Antara
Bulog dan BUMN Pangan
Darwis SN, ALUMNUS UNIVERSITY OF ADELAIDE AUSTRALIA
Sumber
: SUARA KARYA, 22 Februari 2012
Selain Otoritas Jasa Keuangan (OJK), wacana lain yang sedang
mengemuka saat ini adalah rencana pembentukan Badan Otoritas Pangan (BOP).
Pertanyaannya, apakah BOP ini nantinya merupakan metamorfosis dari Badan Urusan
Logistik (Bulog) sebagaimana disinyalir banyak pengamat, bisa jadi akan menemui
kenyataan. Jika ini benar, maka menjadi sangat penting untuk belajar dari
sejarah bagaimana sepak terjang Bulog sejak kelahirannya hingga kini.
Di era Orde Baru, Bulog boleh dibilang sangat powerfull dalam
mengatur stabilitas pasok dan harga pangan pokok di dalam negeri. Tidak hanya
beras yang sangat sensitif, tapi juga gula, terigu, daging, minyak goreng
sampai kedelai. Namun, kekuatan yang positif itu musnah dalam sekejap ketika
Dana Moneter Internasional (IMF) masuk seiring pecahnya krisis moneter
1997-1998. Dengan tudingan maut tak boleh ada monopoli, kekuasaan Bulog pun
dipreteli dan hanya tersisa untuk komoditas beras.
Sejak absennya Bulog, yang kemudian berstatus dari Lembaga
Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi Perum, sejumlah komoditas pangan
selalu berubah. Setiap tahun, kalau tidak gula ya kedelai yang membuat pusing.
Pemerintah pun seolah tak berdaya dan kesulitan mengendalikan kenaikan harga.
Yang menyakitkan, untuk minyak goreng, negeri ini juga sering dibuat pusing.
Padahal, Indonesia adalah negara produsen CPO terbesar di dunia.
Takhluknya Pemerintah Indonesia dan selalu mengikuti resep IMF
justru menjadi bumerang. Sejak saat itu, pemerintah tak lagi punya 'tangan
kanan' untuk menjaga stabilisasi pangan, selain beras. Contoh yang paling
terasa adalah ketika harga berbagai komoditas pangan melambung pada awal 2008.
Dengan adanya krisis pangan yang dipicu krisis harga minyak dunia, harga
komoditas kedelai, minyak goreng, beras, gula dan jagung di pasar dunia terbang
mengikuti spekulasi. Guncangan ini pun sampai ke negeri ini. Kebijakan
pemerintah meredam gejolak harga pun kandas. Di luar beras, seluruh komoditas
pangan melambung dan menguras anggaran pemerintah untuk memberikan subsidi.
Kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) untuk meredam harga
minyak goreng, misalnya. Tuntutan agar pengusaha tetap memasok minyak sawit
(CPO) ke industri dalam negeri ketimbang mengekspor tidak direspon utuh.
Buntutnya harga minyak goreng di dalam negeri tetap bergerak liar hingga di
atas Rp 10 ribu/ kg. Pemerintah pun akhirnya meluncurkan pasar murah minyak
goreng serta menanggung PPn agar harga bisa terjangkau.
Kondisi yang sama terjadi dengan kedelai. Kebijakan pemerintah
menurunkan bea masuk impor juga tidak menolong industri tahu dan tempe yang
kesulitan bahan baku. Ketergantungan terhadap produk impor membuat banyak industri
gulung tikar. Ini karena tidak ada lembaga yang bisa secara kontinyu memasok
kedelai ke industri tahu dan tempe.
Gejolak yang terasa berikutnya adalah harga gula. Akibat pasokan
gula di pasar internasional defisit, harga gula melonjak cukup tinggi. Kondisi
ini ikut mengerek harga gula di dalam negeri. Pelan tapi pasti, harga gula yang
pada tahun 2008 pernah berada di level di bawah Rp 5.000/kg, pada pertengahan
2009 justru berbalik. Harga lelang gula di pabrik milik PTPN sempat mencapai Rp
8.000/kg. Kondisi ini pun tak mampu diredam pemerintah.
Kebijakan impor gula mentah (raw sugar) yang diberikan kepada
beberapa produsen gula menjelang akhir 2010 tidak direspon positif sehingga tak
cukup berarti dalam menahan laju harga gula. Harga hingga di kuartal pertama
tahun 2010 masih tetap tinggi hingga di atas Rp 10.000/kg. Buntutnya pemerintah
terpaksa mengeluarkan kebijakan boros devisa dengan membuka impor gula putih
(white sugar) kepada PTPN, RNI, Perum Bulog dan PPI. Total kuota impor sebanyak
500 ribu ton. Anehnya, meski sudah ada gula impor yang masuk, namun harga gula
di pasaran juga masih cukup tinggi.
Gejolak harga pangan yang tak pernah usai ini sudah disadari
Presiden SBY. Pada pertengahan tahun 2008, Presiden telah memberi sinyal agar
Bulog kembali memegang stabilisasi komoditas pangan di luar beras. Sinyal dari
Presiden SBY ini tak lepas dari keberhasilan Bulog mengatasi gejolak harga
beras ketika krisis pangan melanda dunia.
Sebagai uji coba, pada akhir 2008, Bulog mendapat tugas mengatasi
anjlognya harga gula yang berada di bawah harga penyangga pemerintah Rp
5.000/kg. Melalui sinergi antar-perusahaan plat merah, Bulog mendapat peran
sebagai agen untuk mendistribusikan gula milik PTPN dan PT RNI sebanyak 260
ribu ton. Bahkan pada tahun 2009, peran mendistribusikan gula berlanjut dengan
menyalurkan sebanyak 870 ribu ton.
Tampaknya kembalinya Bulog memegang kendali stabilisasi pangan
pokok di luar beras diyakini hanya tinggal menunggu waktu. Sebuah Inpres telah
disiapkan sebagai payung hukum. Jika ini terealisasi, maka Bulog kembali akan
memperlihatkan kekuatan dirinya. Perusahaan plat merah ini memiliki 1.575 unit
gudang dengan kapasitas penyimpanan komoditas pangan sekitar 4 juta ton setara
beras. Jumlah ini tersebar di 511 lokasi di 33 provinsi.
Untuk mendapatkan kembali peran tersebut, Bulog paling tidak bisa
menguasai stok sebanyak 5% dari total produksi nasional. Contohnya, pada
komoditi beras, dengan membeli beras dalam negeri antara 5-7% ternyata harga
komoditas beras cukup stabil, ketika di pasar dunia terjadi gejolak harga.
Dengan jaringan dan infrastruktur yang cukup besar, kita yakin Bulog akan mampu
menjadi lembaga penjaga stabilisasi harga dan ketersediaan pangan nasional.
Daripada pemerintah pusing-pusing memikirkan kelembagaannya, maka akan lebih
baik mengoptimalkan fungsi Bulog sebagai operator pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar