Manajemen
Perikanan Amburadul
Suhana, KEPALA
RISET PUSAT KAJIAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERADABAN MARITIM
Sumber
: SINAR HARAPAN, 22 Februari 2012
Kisruh impor ikan dalam dua tahun terakhir
belum menemukan titik terang dalam penyelesaiannya. Hal ini menunjukkan bahwa
manajemen pengelolaan perikanan nasional semakin amburadul. Amburadulnya
manajemen perikanan nasional terlihat dari tidak konsistennya arah kebijakan
perikanan nasional.
Arah kebijakan perikanan nasional dalam
periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini terlihat tidak fokus. Pada
periode Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, arah kebijakan
perikanan lebih menekankan pada peningkatan produksi ikan nasional sampai 353
persen, sehingga pada periode tersebut impor ikan secara tegas diminta untuk
dihentikan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan
gegap gempita meyakinkan publik bahwa kebutuhan ikan nasional dapat dipenuhi
oleh produksi dalam negeri, jadi tidak perlu impor ikan.
Dukungan publik terhadap kebijakan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut sangat tinggi. Namun
demikian, publik masih belum yakin 100 persen terhadap penghentian impor ikan
tersebut karena di lapangan banyak ditemukan ikan-ikan impor yang sudah
merembes ke pasar-pasar tradisional.
Memasuki periode Menteri Kelautan dan
Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, arah kebijakan kelautan dan perikanan berubah
dari pendekatan produksi ikan menjadi industrialisasi perikanan berbasis unit
pengolahan ikan (UPI). Namun demikian, perubahan kebijakan tersebut terlihat
tidak didukung perencanaan yang matang.
Hal ini terlihat dari industrialisasi
perikanan yang dikembangkan ternyata berbasis di Pulau Jawa yang sudah tidak
memiliki dukungan bahan baku ikan. Akibatnya, KKP kembali dengan gegap gempita
menyakinkan publik dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan pentingnya ikan impor
untuk memasok kebutuhan bahan baku UPI nasional, dan akhirnya impor ikan
kembali dilegalkan.
Namun demikian, publik—termasuk penulis—tidak
yakin ikan yang diimpor tersebut hanya untuk kebutuhan bahan baku UPI nasional,
namun banyak yang langsung masuk ke pasar-pasar tradisional. Ketidakyakinan
penulis tersebut didasarkan pada hasil analisis terhadap dugaan maraknya impor
ikan ilegal yang masuk ke Indonesia tahun 2010.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa
dugaan impor ikan ilegal Indonesia dari China pada 2010 mencapai 51,28 persen
dari total nilai impor ikan Indonesia dari China. Namun demikian, walaupun
impor ikan nasional meningkat, ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap
jumlah kapasitas terpakai pada industri pengolahan ikan nasional.
Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan bahwa
pada periode 2010, kapasitas industri perikanan yang terpakai hanya mencapai di
bawah 70 persen, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya,
impor ikan tersebut tidak sepenuhnya diperuntukkan bagi pasokan kebutuhan bahan
baku UPI, namun langsung dipasarkan ke pasar-pasar dalam negeri.
Ekspor Ikan Ilegal
Di tengah tingginya laju impor ikan nasional,
penulis menemukan data yang menunjukkan aktivitas ekspor ikan ilegal dari
Indonesia ke negara lain, khususnya Thailand, semakin tinggi. Data UN-Comtrade
(2011) mengindikasikan semakin maraknya ekspor ikan tuna ilegal dari Indonesia
ke Thailand.
Pada 2000, tercatat dugaan ekspor ikan tuna albacore secara ilegal mencapai 52
persen dari total volume ekspor ikan tuna albacore Indonesia ke Thailand, yaitu
271.419 kg dengan nilai mencapai US$ 1.070.630.
Sementara itu, pada 2010, dugaan ekspor ikan
tuna albacore ilegal ke Thailand
semakin meningkat sampai 69,20 persen dari total volume ekspor ikan tuna albacore
Indonesia ke Thailand. Volume ekspor ikan tuna albacore ilegal dari Indonesia ke Thailand tahun 2010 diperkirakan
mencapai 2.352.724 kg dengan nilai mencapai US$ 8.326.839.
Pasokan bahan baku ilegal tersebut rupanya
dimanfaatkan Thailand untuk memasok kebutuhan bahan baku industri pengolahan
ikan yang ada di negara tersebut. Thailand selama ini terkenal di dunia sebagai
pemasok utama produk ikan olahan, padahal sekitar 90 persen pasokan bahan
bakunya berasal dari Indonesia dan Filipina.
Hal ini terbukti pada tahun 2010 UN-Comtrade memosisikan Thailand sebagai
negara kedua terbesar dunia sebagai pemasok produk ikan olahan setelah China,
sementara Indonesia hanya puas di posisi 10 terbesar dunia.
Total kontribusi Thailand terhadap total
ekspor produk ikan olahan mencapai 20,2 persen, sementara Indonesia hanya
berkontribusi 2,7 persen dari total ekspor produk ikan olahan dunia.
Tidak Dinikmati
Berdasarkan hal tersebut, sungguh ironis
sumber daya ikan Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti tuna
ternyata tidak dinikmati oleh para nelayan dan industri pengolahan ikan dalam
negeri. Di sisi lain, Unit Pengolahan Ikan Nasional setiap tahunnya
berlomba-lomba terus meningkatkan impor bahan baku ikan pindang dan ikan asin.
Kebijakan pengembangan industri pengolahan
ikan pindang dan asin secara besar-besaran oleh KKP menunjukkan bahwa secara
sistematis masyarakat Indonesia akan disuguhi oleh konsumsi ikan pindang dan
ikan asin, di mana nilai kandungan gizinya sangat rendah, bahkan cenderung
tidak ada.
Sementara itu, ikan segar yang memiliki
kandungan gizi baik lebih banyak di ekspor, baik legal maupun ilegal ke pasar
internasional. Dengan demikian, sangat wajar apabila kualitas sumber daya
manusia Indonesia sulit berkembang dengan baik karena hanya disediakan konsumsi
ikan pindang dan ikan asin.
Berdasarkan kondisi tersebut, KKP hendaknya
segera mengevaluasi kembali kebijakan industrialisasi perikanan berbasis bahan
baku impor. Industrialisasi perikanan yang dikembangkan harus berbasis bahan
baku dalam negeri, sehingga pengembangan industri pengolahan ikan jangan
dipusatkan di Pulau Jawa, tapi harus dikembangkan di pusat-pusat bahan baku
seperti di kawasan Indonesia bagian timur.
Oleh sebab itu, dukungan infrastruktur
seperti listrik, bahan bakar minyak, air bersih, dan transportasi antarpulau di
kawasan Indonesia bagian timur perlu segera dibenahi.
Sementara itu, untuk menjaga ketersediaan
bahan baku sepanjang tahun, pemerintah perlu secepatnya membentuk Bulog
Perikanan. Hal ini diperlukan mengingat produksi ikan para nelayan sangat
tergantung kondisi cuaca, sehingga keberadaan Bulog Perikanan diperlukan guna
mengatur manajemen ketersediaan bahan baku ikan untuk UPI dan kebutuhan
konsumsi langsung masyarakat.
Selain itu, pengembangan industrialisasi
perikanan hendaknya tidak hanya difokuskan untuk komoditas ikan, tetapi perlu
dikembangkan untuk industri pengolahan rumput laut.
Hal ini karena dalam 10 tahun terakhir
produksi rumput laut terus menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan,
bahkan saat ini kontribusinya sudah di atas 60 persen dari total produksi
perikanan budi daya.
Sementara itu, demi mencegah semakin
tingginya kasus ekspor ikan ilegal dari Indonesia ke negara lain, Kementerian
Kelautan dan Perikanan perlu meningkatkan pengawasan di perairan Indonesia. Ini
karena dugaan kuat ekspor ikan ilegal tersebut dilakukan di tengah laut oleh
para oknum nelayan dan pengusaha perikanan nasional.
Alhasil tanpa adanya perubahan perencanaan
pembangunan perikanan yang baik, manajemen perikanan nasional akan semakin
amburadul. Oleh sebab itu, KKP perlu segera mereformulasi kebijakan perikanan
nasional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar