“Mottainai”
dan Pemborosan
Richard Susilo, KOORDINATOR FORUM EKONOMI JEPANG-INDONESIA;
20 TAHUN TINGGAL DI TOKYO, JEPANG
Sumber
: KOMPAS, 22 Februari 2012
Di sebuah supermarket di Bali, seorang ibu
meminta beberapa kantong plastik kosong di kasir. Entah buat apa, kantong
plastik kosong itu dia masukkan ke dalam kantong plastik yang berisi belanjaan.
Di luar supermarket, ibu itu memasukkan
sampah di mobilnya ke dalam kantong plastik, lalu membuangnya asal saja di
pinggir jalan. Ironis sekali, padahal ia mengendarai mobil mewah seri terbaru.
Kelakuan ibu itu adalah suatu hal yang masih
sering terlihat di Indonesia, tetapi sangat tak biasa di Jepang. Pertama, soal
permintaan kantong plastik berlebih. Kedua, pembuangan sampah sembarangan.
Supermarket-supermarket di Tokyo mencoba ikut mengatasi.
Diskon
khusus
Selesai proses penghitungan, biasanya kasir
akan bertanya, pakai tas sendiri atau tidak? Kalau membawa tas sendiri, kita
akan mendapat potongan 2 yen. Kalau dalam sebulan belanja 10 kali, menghemat 20
yen atau sekitar Rp 2.400.
Konsumen pun punya kesadaran yang sama.
Ketika penulis berbelanja ke satu supermarket di Tokyo, orang di depan penulis
yang membeli satu USB kecil menolak kantong plastik. ”Tidak usah, mottainai,”
katanya sambil memasukkan belanjaan ke saku bajunya.
Itulah orang Jepang. Pemikiran mereka umumnya
sama: mottainai yang artinya ”mubazir”, ”sayang ah!” Kalau bisa irit mengapa
tak irit walaupun toko memberikan kepada kita.
Kantong plastik hanya menambah timbunan
sampah. Kantong plastik juga merusak lingkungan karena sulit hancur.
Satu supermarket di Tokyo didatangi sekitar
500 pelanggan setiap hari. Menurut manajernya, 60 persen menggunakan kantong
sendiri. Berarti menghemat 600 yen (300 orang x 2 yen) per hari. Itulah yang
kita sebut biaya lingkungan hidup (eco-friendly fee).
Maka, dalam sebulan satu supermarket saja
bisa menghemat 18.000 yen. Kalau 10.000 supermarket melakukan hal yang sama,
masyarakat Jepang menghemat biaya 180 juta yen per bulan atau Rp 21,6 miliar,
hanya dengan cara menggunakan kantong belanja sendiri. Belum lagi pengurangan
sampah plastik yang sangat signifikan.
Cara sederhana untuk ikut menjaga lingkungan
ini sebenarnya sudah biasa di Jepang. Pemerintah Jepang, misalnya, memberikan
subsidi berupa pengurangan pajak bagi perusahaan mobil yang memproduksi mobil
akrab lingkungan, seperti Toyota dengan mesin hibrida yang sangat bersih
lingkungan, tidak berisik, tidak mencemari, dan mudah pemeliharaannya. Walaupun
ke depan perlu dipertanyakan dampak pembuangan bakteri hibrida yang tidak mudah
dan belum ada solusi, paling tidak saat ini mesin hibrida berdampak minimal ke
lingkungan.
Subsidi
Antikarbon
Pemerintah Jepang juga menyubsidi perusahaan
dalam perdagangan karbon dioksida (CO2) ke luar Jepang,
misalnya ke Indonesia. Perusahaan akan mendapat subsidi dari pemerintah karena
dianggap membantu program Pemerintah Jepang mengurangi emisi CO2.
Pemerintah Jepang menjanjikan 20 persen atau lebih pengurangan CO2
tahun 2020.
Semua aksi pasti ada reaksi. Itu hal biasa
dalam kehidupan ini. Namun, dengan pola pikir menjaga lingkungan, hal yang
kecil sekali pun bisa kita terapkan di Indonesia. Tidak seperti saat ini di
Indonesia justru terjadi banyak pemborosan, termasuk kantong plastik belanjaan
di atas.
Pola lain yang bisa dilakukan adalah
menempatkan kotak/alat otomatis untuk daur ulang botol plastik. Botol atau
gelas plastik bekas harus dipisahkan dari sampah dapur. Botol itu dibawa ke
supermarket, lalu dimasukkan ke kotak/alat yang tersedia dan untuk itu kita
dapat poin tertentu. Jika jumlah poin sudah mencapai 100, kita dapat menghemat
uang belanja dengan belanja menggunakan poin.
Botol plastik yang terkumpul dengan baik
dapat didaur ulang menjadi plastik baru. Kita pun tidak menyampah dan bahkan
dapat uang karena telah berpartisipasi dalam proses daur ulang walaupun
jumlahnya kecil.
Tidak ada yang terbuang percuma, tidak ada
yang mottainai karena semua win-win solution, sehingga kehidupan
berkesinambungan dengan baik dan mewariskan lingkungan yang baik pula untuk
generasi berikutnya.
Hal-hal sangat sederhana ini meskipun masih
banyak lagi contoh yang bisa ditulis dari Jepang bisa mendidik kita semua.
Pendidikan ini sangat mendasari kehidupan. Masyarakat Jepang memiliki tingkat
pendidikan 99 persen dengan level sama. Dengan demikian, pola pikir menjadi
serupa dan datangnya motivasi dari mana pun—apalagi dari Pemerintah Jepang—akan
diikuti dan dipatuhi dengan mudah oleh rakyat secara serentak, seragam, dan
hasilnya pun cepat terlihat.
Hal serupa tentu saja bisa dipraktikkan di
Indonesia. Bukankah dengan demikian tidak perlu lagi ada pemborosan di
Indonesia tercinta? ●
Nice info. Oiya ngomongin pemborosan, kamu pernah ga sih merasa udah hidup biasa-biasa aja (ga pernah boros), tapi nyatanya duit bulanan selalu habis? Biasanya, itu karena kamu ngeluarin uang buat hal-hal yang sebenernya sepele. Itu ada istilahnya loh, namanya Latte Factor. Mau tau lebih lengkapnya? Cek di sini yuk:
BalasHapusApa sih Latte Factor itu?