Memperjuangkan
Masyarakat Inklusif
Novri Susan, SOSIOLOG UNIVERSITAS AIRLANGGA;
PHD STUDENT OF GLOBAL STUDIES DOSHISHA UNIVERSITY, KYOTO, JEPANG
Sumber
: KOMPAS, 22 Februari 2012
Violence is fomented by the imposition
of singular and belligerent identities on gullible people. Amartya
Sen, 2006
Pasca-penolakan kehadiran
FPI di Kalimantan Tengah, muncul gerakan ”Indonesia Tanpa FPI” dan ”Indonesia
Tanpa Kekerasan” yang digagas oleh sebagian masyarakat sipil. Esensi gerakan
ini adalah penolakan terhadap budaya kekerasan dalam sistem sosial Indonesia.
Adegan penolakan kekerasan melalui kasus
Front Pembela Islam (FPI) tersebut bisa menjadi energi transformatif bagi
terbentuknya masyarakat inklusif Indonesia. Suatu masyarakat yang
anti-kekerasan dan cinta keberagaman kebudayaan.
Meski demikian, mewujudkan masyarakat
inklusif masih menghadapi tantangan berat. Tantangan itu bersumber dari kekerasan
yang telah menjadi identitas kelompok-kelompok sosial tertentu dan keroposnya
kekuatan negara dalam melindungi keamanan warga.
Identitas
Kekerasan
Potret buram di negeri Pancasila ini
disebabkan, antara lain, oleh kekerasan yang sering dimobilisasi secara
semena-mena oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Akibatnya, setiap konflik
sosial muncul, kekerasan pun sering tak terhindarkan.
Dinamika konflik sosial di Indonesia sangat
rentan kekerasan. Sebutlah seperti konflik antara pendatang dan penduduk asli
di Lampung Selatan pada akhir Januari lalu yang menyebabkan puluhan rumah
penduduk rusak. Pada minggu kedua Februari (8/2), konflik antarkelompok sosial
di wilayah Desa Pelauw dan Desa Romohoni, Maluku Tengah, menyala oleh bara
kekerasan. Kekerasan tersebut menyebabkan lima orang meninggal dunia, belasan
terluka, dan sekitar 300 rumah hangus terbakar.
Tingginya frekuensi kekerasan dalam banyak
konflik sosial di Indonesia menandakan sebagian masyarakat Indonesia telah mengonstruksi
kekerasan sebagai identitas. Kekerasan tak lagi sekadar luapan
emosional tanpa nalar pengetahuan di dalamnya.
Sebaliknya, kekerasan mendapatkan justifikasi
dalam bentuk sosialisasi intensif sebagai kebenaran yang boleh atau harus dipraktikkan
demi tujuan-tujuan tertentu. Tujuan itu sering terkait erat dengan
harga diri, kehormatan, dan keberlangsungan posisi sosial ekonomi kelompok.
Kekerasan pun tidak lagi dipandang sebagai
kesalahan atau keburukan, tetapi sebagai manifestasi loyalitas anggota terhadap
tujuan-tujuan kelompok tersebut. Pada proses konstruksi ini, kekerasan
merupakan identitas yang dianggap benar dan suci.
Efek selanjutnya, kekerasan sering kali
diberdayakan ketika muncul situasi yang dipersepsi merugikan tujuan-tujuan
kelompok. Misalnya, menjamurnya klub-klub malam bisa dipersepsi sebagai situasi
yang mengancam tujuan FPI membangun masyarakat ”antimaksiat”. Mobilisasi
kekerasan terhadap klub-klub malam dijustifikasi sebagai bentuk kebenaran untuk
menyelamatkan ”masyarakat luas”.
Tentu saja kekerasan sebagai identitas tidak
terbatas pada FPI, tetapi juga tumbuh kuat pada kelompok-kelompok sosial lain,
baik etnis, keagamaan, maupun golongan. Realitas ini terlihat dari menjamurnya
kekerasan dalam berbagai konflik sosial di Tanah Air.
Merata dan meningkatnya frekuensi kekerasan,
sebagai identitas, dalam banyak kasus konflik sosial akhir-akhir ini merupakan
kondisi memprihatinkan. Amartya Sen (Identity and Violence: The Illusion of
Destiny, 2006) mengingatkan, menguatnya identitas kekerasan akan menciptakan
situasi keterjebakan masyarakat dalam logika brutal anarkisme. Masyarakat
dengan berbagai kelompok sosial di dalamnya kehilangan kemampuan memahami bahwa
kekerasan adalah simpul-simpul kehancuran sendiri.
Sen, seperti dikutip pada pembukaan di atas,
dengan gaya ironi menyebut identitas kekerasan hanya dilakukan oleh mereka,
anggota masyarakat, yang mudah dibohongi oleh doktrin-doktrin sempit. Adalah
suatu kebohongan bahwa kekerasan merupakan kehormatan atau harga diri.
Penguatan
Negara
Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat
Indonesia tengah terjebak dalam konstruksi identitas kekerasan. Alhasil,
mobilisasi kekerasan direproduksi ketika di antara kelompok sosial mengalami
benturan tujuan di dalam sistem sosial.
Konsekuensinya adalah kerugian besar dalam
bentuk korban jiwa, hancurnya harta benda, merapuhnya produktivitas sosial
ekonomi, bahkan suramnya masa depan generasi muda. Pada situasi ini, negara
harus memiliki kekuatan yang besar untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari
jebakan identitas kekerasan dan mewujudkan masyarakat inklusif.
Penguatan negara tak berarti adanya
peningkatan represi negara terhadap eksistensi kelompok-kelompok identitas.
Namun, negara harus memperkuat fungsi-fungsi kelembagaannya berdasarkan mandat
demokrasi. Termasuk dalam penggunaan cara kekerasan, harus dipastikan bahwa
praktik itu menjadi otoritas penuh lembaga negara.
Penggunaan kekerasan sebagai otoritas negara
dalam demokrasi, seperti dielaborasi oleh John Keane (Violence and
Democracy, 2004), harus berprinsip pada perlindungan keamanan warga.
Perlindungan dari agresi asing ataupun ancaman dari kelompok-kelompok
kekerasan, seperti kelompok teroris, etnis, sampai radikalis-fundamentalis.
Artinya, negara diperkenankan memobilisasi kekerasan negara untuk mencegah dan
menangani kekerasan yang dipraktikkan oleh kelompok-kelompok sosial.
Sayangnya, selama ini negara terkesan tidak
memiliki kekuatan untuk mencegah dan menangani praktik kekerasan
kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Bahkan sebaliknya, lembaga negara
yang memiliki otoritas dalam penggunaan kekerasan, seperti militer, polisi, dan
satpol PP, ikut menjadi ”liar” dalam penggunaan kekerasan dengan keluar dari
prinsip demokrasi.
Dalam banyak kasus, negara hanya menggunakan kekerasan
untuk melindungi para pemodal besar, seperti pada kasus konflik agraria di Bima
dan Mesuji beberapa waktu lalu. Oknum-oknum dalam lembaga kepolisian atau
militer sibuk menjadi tukang pukul yang melindungi operasi bisnis tertentu.
Alhasil, negara mengalami pengeroposan fungsi dalam memberi perlindungan
keamanan warga dari mobilisasi kelompok-kelompok yang menjadikan kekerasan
sebagai identitasnya.
Melalui tulisan ini bisa direfleksikan bahwa
perjuangan membangun masyarakat inklusif masih menghadapi tantangan berat.
Pertama, dari realitas masih kuatnya identitas kekerasan dalam masyarakat.
Kedua, keroposnya fungsi negara dalam menempatkan otoritas penggunaan kekerasan
untuk perlindungan keamanan warga.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia yang
sebenarnya mayoritas cinta damai harus gigih mewujudkan masyarakat inklusif
yang anti-kekerasan dan hormat kepada keberagaman budaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar