betapa tidak, dengan hanya memberi lisensi kepada para eksportir
mitra di luar negeri untuk memasukkan beras ke dalam negeri, tanpa memerlukan
energi dan biaya ekonomi yang berarti, seseorang akan mendapat rente ratusan
miliar rupiah dalam sekejap.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa keputusan-keputusan ekonomi
dengan tingkat korupsi yang tinggi seperti negara kita ini, cenderung
didomplengi para kepentingan pemburu rente. Dengan kondisi semacam itu, Bulog
tidak saja belum bisa menggeser citranya sebagai lembaga korup, tetapi juga bisa
terjerembab ke level death. Konsekuensinya, siapa saja yang menduduki posisi
puncak di Bulog identik dengan duduk di 'kursi panas'. Jika kurang lentur
mengikuti permainan politik, duduk di kursi panas akan bisa berakhir di jeruji
besi. Kursi panas itu telah menelan korban Widjanarko Puspojo dan lima pejabat
Bulog lainnya.
Perjalanan Bulog yang penuh warna ini patut dijadikan pelajaran
serius bagi kinerja BUMN Pangan yang akan dibentuk nanti, terutama dari sisi
potensi konflik tugas sosial dan komersial. Satu hal mendasar untuk dipahami
dalam wacana BUMN Pangan ini adalah bahwa pangan pokok itu harus dilindungi
oleh negara melalui lembaga negara yang mengurusi pangan. Lembaga tersebut
harus didukung oleh operator yang memiliki wewenang penuh, mulai dari menyediakan
sarana produksi pertanian semisal lahan, pupuk, irigasi, hingga distribusi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar