Nasib
Tanah Adat
Mochtar Naim, SOSIOLOG
Sumber
: KOMPAS, 23 Februari 2012
Hari-hari ini, gejolak di mana-mana mulai
melebar, yang ujung-ujungnya dapat saja berupa sebuah revolusi sosial yang
datang dari rakyat sendiri. Dampaknya tentu sukar diduga, tetapi yang pasti akibatnya
pasti sangat mengerikan.
Pokok pangkalnya, antara lain, tanah ulayat
adat dan tanah-tanah rakyat yang belum tergarap diambil alih pemerintah menjadi
tanah negara. Tanah-tanah rakyat yang tadinya dimaksudkan sebagai tanah
cadangan guna mengantisipasi perkembangan penduduk di masa depan itu, atas nama
pembangunan diambil alih, lalu hak guna usaha (HGU)-nya diberikan kepada para
pengusaha kapitalis.
UUD
Dijadikan Dalih
Semua dilakukan atas nama pembangunan, dengan
berdalih pada Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945. Ayat (3) menyatakan, ”Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ’dikuasai’ oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Sementara Ayat (4) malah menambahkan lagi,
”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.”
Namun, dari praktik yang tersua, yang terjadi
justru sebaliknya. UUD 1945, Pasal 33, ternyata telah menjadi gincu pemanis
bagi pembangunan. Sebab, isinya tidak lain dari kembalinya penjajahan ekonomi
oleh tangan-tangan para kapitalis dalam dan luar negeri seperti di masa
kolonial dahulu. Ironisnya, semua itu difasilitasi dan dibukakan jalannya oleh
para penguasa negara dengan mengambil manfaat dari aktivitas itu untuk
kepentingan kelompok dan pribadi-pribadi dari yang berkuasa.
Kerja sama ”triumvirat”—konglomerat, kapitalis multinasional, dan penguasa
negara—inilah yang telah menggelindingkan ekonomi Indonesia sejak Orde Baru ke
masa reformasi sekarang. Semua itu adalah untuk ”kebuntungan”, bukan
”keberuntungan” rakyat yang tadinya memiliki tanah ulayat yang jutaan hektar
luasnya di sejumlah pulau di seluruh Indonesia.
Rakyat yang tadinya punya tanah cadangan
berupa hutan ulayat, tanah desa, kampung, dan nagari, yang luasnya sampai
ratusan hektar, sekarang tandas sudah. Adapun yang tersisa, yang langsung bisa
diolah dan ditanami di lahan pertanian, tinggal setengah atau seperempat hektar
per keluarga. Bahkan, tak sedikit yang tak punya lahan tanah sama sekali.
Kebanyakan di antara mereka lalu pergi ke kota dengan ”menjual” tenaga
kasarnya. Sementara yang masih punya tanah, tak jarang masih digerogoti oleh
pengusaha ”absenti-siluman” dari kota, manakala lokasinya cukup strategis untuk
usaha-usaha di luar bidang pertanian.
Akibatnya, pemiskinan, bagaimanapun, mau tak
mau dengan sendirinya terjadi. Rakyat Indonesia sekarang telah menjadi rakyat
termiskin di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, yang berarti mereka juga
tergolong kelompok termiskin di dunia.
Kembalikan
ke Tampuknya
Kalau Pasal 33 UUD 1945 tidak akan menjadi
sekadar gincu di bibir, tetapi benar-benar dipraktikkan, dan itu dipraktikkan
untuk tujuan ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sebagaimana bunyi Pasal 33 UUD
1945, pertama-tama yang harus dilakukan adalah kembalikan tanah ulayat rakyat
itu kepada rakyat. Baik kepemilikan maupun penguasaannya.
”Penguasaan” tanah oleh negara tidaklah
identik dengan ”pemilikan”. Pemilikan tanah rakyat yang di HGU-kan oleh pemerintah
kepada para pengusaha tidak boleh diartikan sebagai tidak lagi bisa
dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik yang sah dari semula tanah-tanah
tersebut.
Pemerintah selama ini telah melakukan
keteledoran, bahkan kesalahan besar dan fatal, dengan tidak dikembalikannya
kepemilikan tanah ulayat adat ataupun tanah-tanah rakyat itu kepada pemiliknya
semula, kendati waktu pakai HGU-nya sudah habis. Lebih celaka lagi, HGU ini
bisa diperpanjang sampai sekian kali sehingga tanah rakyat itu pun sudah
seperti layaknya milik pengusaha yang memegang HGU tanah tersebut.
Rakyat yang sesungguhnya pemilik tanah itu
dalam praktiknya kebanyakan telah menjadi kuli/buruh/pekerja di atas tanah
mereka sendiri. Mereka dibayar kalau bekerja dan tidak dibayar kalau tidak
bekerja. Pemiskinan pun kian berlipat terjadi dengan praktik penguasaan tanah
rakyat oleh negara yang sengaja di-HGU-kan kepada para pengusaha kapitalis,
yang semua itu katanya demi menggenjot perekonomian negara.
Padahal, melalui arahan dan bimbingan dari
negara dan pemerintah, dengan rakyat tetap sebagai pemilik dan penguasa tanah
mereka sendiri, rakyat dapat bekerja sama dengan siapa pun dalam mengolah dan
mengelolakan lahan dimaksud. Misalnya dengan prinsip kerja sama dan bagi hasil
yang saling menguntungkan, seperti yang tecermin pada Pasal 33 Ayat (3) dan (4)
UUD 1945 itu.
Melalui model pengelolaan semacam itu, ada
target-target yang akan dan harus dicapai. Misalnya, dalam jangka waktu 25
tahun pertama, 25 persen penguasaan ekonomi berada di tangan rakyat. Dalam
jangka waktu 50 tahun alias setengah abad, rakyat Indonesia telah menjadi
”tuan” di negeri sendiri, seperti halnya dengan rakyat dari negara-negara maju
atau sejumlah negara tetangga kita.
Sebutlah seperti Jepang, Korea, China, serta
tak kurangnya Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Di negara-negara tersebut,
rakyat pribumi ada di mana-mana—di sektor pertanian, peternakan, perikanan,
industri, kerajinan, jasa—dan dalam semua ukuran.
Kewajiban
Luhur Pemerintah
Seyogianya kalau tanah ulayat adat itu tidak
diperjualbelikan, tetapi diwariskan secara turun-temurun, sekurang-kurangnya
keberadaannya bermanfaat untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan kaum
perempuan dan anak-anak. Hal ini sudah dibuktikan keampuhannya dari tradisi
pusaka tinggi, berupa tanah kaum dan suku, dalam masyarakat Minangkabau pada
masa lalu.
Tidak soal apakah budaya yang dianut adalah
matrilineal, patrilineal, ataupun parental. Pemilikan dan
penguasaan terhadap tanah oleh rakyat telah menjadi penyangga bagi pemiskinan
berkelanjutan. Kalau tidak, inilah yang terjadi: pemiskinan akan berjalan cepat
sekali, massal, serta bersifat masif.
Pemilihan ke depan, karena itu, berjipang dua:
To be or not to be dari nasib rakyat
yang 230-an juta ini. Negara dan bangsa ini, karena itu, punya kewajiban luhur
untuk menyelamatkan rakyatnya sendiri dari kehancuran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar