Jati
Diri Kultural
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber
: KOMPAS, 22 Februari 2012
Diterimanya ahli genetik dan pediatrisian Inggris,
Stephen Oppenheimer—penulis buku Eden in the East—oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Istana Negara, beberapa waktu lalu, mengindikasikan pemerintah
puncak negeri ini mulai memberi perhatian pada diskursus tentang eksistensi
sebuah peradaban. Sebuah diskursus yang cukup agung dalam ukuran masa kini dan
tempo lalu di kawasan Nusantara, yang pada kemudian hari menjadi negara dan
bangsa bernama Indonesia.
Diskursus ini tidak hanya melahirkan
kelompok, komunitas, klub diskusi, buku, artikel, seminar, serta mungkin
puluhan ribu komentar dan tulisan di berbagai blog atau media sosial, tetapi
juga memunculkan semacam kepercayaan diri di berbagai kalangan, terutama yang
bertaut dengan (identitas) lokal tertentu. Hal ini sebenarnya bisa dianggap
cukup fenomenal mengingat sebaran diskursus ini sudah merentang mulai dari
ujung timur hingga barat, utara, dan selatan negeri ini.
Sinisme
Ilmuwan
Semua itu menjadi wajar jika pada akhirnya
mengundang reaksi, sebagian sinis, dari mereka yang selama ini kita anggap
sebagai ilmuwan. Mereka yang lebih memercayai data material, dalam bentuk
artefak, sebagai dasar utama untuk menafsir dan menyimpulkan sesuatu. Dan, data
material itu netral, bersih dari hal-hal yang mistis, khayali, atau dibumbui
oleh spekulasi spiritual.
Sebuah posisi yang memang sangat memungkinkan
mereka, para ilmuwan ”sejati”—setidaknya yang terlatih dan terdidik dalam
logosentrisme european—melihat semua hal yang berkait dengan ”fenomen” di atas
sebagai salah satu ekspresi dari pribadi yang mitikal dan mistikal. Konon,
pribadi sejati bangsa Indonesia.
Tak ada yang keliru dengan pandangan itu.
Jika kita bersetuju atau sekurangnya memahami wilayah intelektual, dalam hal
ini rasionalitas yang dibangun para sarjana Eropa, lengkap dengan metodologi,
epistemologi, juga ontologinya masing-masing. Tafsir, kesimpulan, dan data
arkelogis, juga palentologis, kita hormati sebagai dasar obyektif untuk menilai
zaman, masa lalu, hingga konstitusi dari kebudayaan/peradaban serta manusia
yang mengisi dan membentuknya.
Namun, hanya sebagai diskusi kecil, betapapun
ilmu memberi pengaruh besar pada kehidupan manusia, termasuk perkembangan adab
dan kebudayaannya, siapa pun mestinya memahami adab dan kebudayaan itu ternyata
berlangsung, berproses, hidup dan mati, jauh lebih luas semestanya ketimbang
runtutan kata-kata dan proposisi yang disebut ilmiah. Sebagian besar hidup ada
di luar jutaan teori dan asumsi. Kata (tertulis)—sebagai bagian dari
artefak—hanyalah sebagian, jika tidak dibilang kecil, dari perangkat atau medium
yang digunakan sebuah bangsa mengembangkan dirinya.
Di titik ini mungkin hipotesis—jika istilah
ini mau digunakan—bisa diajukan bahwa sebagian (suku) bangsa di dunia, terutama
di negeri ini, tidak memandang tulisan sebagai medium utama dalam ia beradab dan
berbudaya. Bangsa-bangsa di Nusantara mengembangkan dan memproduksi karya
kebudayaannya yang kini kian banyak terkuak dahsyatnya (ingat I La Galigo)
tidak melalui proses literasi semacam itu. Pengembangan dan pewarisan melalui
lisan, perilaku, dan kesepakatan sosial adalah cara-cara utama itu. Kita dapat
menemukannya dengan mudah di berbagai tradisi hingga karya-karya artistik di
pelbagai suku bangsa negeri ini.
Model pemberadaban semacam ini tentu
menciptakan kesulitan tersendiri bagi ilmu-ilmu sosial modern. Setidaknya bagi
ilmu sejarah, antropologi, arkeologi, atau paleontologi untuk menegaskan
realitas masa lalu suku bangsa-suku bangsa itu.
Sebagai contoh, sebagaimana dituturkan
Zoetmoelder dalam kita babonnya, Kalangwan, sastra Jawa kuno sebenarnya adalah
usaha melakukan transliterasi dari bahasa Jawa purba ke bahasa Sanskerta dengan
huruf Pallawa. Namun, ternyata usaha itu tidak seluruhnya berhasil. Cukup
banyak kosakata Jawa purba yang tidak sukses ditransliterasi. Sekurangnya,
Zoetmoelder mencatat lebih dari 1.500 kata Jawa purba yang tak dapat
dialihteraskani menjadi Sanskrit dan Pallawa.
Keberanian
Politik
Paparan di atas tak lain hanya semacam
praasumsi yang menyatakan sebuah realitas pada masa lalu, bahkan pada masa
kini, tidaklah sesederhana bukti-bukti kebudayaan yang ditinggalkannya.
Peradaban Nusantara, dengan seluruh karakteristiknya yang khas, yang maritim
itu (oh… betapa kata ini adalah gadis paling seksi untuk kita telusuri
tubuhnya), tidaklah dapat direduksi hanya oleh data materi, teori, atau
sembarang epistemologi. Begitu pun jati diri manusia yang dihasilkan peradaban
itu tentu bukanlah jati diri arkeologis atau paleontologis.
Pertimbangan yang lebih komprehensif,
setidaknya multidipliner, harus dilakukan dengan kerja keras untuk kita bisa
mendekati atau lebih mengenali jati diri itu. Saya ingin menyebut pertimbangan
itu sebagai ”kultural”. Pertimbangan yang melihat manusia dan adab yang
diproduksinya tidak hanya bebas dari prasangka-prasangka rasional (European),
tetapi juga mengikutsertakan peralatan-peralatan budaya yang mereka gunakan
sendiri, yang kebanyakan justru tidak material.
Seperti budaya lisan, yang tidak bisa
dimaterialisasi menjadi sekadar kata, kemudian menjadi buku. Sebab, di dalamnya
terdapat dimensi metalingual atau paralingual, yang turut menentukan makna dan
sukses tidaknya transmisi sebuah kebudayaan.
Jati diri kultural yang terbentuk dalam
proses pemberadaban bangsa Nusantara inilah sesungguhnya yang ada di balik
gairah besar kebangkitan ”nasionalisme” baru Indonesia saat ini. Nasionalisme
yang tidak diinisiasi atau diformulasi oleh teori atau gagasan-gagasan abad XIX
dan XX dalam politik ini. Nasionalisme yang jauh lebih lokal, berakar,
sebutlah: genuine!
Dalam tatar kebangsaan, Indonesia yang kini
given, arus keras diskursus di bagian awal tulisan—tidak peduli dengan isu-isu
murahan tentang ”Atlantis” atau celotehan fiksional Plato itu—memang sudah
sepantasnya menjadi perhatian para petinggi republik ini. Bukan sekadar sebagai
kegenitan atau romantisme, melainkan sebagai usaha politik. Lebih tepatnya
usaha peradaban (saya kerap menggunakan kata ini karena Nusantara dalam
perhitungan saya bukan hanya melahirkan kebudayaan, juga sebuah peradaban,
dalam perhitungan apa pun) menegakkan bangsa dan negara ini.
Dan, saya tidak akan pernah berhenti
mengatakan hal ini. Sebab, semua itu tidak bisa tidak membutuhkan bukan sekadar
political will, tetapi lebih utama political courageous. Sebuah modal mental
dari negarawan kita untuk berhadapan dengan dunia lewat klaim kebudayaan.
Kita tahu, pada masa ini, kata terakhir itu
(baca: kebudayaan) kini berkembang menjadi mantra paling ampuh. Bukan hanya
untuk survive, berjaya, bahkan berkuasa, hingga tingkat dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar