Diskontinuitas
Politik Hukum Pemilu
Muh Aziz Hakim, MAGISTER
ILMU HUKUM ALUMNUS UNIVERSITAS INDONESIA,
PENGURUS PIMPINAN PUSAT GP ANSOR
Sumber
: SUARA KARYA, 23 Februari 2012
"Pembahasan RUU Perubahan UU Pemilu
memiliki risiko terjadinya diskontinuitas atau pembelokan arah pembangunan
politik hukum pemilu"
SAAT ini seluruh fraksi di DPR sedang berjibaku menyelesaikan RUU tentang Perubahan UU Pemilu. Beberapa pasal krusial terus menyita perdebatan, semisal ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, sistem pemilihan, dan mekanisme penghitungan/penetapan kursi. Patut diduga, kalkulasi untung rugi terhadap nasib masa depan partai, bahkan elite partai, lebih dominan ketimbang upaya membangun sistem pemilu yang berbasis pada substansi demokrasi dan kepentingan masa depan bangsa. Jadi, layak mempertanyakan arah politik hukum pemilu.
Setidaknya ada dua pandangan mengenai politik hukum. Pertama; mengartikan sebagai rechtspolitiek, yang oleh Bellefroid dikatakan menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan pada hukum agar memenuhi syarat-syarat baru dari kehidupan kemasyarakatan. Kedua; memaknai sebagai kebijakan (legal policy) secara nasional. Pandangan ini di Indonesia dipopulerkan Mahfud MD yang menyatakan mengapa politik mengintervensi hukum, bagaimana politik memengaruhi hukum, dan sistem politik yang bagaimana melahirkan hukum yang bagaimana.
Dalam perpekstif penulis, politik hukum sebagai rechtspolitiek ada pada dataran normatif alias das sein. Adapun politik hukum bukan sebagai rechtspolitiek ada pada dataran realitas atau das sollen. Realitas intervensi politik itulah yang mewarnai politik hukum pemilu di Indonesia pada era reformasi.
Sejatinya politik hukum pemilu pada era reformasi mengalami perkembangan signifikan. Terjadi metamorfosis pada unsur-unsur utama pemilu, minimal melihat dari kacamata penyelenggara, peserta, dan sistem pemilihan. Pemilu 1999 diselenggarakan KPU yang beranggotakan pengurus partai peserta pemilu dan pemerintah. Pemilu 2004 dan 2009 diselenggarakan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri, beranggotakan unsur nonpartai politik.
Dalam penyelenggaraannya ada dampak positif dan negatif. Kelemahan paling menonjol pada penyelenggaraan Pemilu 1999 adalah instabilitas KPU mengambil beberapa keputusan penting sehingga tak berhasil menyelesaikan tugas pentingnya berupa penetapan hasil. Kelemahan menonjol pada KPU Pemilu 2004 terletak pada keterlibatan anggota, sampai detail teknis, seperti pengadaan tinta yang berakibat jeratan hukum. Kelebihannya, KPU 2004 relatif berhasil menyelenggarakan pemilu.
Diskontinuitas
Ketentuan mengenai peserta pileg juga mengalami metamorfosis. Persyaratan yang dibebankan kepada calon peserta pemilu makin ketat. Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian partai dan persyaratan menjadi peserta pemilu sangat longgar. Pada Pemilu 2004 mulai diperketat, dan lebih ketat lagi pada Pemilu 2009.
Sistem pileg pada pemilu era reformasi menggunakan sistem yang sama, yakni proporsional. Hanya ada perbedaan mendasar dalam praktiknya, sekaligus penentuan kursi anggota legislatif. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional stelsel daftar. Pada Pemilu 1999 ini, daftar caleg diumumkan di tempat pengumuman, dan kartu suara hanya mencantumkan tanda gambar partai. Penentuan kursi ditentukan sesuai perolehan suara dan nomor urut calon dari partainya.
Pileg 2004 menggunakan proporsional dengan daftar terbuka. Dalam praktiknya, daftar caleg tercantum dalam kertas suara. Caleg yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) nomor urut berapa pun, berhak duduk menjadi anggota legislatif. Jika tidak ada calon yang memenuhi BPP maka yang dipakai adalah kembali ke nomor urut.
Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Perbedaannya dengan Pemilu 2004 terletak pada penentuan kursi dengan menetapkan perolehan suara terbanyak. Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 adalah penentu berlakunya ketentuan suara terbanyak ini. Nomor urut calon dalam Pemilu 2009 menjadi tidak terlalu signifikan.
Dalam penyelenggaraan pemilu era reformasi, terdapat perubahan mengenai ambang batas dan implikasinya. Pemilu 1999 dan 2004 memakai ambang batas elektoral dan partai yang tidak lolos hanya mendapat punishment tidak ikut pemilu berikutnya bila menggunakan nama partai sama, namun perolehan kursi di DPR, DPRD I dan II masih tetap.
Pada Pemilu 2009 juga ada ketentuan mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT). Mendasarkan pada Pasal 202 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008, partai yang tidak memenuhi ambang batas harus merelakan kursinya di DPR, meskipun eksistensi partai tetap diakui.
Dalam perkembangannya, pembahasan RUU tentang Perubahan UU Pemilu memiliki risiko terjadinya diskontinuitas atau pembelokan arah terhadap pembangunan politik hukum pemilu. Hal itu itu terkait dengan penentuan sistem pemilihan dan patokan suara yang menentukan ambang batas. Pertama; sistem pemilihan, yang masih terjadi perdebatan alot tentang sistem proporsional daftar terbuka atau tertutup. Beberapa partai, seperti PKS dan PKB, mengusulkan sistem proporsional tertutup (Republika, 24/01/12). Jika memakai proporsional daftar tertutup maka terjadi kemunduran karena hanya menguntungkan elite partai. Pemilih pun seolah dipaksa kembali memilih kucing dalam karung.
Kedua; patokan PT ’’hanya’’ suara sah nasional. Pasal 202 dalam RUU Perubahan UU Pemilu menyebutkan partai peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5-5% dari suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, DPRD I, dan II.
Konsekuensinya adalah meniadakan partai tertentu yang memperoleh suara signifikan pada suatu kabupaten/ kota atau provinsi. Dengan ketentuan itu, risiko tereduksinya aspirasi rakyat dalam menentukan wakil-wakil mereka di DPRD kabupaten/ kota dan DPRD provinsi sangat besar. Realitas ini membahayakan demokratisasi terutama di tingkat lokal. ●
SAAT ini seluruh fraksi di DPR sedang berjibaku menyelesaikan RUU tentang Perubahan UU Pemilu. Beberapa pasal krusial terus menyita perdebatan, semisal ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, sistem pemilihan, dan mekanisme penghitungan/penetapan kursi. Patut diduga, kalkulasi untung rugi terhadap nasib masa depan partai, bahkan elite partai, lebih dominan ketimbang upaya membangun sistem pemilu yang berbasis pada substansi demokrasi dan kepentingan masa depan bangsa. Jadi, layak mempertanyakan arah politik hukum pemilu.
Setidaknya ada dua pandangan mengenai politik hukum. Pertama; mengartikan sebagai rechtspolitiek, yang oleh Bellefroid dikatakan menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan pada hukum agar memenuhi syarat-syarat baru dari kehidupan kemasyarakatan. Kedua; memaknai sebagai kebijakan (legal policy) secara nasional. Pandangan ini di Indonesia dipopulerkan Mahfud MD yang menyatakan mengapa politik mengintervensi hukum, bagaimana politik memengaruhi hukum, dan sistem politik yang bagaimana melahirkan hukum yang bagaimana.
Dalam perpekstif penulis, politik hukum sebagai rechtspolitiek ada pada dataran normatif alias das sein. Adapun politik hukum bukan sebagai rechtspolitiek ada pada dataran realitas atau das sollen. Realitas intervensi politik itulah yang mewarnai politik hukum pemilu di Indonesia pada era reformasi.
Sejatinya politik hukum pemilu pada era reformasi mengalami perkembangan signifikan. Terjadi metamorfosis pada unsur-unsur utama pemilu, minimal melihat dari kacamata penyelenggara, peserta, dan sistem pemilihan. Pemilu 1999 diselenggarakan KPU yang beranggotakan pengurus partai peserta pemilu dan pemerintah. Pemilu 2004 dan 2009 diselenggarakan KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri, beranggotakan unsur nonpartai politik.
Dalam penyelenggaraannya ada dampak positif dan negatif. Kelemahan paling menonjol pada penyelenggaraan Pemilu 1999 adalah instabilitas KPU mengambil beberapa keputusan penting sehingga tak berhasil menyelesaikan tugas pentingnya berupa penetapan hasil. Kelemahan menonjol pada KPU Pemilu 2004 terletak pada keterlibatan anggota, sampai detail teknis, seperti pengadaan tinta yang berakibat jeratan hukum. Kelebihannya, KPU 2004 relatif berhasil menyelenggarakan pemilu.
Diskontinuitas
Ketentuan mengenai peserta pileg juga mengalami metamorfosis. Persyaratan yang dibebankan kepada calon peserta pemilu makin ketat. Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian partai dan persyaratan menjadi peserta pemilu sangat longgar. Pada Pemilu 2004 mulai diperketat, dan lebih ketat lagi pada Pemilu 2009.
Sistem pileg pada pemilu era reformasi menggunakan sistem yang sama, yakni proporsional. Hanya ada perbedaan mendasar dalam praktiknya, sekaligus penentuan kursi anggota legislatif. Pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional stelsel daftar. Pada Pemilu 1999 ini, daftar caleg diumumkan di tempat pengumuman, dan kartu suara hanya mencantumkan tanda gambar partai. Penentuan kursi ditentukan sesuai perolehan suara dan nomor urut calon dari partainya.
Pileg 2004 menggunakan proporsional dengan daftar terbuka. Dalam praktiknya, daftar caleg tercantum dalam kertas suara. Caleg yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) nomor urut berapa pun, berhak duduk menjadi anggota legislatif. Jika tidak ada calon yang memenuhi BPP maka yang dipakai adalah kembali ke nomor urut.
Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Perbedaannya dengan Pemilu 2004 terletak pada penentuan kursi dengan menetapkan perolehan suara terbanyak. Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 adalah penentu berlakunya ketentuan suara terbanyak ini. Nomor urut calon dalam Pemilu 2009 menjadi tidak terlalu signifikan.
Dalam penyelenggaraan pemilu era reformasi, terdapat perubahan mengenai ambang batas dan implikasinya. Pemilu 1999 dan 2004 memakai ambang batas elektoral dan partai yang tidak lolos hanya mendapat punishment tidak ikut pemilu berikutnya bila menggunakan nama partai sama, namun perolehan kursi di DPR, DPRD I dan II masih tetap.
Pada Pemilu 2009 juga ada ketentuan mengenai ambang batas parlemen (parliamentary threshold/ PT). Mendasarkan pada Pasal 202 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008, partai yang tidak memenuhi ambang batas harus merelakan kursinya di DPR, meskipun eksistensi partai tetap diakui.
Dalam perkembangannya, pembahasan RUU tentang Perubahan UU Pemilu memiliki risiko terjadinya diskontinuitas atau pembelokan arah terhadap pembangunan politik hukum pemilu. Hal itu itu terkait dengan penentuan sistem pemilihan dan patokan suara yang menentukan ambang batas. Pertama; sistem pemilihan, yang masih terjadi perdebatan alot tentang sistem proporsional daftar terbuka atau tertutup. Beberapa partai, seperti PKS dan PKB, mengusulkan sistem proporsional tertutup (Republika, 24/01/12). Jika memakai proporsional daftar tertutup maka terjadi kemunduran karena hanya menguntungkan elite partai. Pemilih pun seolah dipaksa kembali memilih kucing dalam karung.
Kedua; patokan PT ’’hanya’’ suara sah nasional. Pasal 202 dalam RUU Perubahan UU Pemilu menyebutkan partai peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5-5% dari suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, DPRD I, dan II.
Konsekuensinya adalah meniadakan partai tertentu yang memperoleh suara signifikan pada suatu kabupaten/ kota atau provinsi. Dengan ketentuan itu, risiko tereduksinya aspirasi rakyat dalam menentukan wakil-wakil mereka di DPRD kabupaten/ kota dan DPRD provinsi sangat besar. Realitas ini membahayakan demokratisasi terutama di tingkat lokal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar