Kamis, 23 Februari 2012

Ideal yang Tidak Realistis


Ideal yang Tidak Realistis
L. WIlardjo, FISIKAWAN
Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012


Isi tulisan Terry Mart, ”Hakikat Seberkas Makalah Ilmiah”, dua hari lalu, di rubrik ini benar dan baik. Kita mendukung upaya untuk merealisasikannya. Namun, untuk Indonesia sekarang ini, yang didambakan oleh Terry Mart dan dituntut oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu tidak realistis.
Kalau ringkasan disertasi yang berhasil dipertahankan di Universitas Indonesia—tempat Prof Terry Mart, dr rer nat menjadi guru besar—pasti terpublikasikan di jurnal internasional yang sudah mapan, itu sungguh luar biasa.

Universitas Indonesia pantas menyebut dirinya sebagai sebuah universitas penelitian yang pamornya secemerlang Caltec, MIT, atau Stanford. Namun, benarkah begitu?
Di S-3 Fasilkom UI, salah satu syarat untuk lulus dan menjadi doktor memang publikasi internasional, tetapi tidak harus di jurnal ilmiah internasional yang sudah mapan, seperti Physical Review, Journal of Molecular Spectroscopy, Annalen der Physik, dan Nature .
Asalkan ringkasan disertasi itu sudah dipresentasikan di sebuah konferensi, lalu masuk ke dalam proceedings konferensi tersebut, itu sudah cukup. Standar semacam itu pun tidak dapat dicapai oleh banyak program S-3 di Indonesia.

Bahwa di Jerman sebuah Diplomarbeit dapat dipublikasikan di jurnal internasional, barangkali benar. Jerman memang negara maju yang hebat.

Namun, di sana tidak ada syarat publikasi di jurnal ilmiah internasional yang sudah mapan bagi mahasiswa yang akan mendapatkan gelar doktor. Begitulah kata teman saya yang seorang dr rer theol (doktor di bidang Theologia) dari Ludwig Maximilian Universitaet di Muenchen. Di Amerika juga tak ada syarat semacam itu!

Yang ada ialah syarat mampu memahami tulisan ilmiah di bidangnya dalam tiga bahasa asing yang dipakai dalam jurnal-jurnal ilmiah internasional. Kemampuan itu dibuktikan dalam ujian individual.

Di program S-3, beberapa perguruan tinggi negeri Indonesia, dalam ujian tertulis buku terbuka pun, masih ada mahasiswa yang curang: bekerja sama dengan teman atau mencontek.

Banyak yang menjawab soal atau pertanyaan dengan hanya menyalin pernyataan yang ada di dalam buku.

Pernyataan itu memang benar, tetapi tidak ada kena-mengenanya sama sekali dengan persoalan yang diberikan. Jadi, jawaban mereka asbun, asal bunyi.

Skor TOEFL 510 sebagai salah satu syarat lulus di program doktor suatu perguruan tinggi swasta di Indonesia juga tidak tercapai oleh semua mahasiswa.

Apalagi kalau skor TOEFL harus tak kurang dari 600, seperti ditetapkan Menteri Perdagangan bagi para pegawai di kementerian itu. Tuntutan Gita Wirjawan ini, seperti juga tuntutan Dirjen Dikti Djoko Santoso, bagus, tetapi tak jelas juntrungannya.

Jitu

Usul Romo Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia, menurut Terry Mart, ”jelas salah besar ”. Pada hemat saya, yang salah besar bukan Romo Franz, tetapi Terry Mart. Terry menerima kalimat Romo Franz itu secara harfiah- denotatif, padahal kata-kata itu dimaksudkan sebagai sinisme. Dan, sebagai sinisme, yang ”di - anjurkan” Romo Franz itu justru pas atau jitu.

Bagaimana kita bisa menuntut semua mahasiswa S-3 menerbitkan makalah mereka di jurnal ilmiah internasional, yang tentu harus ditulis dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, atau bahasa ”internasional” lain yang dipakai di PBB dan di jurnal-jurnal itu?

Syarat publikasi di jurnal ilmiah internasional itu untuk program S-3 di Indonesia sekarang ini ideal, artinya setali tiga uang dengan tidak realistis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar