Motif
Israel ke Iran
Ibnu Burdah, PEMERHATI MASALAH TIMUR TENGAH DAN DUNIA
ISLAM,
DOSEN FAKULTAS ADAB UIN SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
Sumber
: SUARA MERDEKA, 22 Februari 2012
KETEGANGAN Iran dan
Israel-negara Barat terus mengalami eskalasi. Setelah saling serang kata antara
Iran dan Israel mereda, rentetan aksi teror yang menimpa kedua pihak yang
diikuti saling tuding kembali membuka kekhawatiran dilaksanakannya serangan
Israel terhadap Iran. Adapun Iran terus memantapkan kapasitas dan kemampuan
pertahanannya untuk menghadapi kemungkinan serangan cepat angkatan udara
Israel.
Seriuskah ancaman ofensif terhadap fasilitas nuklir Iran, hanya gertak sambal, atau pengalihan isu dari tumpukan persoalan yang membelitnya? Sejak beberapa tahun lalu para pemimpin Israel berulangkali melontarkan ancaman serupa terhadap Iran. Setelah Ariel Sharon, Tzipi Livni, dan Shimon Peres, salah satu ancaman sangat keras dilontarkan oleh Ehud Olmert, PM Israel yang biasanya cukup tenang. Faktanya, ancaman itu kembali tidak terbukti hingga akhir pemerintahannya.
Apakah hal itu berulang pada masa pemerintahan kedua Benjamin Netanyahu? Beberapa waktu lalu media dunia memberitakan rencana Israel menyerang Iran. Faktanya isu itu kembali tidak terbukti. Kendati dari kualitas dan intensitasnya, ketegangan saat ini tampak lebih keras dan menjurus aksi nyata. Namun yang jelas pemerintahan Israel belakangan ini menghadapi persoalan berat, tak hanya di dalam negeri dan kawasan, tapi juga di forum internasional.
Di dalam negeri, pemerintahan Netanyahu mendapat tekanan luar biasa dari gerakan rakyat yang menuntut keadilan ekonomi, terutama isu perumahan. Protes rakyat merata di seluruh negeri melibatkan lebih dari 0,5 juta orang, padahal jumlah rakyat hanya sekitar 6 juta jiwa. Jumlah pemrotes seperti itu belum pernah terjadi, termasuk protes dalam isu perdamaian dan keamanan yang biasanya menyita perhatian besar rakyat.
Pembangunan permukiman di wilayah konflik juga menjadi sorotan pengunjuk rasa. Selain terus memicu ketegangan dengan Palestina dan negara Arab, proyek itu menelan biaya sangat besar, baik untuk pemeliharaan, fasilitas khusus yang harus tersedia, maupun pengamanan ekstraketat dalam waktu lama.
Perubahan Sikap
Protes itu telah memberi tekanan luar biasa terhadap survival pemerintahan Netanyahu. Karena itu, pemerintah segera menyatakan ada kesalahan fundamental dalam kebijakan ekonominya yang terlalu liberal dan mulai mengabaikan prinsip sosialisme yang sesungguhnya merupakan pilar awal masyarakat.
Dalam pergaulan di kawasan pun Israel mengalami tekanan hebat. Jatuhnya rezim Mubarak merupakan pukulan terberat. Israel bukan hanya kehilangan aliansi Arab yang kuat dan berpengaruh. Aspirasi dan sentimen negatif rakyat Mesir terhadap Israel ternyata sangat tinggi. Perubahan sikap resmi Mesir, jika benar-benar terwujud, adalah bencana bagi Israel. Pergantian rezim hasil pemilu konstitusi di Tunisia menggambarkan arah perubahan negara-negara Arab hasil revolusi.
Secara umum, rakyat di negara-negara Arab menolak kerja sama pemerintahnya dengan Israel selama Palestina belum merdeka. Pemerintahan negara Arab juga berupaya, setidaknya dalam pernyataan verbalnya, tidak mendekat ke Israel sebab akan membuat mereka makin tidak populis di mata rakyatnya, apalagi di tengah kuatnya gelombang gerakan rakyat.
Keberhasilan Palestina memperoleh keanggotaan di UNESCO cukup membuat Israel kelabakan. Kesediaan Israel mengalah dalam deal pertukaran tawanan dengan Hamas beberapa waktu lalu diperkirakan terkait dengan keinginan Netanyahu mengurangi tekanan internasional dan mengalihkan perhatian dari isu keanggotaan Palestina di PBB. ●
Seriuskah ancaman ofensif terhadap fasilitas nuklir Iran, hanya gertak sambal, atau pengalihan isu dari tumpukan persoalan yang membelitnya? Sejak beberapa tahun lalu para pemimpin Israel berulangkali melontarkan ancaman serupa terhadap Iran. Setelah Ariel Sharon, Tzipi Livni, dan Shimon Peres, salah satu ancaman sangat keras dilontarkan oleh Ehud Olmert, PM Israel yang biasanya cukup tenang. Faktanya, ancaman itu kembali tidak terbukti hingga akhir pemerintahannya.
Apakah hal itu berulang pada masa pemerintahan kedua Benjamin Netanyahu? Beberapa waktu lalu media dunia memberitakan rencana Israel menyerang Iran. Faktanya isu itu kembali tidak terbukti. Kendati dari kualitas dan intensitasnya, ketegangan saat ini tampak lebih keras dan menjurus aksi nyata. Namun yang jelas pemerintahan Israel belakangan ini menghadapi persoalan berat, tak hanya di dalam negeri dan kawasan, tapi juga di forum internasional.
Di dalam negeri, pemerintahan Netanyahu mendapat tekanan luar biasa dari gerakan rakyat yang menuntut keadilan ekonomi, terutama isu perumahan. Protes rakyat merata di seluruh negeri melibatkan lebih dari 0,5 juta orang, padahal jumlah rakyat hanya sekitar 6 juta jiwa. Jumlah pemrotes seperti itu belum pernah terjadi, termasuk protes dalam isu perdamaian dan keamanan yang biasanya menyita perhatian besar rakyat.
Pembangunan permukiman di wilayah konflik juga menjadi sorotan pengunjuk rasa. Selain terus memicu ketegangan dengan Palestina dan negara Arab, proyek itu menelan biaya sangat besar, baik untuk pemeliharaan, fasilitas khusus yang harus tersedia, maupun pengamanan ekstraketat dalam waktu lama.
Perubahan Sikap
Protes itu telah memberi tekanan luar biasa terhadap survival pemerintahan Netanyahu. Karena itu, pemerintah segera menyatakan ada kesalahan fundamental dalam kebijakan ekonominya yang terlalu liberal dan mulai mengabaikan prinsip sosialisme yang sesungguhnya merupakan pilar awal masyarakat.
Dalam pergaulan di kawasan pun Israel mengalami tekanan hebat. Jatuhnya rezim Mubarak merupakan pukulan terberat. Israel bukan hanya kehilangan aliansi Arab yang kuat dan berpengaruh. Aspirasi dan sentimen negatif rakyat Mesir terhadap Israel ternyata sangat tinggi. Perubahan sikap resmi Mesir, jika benar-benar terwujud, adalah bencana bagi Israel. Pergantian rezim hasil pemilu konstitusi di Tunisia menggambarkan arah perubahan negara-negara Arab hasil revolusi.
Secara umum, rakyat di negara-negara Arab menolak kerja sama pemerintahnya dengan Israel selama Palestina belum merdeka. Pemerintahan negara Arab juga berupaya, setidaknya dalam pernyataan verbalnya, tidak mendekat ke Israel sebab akan membuat mereka makin tidak populis di mata rakyatnya, apalagi di tengah kuatnya gelombang gerakan rakyat.
Keberhasilan Palestina memperoleh keanggotaan di UNESCO cukup membuat Israel kelabakan. Kesediaan Israel mengalah dalam deal pertukaran tawanan dengan Hamas beberapa waktu lalu diperkirakan terkait dengan keinginan Netanyahu mengurangi tekanan internasional dan mengalihkan perhatian dari isu keanggotaan Palestina di PBB. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar