Rabu, 22 Februari 2012

Momentum Sinergi Indonesia


Momentum Sinergi Indonesia
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 22 Februari 2012


Apa yang penting dari pernyataan bersama para pemimpin lembaga tinggi negara beberapa hari lalu.
Bukan saja munculnya kesadaran “baru” di kalangan penentu kebijakan tentang paradoks demokrasi yang terjadi pada tingkat implementasinya, melainkan juga kesadaran “umum”yang dapat muncul di kalangan publik luas: demokrasi adalah ideal yang ternyata memiliki kemustahilannya sendiri secara internal. Betul, paradoks demokrasi sebenarnya hanyalah contoh— salah satu yang terbaik—dari paradoks apa pun yang bersifat ideal (idealisme, ideologi, dan sebagainya), saat idea tersebut menyentuh ranah praktis; mendapatkan wujudnya dalam (perilaku/diri) manusia.

Karena manusia sendiri juga adalah sebuah paradoks. Sebagai makhluk, manusia adalah sebuah idea(l) yang luar biasa— terlebih jika mengimaninya sebagai “the creature of God”— tapi pada saat yang bersamaan manusia juga pengkhianat dan perusak idea(l) itu karena ada tabiat kodratinya yang jaiz. Tabiat itu adalah produk dari kapasitas dasar manusia dalam berpikir dan berkehendak, yang memungkinkannya menimbang, memilih, bahkan ragu sehingga membuat manusia, satu kepastian natural,menjadi selalu relatif secara nurtural. Apalagi sebuah ideal macam demokrasi.

Lantaran ia sendiri adalah produk dari manusia secara nurtural,ia bukan hanya paradoksal dalam praksisnya, melainkan juga dalam epistemologinya, dalam idea-idea di dalamnya sendiri.Realitas yang membuat demokrasi justru memproduksi kemus-tahilan justru bagi idealnya sendiri. Karena itu, saya menyebut kesadaran awal di atas sebagai “baru”disebabkan pengetahuan kita tentang para petinggi atau pengambil kebijakan negeri ini yang tak lain adalah para “pemeluk teguh” dari jargon-jargon keadaban global— yang notabene oksidental— di mana demokrasi adalah anak kandung kesayangannya.

Mereka, para elite dan petinggi itu, seolah menjadi pandir karena buta pada praktik-praktik demokrasi yang bias bahkan deviatif yang justru dilakukan oleh negara-negara oksidental dalam sejarah modernnya. Beberapa dekade belakangan memperlihatkan bagaimana elite lokal itu terus mempertebal keimanan “demokratis”- nya dengan terus memproduksi lembaga-lembaga penunjangnya, termasuk lembaga yang hampir nol fungsinya.

Kini mereka mulai menyadari betapa sebenarnya demokrasi tidak bekerja—sebagaimana di atas kertas teoritiknya— di dalam kehidupan dan kepentingan rakyat jelata,konstituen yang justru menjadi arah idealisasinya. Demokrasi menciptakan kekecewaan yang berulang dan kian represif di kalangan rakyat. Demokrasi tak lain telah menjadi alat kekuasaan, alat bagi kepentingan kaum elite untuk mempertahankan dominasinya, bukan hanya secara politis, melainkan juga ekonomis,bahkan akademis, agamais, hingga sosial dan kultural.

Korupsi, manipulasi,hingga kekerasan secara fisikal, sosial, dan kultural yang belakangan seperti menjadi identitas dalam hidup kita berbangsa dan bernegara, sebenarnya tidak lain dari praktik-praktik deviatif dari perilaku sistemik kita. Perilaku yang diproduksi oleh sistem-sistem bernegara dan berbangsa yang kita pilih sendiri melalui kekuasaan yang kita delegasikan secara serampangan pada segerombolan elite itu.Gerombolan yang telah dengan kasar membajak semua idea kebangsaan para pendiri kita hanya untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasi mereka.

Betapapun terlalu lambatnya kesadaran itu datang,hingga praktik-praktik deviatif itu bukan lagi bersifat temporer dan kasuistik, namun telah menjadi laten bahkan meresap menjadi semacam nilai dan norma, kita harus menyambutnya secara positif. Memperlakukannya sebagai sebuah momentum untuk mendapatkan konsensus tentang perhitungan kembali secara komprehensif dan holistik tentang pilihan-pilihan sistemik kita dalam mengatur hidup berbangsa dan bernegara. Sebuah “kampanye” yang secara personal lebih dua dekade belakangan saya kerahkan semua energi untuknya.

Dalam “kampanye” itu saya pun termasuk menolak etos “demokratis” yang senantiasa bermain posisi untuk meneguhkan eksistensi, menetapkan orientasi, hingga menjalankan aksi. Dalam logika posisional ini,lawan dan kawan menjadi hasil yang tak terelakkan karena kita sebuah posisi ditetapkan maka oposisi pun dengan segera terumuskan. Konflik pun bukan hanya menjadi konsekuensi (logis), melainkan juga prakondisi.Maka siklus pun terbentuk dan berputar,berisi konflik. Konflik harus ada untuk terjadi kesepakatan.

Kesepakatan diproduksi sebagai sebuah hasil negosiasi yang keras, di mana teorinya setengah dari ide dan kepentingan kita dibagi pada pihak lain.Atau lebih parah, kelebihan satu persen, dianggap sebagai kemenangan dalam siklus konflik di atas yang memberi hak pada kita untuk mendominasi seluruh sisa persennya. The winner takes all. Salah satu jargon utama dari praktik siklik di atas, yang tidak lain adalah sebuah norma barbar dan primitif dalam sejarah adab manusia. Kini kita memahami juga mengalami bagaimana pahitnya praktik demokrasi dengan siklus konflik itu.

Korban berjatuhan dengan cara yang menyedihkan. Apa yang lebih menggiriskan, kini bukan hanya elite, melainkan juga rakyat jelata tergiring untuk menginternalisasi nilai, norma, hingga watak-watak kasar, jahat, kriminal, individual, yang melawan hampir semua ide-ide kemanusiaan luhur yang pernah dihasilkan bangsa ini. Kita sebagai manusia dan bangsa, digiring untuk menjadi biadab dan barbar.

Momentum

Ini bukan lagi sebuah fallacy atau kekeliruan peradaban, melainkan ini sudah tragedi (civilization tragedy). Sebuah azab yang membutuhkan satu milenium mungkin untuk memperbaikinya, sebagaimana sejarah abad kegelapan (Dark Age) atau tragedi Sodom dan Gomora. Sebuah keadaan yang membuat semua pencapaian menakjubkan dari akal dan kebudayaan kita bukan hanya sia-sia, mencoreng, dan menghina kita di hadapan anak cucu kita,dan lebih parahnya, menciptakan masa depan yang menggiriskan alih-alih masa nanti yang penuh janji.

Karena itulah,kita harus memanfaatkan situasi ini menjadi momentum perubahan, ketika realitas sosial dan kultural—yang walaupun kritis—masih memungkinkan, akal sehat masih ada, dan potensi-potensi luar biasa justru menampakkan kualitas dahsyatnya. Bila saya melakukan ajakan ini, bukan hanya karena perhitungan akali dan intuisi belaka,bukan hanya karena ideal sederhana tentang kejayaan negeri ini, melainkan juga karena berangkat dari pengalaman betapa negeri ini sebenarnya dibangun dan dipertahankan selama beberapa milenia justru kekuatan dan kapasitas-kapasitas internalnya.

Peduli dengan bayangan— yang ilusif, romantik, mitik, atau isapan jempol menurut sebagian ilmuwan—tentang kejayaan bangsa ini di masa ribuan tahun sebelum masehi,yang jelas fakta ribuan menunjukkan bahwa kita memiliki kejayaan itu juga di kurun masehi, yang sejarah global (oksidental sebenarnya) sejak 1.500 tahun lalu tidak mau mencatatnya. Katakanlah Sriwijaya, kerajaan besar dari abad lima hingga delapan yang membuktikan dunia telah membangun universitas pertama di muka bumi ini dengan reputasi intelektual menembus (bahkan menjadi acuan bagi) pusatpusat peradaban dunia.

Sebagaimana kerajaankerajaan Nusantara lainnya, Sriwijaya adalah negara besar, maju, dan sejahtera yang dibangun tidak berdasar permainan posisional yang menyesatkan di atas. Kecuali setelah kolonialisme hadir,termasuk menghadirkan konflik karena permainan di atas, negeri dan kerajaan di bangun beratus-ratus di kepulauan ini dalam sistem dan mekanisme hubungan yang komplementaristis, yang mutualistis, lengkap dengan norma-norma hidup kosmpolit, egaliter, arasialis, akulturatif, dan seterusnya; norma-norma yang justru mendahului dan mengilhami idea-idea terbaik dalam demokrasi awal di Yunani.

Dalam semangat itulah, siapa pun pihak, seluruh pemangku kepentingan di negeri sebaiknya memanfaatkan momentum ini untuk bekerja seoptimal mungkin untuk memberikan kontribusi terbaiknya dalam menemukan jati diri peradaban Indonesia kita itu. Enyah dan matilah semua kemungkinan dan kecenderungan deviatif,kriminal,atau jahat dalam diri kita. Kerahkan semua energi untuk menciptakan sinergi, Sinergi Indonesia, yang–percayalah—ia akan memberi kita kekuatan dan solusi terbaik dan terhebat yang bisa dihasilkan bangsa ini, bahkan dunia. Sejarah telah membuktikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar