Jumat, 04 November 2011

Pemimpin Minim Ambisi



Pemimpin Minim Ambisi
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : KOMPAS, 04 November 2011



Moammar Khadafy adalah tragik seorang pemimpin flamboyan, berani, dan penuh ambisi. Ia dihujat dan sekaligus dipuja selama 42 tahun berkuasa.

Bagi seorang pilot asal Indonesia, Ganahadi Ratnuatmaja, yang tujuh tahun menjadi pilot pribadi mantan pemimpin Libya itu, Khadafy adalah pribadi peramah dan pemurah. Yang selalu datang ke kokpit untuk bersalaman dan meminta maaf karena beberapa menit terlambat. Yang mengirim saudara kandungnya untuk menghadiri pesta mantu sang pilot di Indonesia. Yang dengan tegas menyatakan bahwa sejak masih berpangkat kolonel mengagumi Soekarno, presiden pertama Indonesia.

Banyak orang di dunia, termasuk para pemimpin, mengagumi Soekarno. Dari sopir di Polandia, pelukis di Montmart, Perancis, Mahathir Mohamad dari Malaysia, hingga almarhum Anwar Sadat dari Mesir.

Soekarno adalah lambang perlawanan terhadap kekuatan dunia dengan retorika, ketegasan, dan keindahan diplomasi. Ia membuat dunia terpaku dan terpukau sehingga ditiru banyak pemimpin dunia setelahnya.

Khadafy adalah salah satu pemimpin yang sungguh mengingatkan kita pada proklamator itu. Cara hidup hingga keberaniannya merobek surat sanksi di depan Majelis Umum PBB mengingatkan kita pada Soekarno yang mengkritik Amerika di forum yang sama. Namun, sejarah memberi mereka nasib berbeda.

Soekarno berkeras melaksanakan demokrasi. Akibatnya, hidup politik yang dibangunnya ricuh sepanjang usia kepemimpinannya. Ia mengakhiri kekuasaan dengan catatan pertumbuhan ekonomi yang kurang sukses, kecuali beberapa proyek mercusuar. Ia digulingkan dan meninggal dalam kesendirian.

Sebaliknya dengan Khadafy. Ia dengan keras—kalau perlu menghabisi lawan-lawan politiknya— menciptakan stabilitas untuk mencapai kemakmuran. Hingga 2010, Libya tercatat sebagai negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tertinggi di Afrika dan nomor 55 di tingkat dunia. Posisi Libya di atas Arab Saudi, Malaysia, Rusia, dan Indonesia yang terpuruk di nomor 111. Menurut Bank Dunia, pendapatan penduduknya nomor 50 dunia dengan 16.837 dollar AS per kapita, jauh di atas Turki, Afrika Selatan, Brasil, dan 400 persen kali negeri ini. Namun, ia digulingkan juga.

Refleksi kepemimpinan

Apa yang terjadi di Libya dan ”Arab Spring” pada umumnya sebenarnya adalah refleksi kepemimpinan bagi kita. Setidaknya, pertama, apa yang terjadi di Libya sebenarnya adalah pelaksanaan dari apa yang pernah dikatakan Jenderal Colin Powell kepada Presiden George W Bush tentang perlakuan terhadap Irak, ”If you break it, you own it.”

Amerika Serikat berkomplot dengan kekuatan asing (modal maupun politik) untuk menjatuhkan pemain lama, melakukan perang proxy bersama elite lokal yang menjadi sekutunya, dan mendaur ulang rezim lama ke dalam rezim baru. Maka, jika kita menyaksikan, bahkan terlibat dalam penggulingan rezim lama—seperti beberapa kali terjadi di negeri ini—tetapi kemudian tidak ada perubahan berarti, bahkan dalam beberapa hal kita anggap sebagai kemunduran, maka itu adalah bukti strategi klasik para imperialis konspiratif itu.

Rezim baru sesungguhnya hanya kulit domba baru dari serigala yang sama, yang justru lebih ganas, karena ia memperluas dan memperdalam penetrasi kuasa imperialisnya. Katakanlah hingga pada proses regulasi, pengambilan kebijakan, hingga proses akulturasi masyarakat.
Refleksi kedua memberi kita sebuah fakta, negeri dan bangsa ini ternyata memiliki tingkat keadaban yang lebih tinggi dalam proses peralihan kekuasaan. Di dalam hati dan sanubari rakyat negeri ini, terpendam rasa hormat kepada para pemimpinnya.

Ini adalah buah tradisi, baik adat maupun agama, yang selama ratusan, bahkan ribuan tahun mengajarkan bagaimana seorang manusia harus respek, menghargai dan memuliakan siapa pun yang lebih tua, yang memimpin, yang pernah bertanggung jawab pada hidup dan masa depan kita. Karena itu, bangsa Indonesia, dengan adab seperti itu, boleh berbangga kepada dunia, betapapun ia tidak setuju dan tidak suka kepada seorang pemimpin, ia tak akan menghina, apalagi menyiksa (mantan) pemimpinnya.

Hal ketiga adalah yang terpenting hari ini: sebuah renungan tentang pemimpin seperti apa yang seharusnya kita miliki. Pemimpin macam apa yang tepat dan mampu menjawab persoalan-persoalan mutakhir, baik secara internal maupun dalam desakan-desakan eksternal (global) yang luar biasa belakangan ini.

Apakah kita membutuhkan pemimpin yang berani, berambegan keras, flamboyan, retorik, berdiplomasi hebat, dan berani menantang dunia? Apakah kita membutuhkan lagi Soekarno?
Atau sebaliknya, kita membutuhkan seorang pemimpin yang taktis, tekun, cermat dalam perhitungan kebijakan dan tindakan, kurang populis tetapi pragmatis, demi menjaga pertumbuhan yang di dunia lain pun untuk bertahan mengalami kesulitan?

Sesungguhnya, dunia sekarang lebih dipenuhi oleh pemimpin semacam ini: pragmatis, bukan idealis, dan lebih fokus pada bagaimana negara dan bangsanya dapat bertahan dalam tekanan dunia yang kian berat.

Mimpi bukan mistik

Sia-sialah jika kita mencari pemimpin dengan idealisme yang klasik dan romantik. Yang menampilkan dirinya dengan performasi hebat di mimbar-mimbar, dengan semangat heroik menjadi juru selamat dunia.

Ideologi sudah lama mati ketika semua partai politik dalam dua-tiga dekade lalu bergerak ke tengah. Yang kanan mengadopsi ide yang kiri, sementara yang kiri tanpa sungkan dan malu mempraktikkan apa yang secara ideologis milik yang kanan. Pragmatisme, bahkan dalam pengertian yang paling artifisial dari filosofi William James, adalah penggerak utama dunia yang takluk kepada kekuatan media dan percepatan teknologi informasi.

Di manakah pemimpin Indonesia dalam konstelasi itu? Susilo Bambang Yudhoyono muncul sebagai takdir sejarah, tanpa ada yang menduga, apalagi merasa bahwa ada yang mempersiapkannya. Begitulah sejarah modern bangsa ini, tidak pernah melahirkan pemimpin utama nasional lewat sebuah sistem dan mekanisme pengaderan.

Semua muncul seperti tiba-tiba karena waktu—sebagai kaki tangan nasib—sekonyong bicara dan memutuskan. Bahkan, seorang Habibie pun bukanlah presiden yang dikader dan diinginkan oleh pendahulunya. Seperti presiden lainnya, ia muncul karena waktu menginginkannya.

Itulah sejarah politik modern kita, yang membuat antara lain politik negeri ini tetap diselubungi mistik. Ada cerita satria piningit, Ratu Adil, simulasi ajaib kata notonagoro, dan seterusnya. SBY pun hadir dalam realitas internal dan eksternal itu.

Dalam pemberitaan media massa yang sangat riuh, kritik itu seperti koor dengan refrein yang sama dan dinyanyikan berulang. Seperti lagu pop yang kian membosankan, kritik itu kian lama kehabisan argumentasi, tema, dan isu, bahkan napas. Kaum oposan dan kritikus pedas seakan kian tak berdaya menghadirkan fakta dan analisis yang adekuat yang membuat rakyat lebih tergerak dan menyampingkan pencapaian positif yang jadi senjata SBY dan kabinetnya.

Apa yang kini jadi tema dan isu utama tinggal sebuah ekspresi: SBY tak memiliki keberanian (ketegasan). Sebuah tema psikologis juga kultural yang mengacu pada keberanian bersikap dan bertindak. Sebuah memori kultural yang secara kolektif mengacu pada pemimpin sejenis Soekarno. Namun, SBY seperti mengatakan, ”aku bukan Soekarno” dan ”tidak bisa (mungkin tidak mau) jadi Soekarno”.

Sebagai pemimpin, SBY adalah pragmatis tulen, sebagaimana sejawatnya di bagian dunia lain. Hal itu terlihat jelas dalam kebijakan, tindakan, hingga penyusunan kabinetnya. Para pembantunya diisi oleh orang-orang dengan orientasi prestasional berjangka pendek. Dan sesuai instruksi presiden, berkewajiban mengisi rapor dengan nilai biru sebagai penghias portofolio menjelang pemilu mendatang.

Namun, untuk negara dengan kelimpahan hidup yang membuat iri bangsa-bangsa lain, yang sekian lama diperas kolonialisme, dan sekian dekade dimanipulasi-dirampok lembaga modal dan keuangan internasional, yang sekian lama melupakan, bahkan menghancurkan potensi terbaiknya sendiri, semestinya memiliki pemimpin yang idealis.

Pemimpin idealis memiliki mimpi yang tentu tidak dimiliki pemimpin negara maju, yang sudah direpotkan oleh krisis sumber daya natural. Pemimpin di negeri ini tidak bisa hanya berkemampuan bertahan ketika dunia diancam krisis luar biasa dalam jangka dekat.

Mungkin, pemimpin seperti itu tidak harus meniru Soekarno. Akan tetapi, ia harus memiliki mimpi yang sebenarnya dimiliki seluruh rakyatnya. Masih bisakah pemimpin kita bermimpi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar