Papua Butuh Pendekatan Hati
Neles Tebay, PENGAJAR PADA SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI FAJAR TIMUR, ABEPURA, PAPUA
Sumber : KOMPAS, 04 November 2011
Papua membara lagi. Bara konflik Papua mencuat ke permukaan dengan terselenggaranya Kongres Rakyat Papua III, 16-19 Oktober 2011, di Jayapura. Enam orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kongres tersebut sudah ditangkap polisi dan langsung ditetapkan sebagai tersangka.
Setelah kongres, enam mayat orang Papua ditemukan. Bukan di arena kongres, melainkan beberapa ratus meter dari arena. Tiga di antaranya tewas karena kena tembak peluru, sementara tiga korban lainnya belum diketahui penyebab kematiannya.
Korban luka tembak belum diidentifikasi. Kerugian fisik juga belum dikalkulasi. Tidak sedikit orang yang mengalami trauma sebagai akibat dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Kekerasan bukan solusi
Kekerasan negara, seperti yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III, bukanlah hal baru bagi orang Papua. Kekerasan negara sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Papua sejak menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1963. Integrasi Papua diawali dengan kekerasan dan hingga kini kekerasan (oleh) negara masih terus mewarnai kehidupan di tanah Papua.
Tuduhan separatisme, tanpa menyentuh faktor-faktor penyebab dari adanya separatisme, biasanya digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan negara terhadap orang Papua yang juga adalah warga negara Indonesia. Setiap pengibaran bendera Bintang Kejora, bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM), selalu diakhiri dengan kekerasan. Pelaku pengibaran bendera Bintang Kejora biasanya ditangkap, diadili, dan dipenjarakan selama belasan tahun.
Sekalipun tahu bahwa akan berhadapan dengan aparat keamanan, banyak orang Papua masih nekat mengibarkan bendera Bintang Kejora. Itu berarti tindakan kekerasan tidak hanya tidak berhasil, tetapi juga tidak mungkin menyelesaikan konflik Papua yang ditandai pengibaran Bintang Kejora.
Kenyataan di lapangan selama ini membuktikan, kekerasan negara—apa pun bentuknya dan betapa pun mulia motivasinya dan luhur tujuannya—tidak pernah berhasil menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah hanya menambah rumit serta makin memperburuk konflik Papua.
Kegagalan implementasi otonomi khusus
Satu pertanyaan yang patut dipikirkan oleh semua pihak adalah mengapa bara konflik ini menyala setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua? Apa yang terjadi dengan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) selama 10 tahun di tanah Papua?
Pada awalnya, kebijakan otonomi khusus memberikan harapan bagi orang Papua. Banyak pihak memandang kebijakan tersebut sebagai suatu solusi yang realistis dan komprehensif terhadap berbagai permasalahan di Papua. Jadi, kebijakan otonomi khusus didukung oleh banyak pihak di Papua, Jakarta, dan bahkan di luar negeri.
Pengalaman 10 tahun memperlihatkan bahwa UU Otsus tak diimplementasikan secara konsisten. Banyak pasal dari UU Otsus belum diterapkan.
Rakyat Papua tidak menikmati manfaat dari kebijakan otonomi khusus. Triliunan rupiah yang dialirkan ke Papua tak berdampak pada kehidupan rakyat Papua. Kesejahteraan mereka tidak menjadi lebih baik. Mereka masih hidup miskin, bahkan di bawah garis kemiskinan, sekalipun kekayaan alamanya berlimpah.
Mereka semakin menjadi minoritas di tanah leluhurnya dan tersisih secara ekonomis. Sekalipun ada UU Otsus Papua, mereka merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum atas keberadaannya kini dan masa depannya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masalah-masalah mendasar di tanah Papua masih belum dituntaskan karena UU Otsus tidak diterapkan secara konsisten. Pemerintah pusat dan daerah masih saling menuduh dan menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab kegagalan implementasi UU Otsus Papua.
Hingga kini belum terlihat juga kemungkinan dan kemauan pemerintah (pusat) untuk mengevaluasi implementasi UU Otsus Papua. Akibatnya, faktor-faktor penghambat implementasi UU Otsus masih belum diidentifikasi.
Jadi, belum ada jaminan bahwa UU Otsus akan dilaksanakan secara konsisten dan implementasi otonomi khusus akan diperbaiki. Ketidakpastian ini mempertebal ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah dan menambah kekecewaan mereka. Kekecewaan inilah yang terungkap melalui pengibaran bendera Bintang Kejora dan pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III tersebut.
Evaluasi dan dialog
Bara konflik Papua masih bisa dipadamkan asalkan semua pihak mendukung tekad pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni menata Papua dengan hati. Guna mewujudkan tekad pemerintah ini, tiga hal perlu dilaksanakan.
Pertama, baik aparat Polri dan TNI maupun anggota Tentara Pembebasan Nasional (TPN)/OPM mesti menghentikan tindakan kekerasan. Sebab hal ini sangat bertentangan dengan pendekatan hati.
Kedua, seperti yang sudah dijanjikan pemerintah pusat pada tahun 2010, suatu evaluasi komprehensif tentang implementasi UU Otsus Papua mesti dilakukan dalam waktu dekat ini. Evaluasi tersebut perlu melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan rakyat Papua yang mengembalikan secara simbolik UU Otsus Papua pada bulan Juni 2010.
Ketiga, pemerintah dan orang Papua mesti membuka diri untuk berdialog guna mengidentifikasi masalah-masalah yang mesti diselesaikan demi perdamaian dan secara bersama mencari kemungkinan solusinya. Kini saatnya untuk mencari solusi bersama, bukan saling menyalahkan dan menuduh antara pemerintah dan orang Papua.
Ketiga, semua itu akan terlaksana apabila pemerintah pusat mempunyai kemauan politik. Tanpa adanya ketiga hal ini, bara konflik Papua akan semakin hari semakin memanas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar